Ancaman Regresi Demokrasi Ketika Kuota Keterwakilan Perempuan Turun di Pemilu 2024

JAKARTA - Sorotan DPR terkait kurangnya keterwakilan perempuan dalam Pileg 2024 harus menjadi perhatian KPU. Apalagi Bawaslu telah memutuskan KPU melanggar administrasi mengenai target keterwakilan caleg perempuan yang seharusnya sebesar 30%.

Bawaslu membuat putusan atas Perkara Pelanggaran Administratif Pemilu (PAP) No.010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023 yang menyimpulkan bahwa KPU secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif Pemilihan Umum (Pemilu). Putusan tersebut atas pelaporan dari Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan.

Pelangaran tersebut terjadi karena dalam menetapkan 267 Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPR pada Pemilu 2024, KPU terbukti tidak menegakkan ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam pengajuan daftar calon sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Atas masalah ini, sejumlah anggota DPR memberi sorotan dan meminta KPU menjadikan keputusan Bawaslu sebagai momentum untuk memastikan bahwa keterwakilan perempuan di arena politik tidak diabaikan.

Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Titi Anggraini sepakat dengan DPR yang menyebut kurangnya partisipasi perempuan dalam Pemilu dapat berdampak pada demokrasi di Indonesia.

“Demokrasi akan mengalami regresi apabila keterwakilan perempuan dilemahkan,” ujar Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia itu, Jumat 8 Desember.

Sebelumnya Ketua DPR RI Puan Maharani juga pernah meminta KPU merevisi aturan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur pembulatan ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima. Aturan itu dinilai mengancam keterwakilan perempuan di parlemen.

DPR juga menilai dalam Pemilu 2019 silam, banyak pemimpin perempuan yang lahir dan terbukti kepemimpinannya banyak membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat.

Titi mengingatkan KPU untuk mematuhi keputusan Bawaslu. Apalagi sudah banyak dukungan dari DPR mengenai hal tersebut, mengingat selama ini KPU sering beralasan keterlambatan pelaksanaan putusan MA terkait keterwakilan perempuan sering terkendala oleh persetujuan dari DPR.

“Apalagi KPU sebagai pelaksana UU mesti menyelenggarakan tahapan Pemilu sesuai dengan apa yang menjadi perintah UU dan mutlak ambil peran dalam penguatan praktik demokrasi Indonesia," terang Titi.

"Ketika ada dukungan dari legislator parlemen untuk pemenuhan keterwakilan perempuan sebagaimana Putusan MA dan juga Putusan Bawaslu, maka tidak ada lagi alasan bagi KPU untuk tidak melaksanakannya," sambungnya.

Disamping itu, Titi menilai revisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 juga akan menghapus diskriminasi dan mewujudkan keadilan serta kesetaraan perlakuan bagi perempuan.

Terlebih, keterwakilan perempuan dalam Pemilu banyak diatur dalam berbagai produk legislasi. Termasuk sebagai amanat dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan atau Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (Konvensi CEDAW) PBB.

"Afirmasi keterwakilan perempuan paling sedikit 30% adalah amanat Konstitusi, CEDAW, dan juga UU Pemilu. Mestinya semua elemen negara, baik KPU ataupun partai politik sepenuhnya mematuhi setiap upaya untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di ranah politik melalui suatu proses pemilu," papar Titi.