Mengenal Hidroponik, Teknik Bercocok Tanam yang Digemari Petani Muda
JAKARTA – Di tengah menyempitnya lahan pertanian, budidaya menanam dengan cara hidroponik kian populer di kalangan masyarakat. Dan, hidroponik bisa saja menjadi salah satu cara agar regenerasi petani berlanjut.
Indonesia merupakan negara dengan sebutan negara agraris karena perekonomiannya bergantung atau ditopang oleh sektor pertanian. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022, pertanian merupakan salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, yaitu 29,96 persen dari 135,3 juta penduduk atau sekitar 40,64 juta orang.
Tapi sektor pertanian sedang menghadapi beragam masalah. Lahan pertanian semakin berkurang karena alih fungsi lahan yang terjadi, serta kekurangan sumber daya manusia yang terampil di bidang pertanian. Regenerasi profesi petani yang buruk menjadi penyebab pertanian Indonesia dalam krisis. Bahkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia diprediksi akan kehilangan profesi petani pada 2063.
Menurunnya masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian tercatat di data Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS, pada 1976, sebanyak 65,8 persen masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian dan jumlah tersebut turun drastis menjadi tinggal 28 persen di tahun 2019.
Banyak faktor sebenarnya yang menjadi penyebab tren negatif di sektor pertanian nasional. Salah satunya adalah peralihan profesi keluarga petani secara masif ke sektor ekonomi lain. Pekerja di sektor jasa mengalami kenaikan pesat dari 23,57 persen pada 1976 menjadi 48,91 persen di tahun 2019.
Peralihan profesi dari petani menjadi pekerja di sektor jasa tentu saja bukan tanpa alasan. Selain soal bayaran di sektor jasa yang lebih tinggi dan lebih pasti dibandingkan hasil bertani, ada faktor lainnya yang turu memengaruhi perpindahan profesi ini.
Solusi Keterbatasan Lahan
Menurut Bappenas, faktor terbesar adalah karena adanya alih fungsi lahan. Luasan lahan pertanian nasional terus menurun. Mayoritas berubah menjadi lahan sawit, pabrik, perumahan, dan berbagai fungsi lainnya.
Tapi dalam beberapa tahun terakhir, masalah minimnya lahan pertanian disiati dengan cara lain, salah satunya adalah bertani dengan teknik hidroponik.
Mengutip laman Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, hidroponik berasal dari bahasa Yunani yaitu hydro yang berarti air dan ponos yang artinya daya. Hidroponik juga dikenal sebagai soilles culture atau budidaya tanaman tanpa tanah. Jadi, hidroponik adalah budidaya tanaman yang memanfaatkan air dan tanpa menggunakan tanah sebagai media.
Menurut pengamat pertanian Khudori, hidroponik merupakan salah satu solusi mengatasi keterbatasan lahan pertanian. Selain itu, hidroponik juga lebih digemari petani-petani muda, sehingga diharapkan dapat membantu proses regenerasi petani di Indonesia yang tengah krisis.
“Hidroponik ini hanya salah satu cara lain bertani, untuk menyiasati keterbatasan lahan. Ketika lahan terbatas, kita bisa berusaha bertani dengan tidak berbasis lahan. Jadi bisa hidroponik, aeroponik yang menggunakan media udara, dan lainnya,” jelas Khudori kepada VOI.
“Apakah ini bisa menarik petani muda? Bisa ya, bisa juga tidak. Tapi memang banyak petani muda yang berhasil. Yang pasti, ini hanya cara bertani dan bahwa sebagian besar petani mengalami kendala soal lahan adalah benar,” imbuhnya.
Atasi Masalah Ekosistem Pertanian
Khudori tidak menampik bahwa masalah pertanian di Indonesia cukup pelik. Buruknya regenerasi petani juga tak bisa melulu menyalahkan generasi milenial dan Z yang dianggap ogah melirik sektor ini.
Menurut data BPS, petani milenial di Indonesia ada 6,18 juta orang. Angka tersebut sekitar 21,93% dari total petani di Indonesia sebanyak 28,19 juta orang.
Khudori justru menyoroti ekosistem pertanian yang menurutnya belum sepenuhnya ramah untuk para petani muda. Ia mengatakan ekosistem pertanian masih terbelah-belah, tidak ada koneksi dari hulu ke hilir, sehingga menimbulkan risiko besar.
Kendati demikian, ia menyebut sebenarnya banyak petani muda yang berhasil mengatasi masalah ekosistem ini, termasuk para petani hidroponik. Para generasi muda yang berhasil, menurut Khudori memiliki taktik lain, yaitu tidak masuk atau memulai dari hulu (lahan) dulu, tapi mereka masuk dari hilir (pasar).
“Petani muda ini biasanya bisa mengatasi masalah ekosistem dengan membaca situasi pasar. Kira-kira komoditas apa yang disukai, harganya bagaimana. Kalau sudah menguasai situasi pasar, barulah mereka masuk ke hulu,” Khudori menjelaskan.
Baca juga:
- Ironi Indonesia sebagai Negara Agraris, Sektor Pertanian Tak Dilirik Generasi Z
- Penolakan Anies Baswedan Terhadap IKN, Untung atau Buntung?
- RUU Gubernur DKI Jakarta Dipilih Presiden, Penghematan Biaya atau Strategi Cadangan Penguasa untuk Perpanjang Kekuasaan?
- Dominasi Guru Agama terhadap Santri Sebabkan Kekerasan Seksual Terus Berulang
“Jika dibalik, biasanya mereka kapok. Karena sudah menghasilkan misalnya sayuran yang bagus, tapi tidak terserap oleh pasar. Tidak mencoba mengoneksikan kebutuhan pasar dengan apa yang dia tanam bisa menjadi sebuah masalah,” lanjutnya.
Salah satu petani muda yang berhasil dengan teknik hidroponik adalah Oka Wahyudi asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Setelah jatuh bangun, pria yang berprofesi sebagai guru ini berhasil mendulang pundi-pundi rupiah hingga menginspirasi banyak orang untuk mengikuti jejaknya menjadi petani milenial yang terus berkreasi.
Usaha Oka di bawah bendera Agroloka Hydroponic Specialist terus berkembang. Hingga sekarang ada beberapa mitra yang digandeng seperti Baznas Kalsel dengan 2.000 lubang di Sungai Jingah Banjarmasin yang dikelola masyarakat, 5.000 lubang di Pesantren Darul Ilmi di Liang Anggang, Banjarbaru dan 8.000 lubang di Rumah Pangan Lestari, Kecamatan Landasarn Ulin, Banjarbaru binaan Bank Indonesia.