Tuyul di Ciamis: Kepercayaan Mistik karena Minimnya Pendidikan
JAKARTA - Temuan botol diduga berisi makhluk astral barupa tuyul menggegerkan masyarakat Ciamis, Jawa Barat. Mereka berbondong-bondong datang ke rumah si penemu, Ibnu Kasir, hanya untuk melihat dan menghilangkan rasa penasaran terhadap botol tersebut.
Botol diduga berisi tuyul itu pertama kali ditemukan oleh Ibnu, di belakang rumah yang berada di Desa Sindangsari, Banjarsari, Ciamis, Sabtu, 29 Februari. Saat itu, ia sedang memotong beberapa bambu untuk dijadikan pagar rumah.
Ketika sedang fokus membelah bambu, Ibnu melihat suatu benda yang dianggapnya mencurigakan. Sebagian besar benda itu terkubur di tanah. Dia memutuskan menggalinya dan menemukan sebuah botol.
Awalnya, tak ada perasaan aneh dari temuannya itu. Tapi, ketika botol itu diperhatikan, di dalamnya terlihat ada suatu benda. Ibnu segera mencuci botol yang penuh noda tanah tersebut.
Setelah botol itu bersih, Ibnu terkaget-kaget. Isi dalam botol itu disebut dua makhluk menyerupai bayi dengan warna agak kemerahan. Wajahnya menyeramkan. Dia pun memutuskan untuk menyimpan botol tersebut.
Kabar temuan itu pun langsung menyebar ke seluruh penjuru desa. Rumah Ibnu menjadi pusat perhatian. Banyak warga yang berkumpul di sana untuk sekadar melihat secara langsung temuannya itu.
Meski tak bisa dijelaskan secara ilmiah soal makhluk yang berada di dalam botol, banyak masyarakat yang percaya jika benda itu adalah tuyul. Sehingga, kabar temuan itu pun semakin menyebar luas ke hampir seluruh wilayah Ciamis.
Dengan adanya fenomena tersebut, seolah masyarakat langsung dan lebih mempercayai dengan hal-hal mistik, ketimbang mencari tahu terlebih dahulu asal-usulnya.
Baca juga:
Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devi Rahmawati mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia lebih percaya kepada hal-hal berunsur mistik.
Pertama, terkait dengan pengetahuan dan pengalaman. Di mana, mereka minim referensi dan mengenyam pendidikan. Sehingga, lebih memilih memercayai mistik. Meski, hal itu memang ada.
Kedua, masyarakat Indonesia masih memiliki sifat patron klien. Artinya, ketika ada seseorang yang derajat sosial lebih tinggi atau tokoh dan mempercayai sesuatu hal, maka masyarakat lain akan secara otomatis akan ikut memercayainya.
"Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor karena kurang refrensi. Kemudian, karena patron klien. Maksudnya, orang-orang yang statusnya lebih tinggi akan di imitasi oleh publik," kata Devi kepada VOI, Rabu, 4 Maret.
Selain itu, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hal mistik cukup unik. Di Indonesia, masyarakat lebih cenderung mempertontonkan semua hal yang berkaitan atau memiliki unsur mistik. Ini berbeda dengan yang ada di Eropa. Mereka lebih tertutup atau tidak membuka secara gamblang atas hal-hal mistik tersebut, meski memercayainya.
"(Di Eropa) tidak akan menjatuhkan kredibilitasnya karena dianggap tidak berpegang pada rasionalitas. Padahal mereka percayai. Sedangkan di Indonesia, justru di demonstrasikan," ungkap Devi.
Untuk itu, beberapa langkah harus dilakukan untuk setidaknya dapat membantu masyarakat tersadar dengan ini. Sebab tak dipungkiri, hal-hal mistik bisa digunakan sebagai modus penipuan.
Langkah tersebut bisa dimulai dari pendekatan jangka pendek, menengah, dan panjang. Tujuannya, agar masyarakat tak mudah dibohongi atau tertipu dengan modus-modus penipuan yang menggunakan unsur mistik.
"Pendekatan jangka pendek adalah memang harus aparat harus sigap merespon aksi-aksi penipuan tersebut. Nah secara jangka menengah adalah media harus selalu mengingatkan publik tentang hal-hal demikian. Pendekatan jangka panjang itu pendidikan sudah pasti," tandas Devi.