Benyamin Tukang Ngibul: Film yang Menyindir Fenomena Cari Kekayaan Jalur Instan

JAKARTA - Nama besar Nawi Ismail dan Benyamin Sueb tak dapat dapat dipisahkan. Hubungan antara sutradara dan aktor itu kerap menghasilkan film box office: sukses secara komersial. Kritik sosial jadi andalan. Film Benyamin Tukang Ngibul (1975), salah satunya.

Film yang dibalut dengan komedi itu memiliki muatan kritik sosial yang banyak. Narasi itu diperlihatkan dari impian orang ingin kaya dengan merantau ke Jakarta, tapi tak punya keterampilan. Alhasil, banyak yang mencari kekayaan jalur instan.

Nawi Ismail bukan orang baru dalam dunia perfilman nasional. Jejaknya sebagai pembuat film telah hadir semenjak masa penjajah Jepang. Bekal itu membawanya menjadi salah satu nama mentereng dalam perkembangan film nasional.

Ciri khas karya yang dihasilkan Nawi Ismail terletak pada dalamnya kritik sosial yang diselipkan. Namun, Nawi ismail tak membuat kejayaan itu dikuasainya seorang diri. Ia kerap berkolaborasi dengan seniman besar. Benyamin Sueb, salah satunya.

Kolaborasinya dengan seniman besar Betawi kian menjanjikan. Banyak film-film yang kemudian jadi box office karena pengaruh keduanya. Sebut saja film Benyamin Biangkerok (1972), Ratu Amplop (1974), hingga Samson Betawi (1975).

Poster film Benyamin Tukang Ngibul (1975). (Perpusnas)

Fenomena yang ditampilkan Nawi Ismail sederhana. Ia mampu menangkap fenomena sosial yang ada, utamanya permasalah sehari-hari lalu diadopsi dalam film. Dari perihal masyarakat Betawi yang terpinggirkan hingga perbedaan kasta antara si miskin dan si kaya.

Wujud itu dilanggengkan kian sering ditampilkan. Film Benyamin Tukang Ngibul, misalnya. Film itu bercerita terkait seorang anak desa, Benny yang ingin kaya dengan mengadu nasib ke Jakarta. Benny menganggap Jakarta sebagai jawaban supaya hajat hidupnya meninggi.

Jauh panggang dari api. Perkara sukses dirantau bukan perkara mudah. Benny bersiasat mencoba segala macam cara untuk dapat sukses. Opsi satu-satunya yang dianggap benar adalah dengan menjadi tukang ngibul dengan jual obat palsu.

Problema tukang ngibul inilah yang menjadi dasar kritikan. Karakter Benny mampu mengundang orang-orang menertawakan kelas atas, kemudian kelas bawah. Film yang rilis pada 1975 itu juga mampu melampirkan bukti bahwa kibul atau menipu sudah jadi fenomena yang menjamur di Indonesia.

“Benny hanya salah satu kasus yang kita dapati dalam film Benyamin Tukang Ngibul yang pekerjaannya memang penuh dengan tipu-menipu. Benny hanya sebuah kasus yang lambat-laun menjadi sebuah fenomena bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari penuh dengan tipu-menipu. Sebagian besar orang di negara ini seperti sudah menganggap biasa 'ngibul' sehingga tidak ada sama sekali perasaan bérsalah atau berdosa untuk melakukannya.”

“Coba tengok para pemimpin kita yang demikian entengnya 'ngibul' di hadapan rakyatnya tentang capaian-capaian baik di level daerah maupun nasional, tetapi ada sesuatu yang paradoks dalam kehidupan sehari-hari, semakin menganganya jurang pemisah antara orang yang kaya dan miskin,” terang Subagio S. Waluyo dalam buku Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan Penegakan Good Governance (2019).

Kaya Jalur Instan

Fenomena yang tertangkap dalam Benyamin Tukang Ngibul tak terbatas pada urusan kesenjangan orang kaya dan miskin. Film itu juga menguliti terkait gambaran khalayak umum tentang imej Jakarta yang mentereng sebagai surga pencari kerja.

Citra Jakarta yang menjanjikan kesuksesan dan kekayaan jadi muaranya. Fenomena itu membuat orang-orang dari berbagai wilayah di Nusantara datang ke Jakarta. Masalah muncul. khalayak yang datang tak semuanya berbekal keterampilan yang memadai.

Kondisi itu membuat Jakarta bak kota yang menjanjikan kekayaan jalur instan. Namun, perkara sulitnya mencari kerja jadi kendala. Jalan pintas itu justru mengganggu kestabilan di Jakarta. Opsi jadi tukang kibul pun jadi pilihan kaya raya dengan instan.

Budayawan Betawi, Masykur Isnan pun mengamininya.  Menurutnya, film Benyamin Tukang Ngibul berani mempertontonkan bagaimana seorang tukang kibul eksis di Jakarta. Sekalipun aksi yang dihadirkan Nawi Ismail dan Benyamin Sueb mengundang kelucuan.

Boleh jadi film itu adalah film lama. Namun, fenomena yang disindir Nawi ismail masih eksis hingga hari ini. Berkali-kali seisi Indonesia dipertontonkan dengan fenomena orang yang mencari kekayaan jalur instan di Jakarta.

Benyamin Sueb di studio rekaman bersama penyanyi Ida Royani. (Perpusnas)

Mereka melanggengkan segala cara hanya untuk kaya dan eksis. Dari penipuan daring hingga penipuan tiket konser. Peluang tukang kibul merajalela karena ketidakmampuan pemerintah dalam membuat hajat hidup rakyatnya meningkat. Ambil contoh urusan pemerataan dan terbatasnya lapangan kerja.

“Film tersebut menggambarkan kondisi nyata dan kritik kesenjangan ekonomi dan sosial antar perkotaan dan pedesaan. Orang-orang –sebagaimana gambaran karakter Benny-- melihat kota sebagai jawaban. Namun, faktanya tidak demikian. Kehadiran mereka yang tanpa keterampilan mempuni justru memperburuk keadaan. Eksistensi itu yang lalu memunculkan banyak tabiat tak benar seperti tukang kibul.”

“Mereka melakukan aksi tipu-tipu hanya untuk mencapai kekayaan jalur instan. Sekalipun arah film lalu mengarah kepada ketidakmampuan pemerintah menghadirkan pekerjaan yang layak dan menutup mata dengan fenomena yang ada.  Realita itu masih relevan hingga saat ini. Impian bekerja di Jakarta masih diyakini serupa dengan pandangan terkait American Dream. Sebuah impian untuk datang ke Amerika –Jakarta—dan bisa kaya raya dengan instan,” ungkap Masykur Isnan sebagaimana dihubungi VOI, 23 November 2023.