Kenaikan UMP 2024 Terlalu Rendah: Hanya Untungkan Pengusaha, Buruh Tetap Sengsara
JAKARTA – Angka kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dinilai para pengamat ekonomi masih jauh ideal dan berisiko menggerus daya beli. Padahal, jika upah pekerja bisa naik lebih tinggi akan berdampak pada pendapatan daerah juga.
Pemerintah daerah di Indonesia telah mengumumkan kenaikan UMP 2024 pada Selasa (21/11/2023). Namun menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, baru 30 gubernur yang telah menetapkan UMP di wilayahnya masing-masing.
Berdasarkan pengumuman kenaikan upah semalam, DKI Jakarta masih menjadi provinsi dengan UMP tertinggi yaitu Rp5.067.3381 meski hanya mengalami kenaikan 3,8 persen dari sebelumnya sebesar Rp4.900.798.
Maluku Utara mengalami kenaikan tertinggi di antara provinsi lainnya, yaitu 7,5 persen dari Rp2.976.720 menjadi Rp3.200.000. Sementara provinsi dengan persentase kenaikan paling sedikit adalah Gorontalo, yang hanya naik 1,19 persen Rp2.989.350 menjadi Rp3.025.100.
Ancam Pertumbuhan Ekonomi
Ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro mengatakan kenaikan UMP 2024 jauh lebih kecil dibandingkan kenaikan tahun lalu yang rata-rata mencapai 7,5 persen. Meski di tengah tahun politik, para kepala daerah tetap berpegang pada keputusan pemerintah pusat sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
“Bagi dunia usaha, kenaikan ini akan menyebabkan iklim investasi yang lebih kondusif di tengah ketidakpastian tahun politik. Bagi buruh, dampaknya akan minimal terhadap kenaikan daya beli dan kesejahteraan. Bagi bank sentral, efek inflasi dari kenaikan upah menjadi minimal,” terang Satria.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan UMP 2024 masih terlalu rendah. Dia khawatir kenaikan yang terlalu rendah ini bisa mengancam pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Menurut Bhima, kenaikan UMP idealnya di atas 10 persen. Dengan kenaikan UMP di tiap daerah rata-rata kurang dari 5 persen, ia memprediksi akan sulit menghadapi inflasi tahun depan.
“Ini masih terlalu kecil dan sangat mengecewakan. UMP 2024 dengan kenaikan yang terlalu rendah bisa mengancam pertumbuhan ekonomi tahun depan,” tutur Bhima kepada VOI.
“Kalau naiknya upah di bawah 5 persen, buruh mana bisa hadapi inflasi. Idealnya di atas 10 persen melihat tekanan inflasi pangan yang cukup berisiko menggerus daya beli” ujar Bhima mengimbuhkan.
Bhima pun menyayangkan pemerintah daerah yang tidak menolak formula upah minimum yang terlalu rendah karena merujuk pada UU Cipta Kerja. Khususnya untuk Pemda DKI Jakarta yang menurutnya memiliki kewenangan khusus dibanding daerah lainnya terkait penetapan upah.
Menurut Bhima, Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono seharusnya bisa memanfaakan regulasi Pasal 26 UU DKI untuk merumuskan kenaikan UMP, alih-alih merujuk pada UU Cipta Kerja.
“Selama Pasal 26 UU DKI masih bisa memberi ruang pengaturan industri dan perdagangan, di mana upah merupakan komponen yang tidak terlepaskan dari kebijakan ekonomi, maka Pj Gubernur DKI bisa manfaatkan regulasi itu,” tegasnya.
“Jadi gak perlu merujuk UU Cipta Kerja soal formulasi upah. Kalau bisa lebih baik dari hasil formula UU Cipta Kerja kenapa tidak?” ujar Bhima menambahkan.
Baca juga:
- Soal Isu Peran Iriana Jokowi dalam Pencalonan Cawapres Gibran: Antara Kasih Sayang dan Pembelajaran Etika
- Jika Benar Pencalonan Gibran Jadi Cawapres Didorong Iriana Jokowi, Apakah Itu Salah?
- Serba Konon Nyamuk Wolbachia: Penumpas Demam Berdarah, Buatan Bill Gates, hingga Penyebar Virus LGBT
- Jangan Lagi Libatkan Anak dalam Kampanye Pemilu, Itu Pelanggaran Hak
Keputusan Heru Budi memilih memakai Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan bukan tanpa alasan. Bhima mensinyalir Pj Gubernur DKI itu khawatir digugat pengusaha seperti yang dialami Anies Baswedan dulu.
Padahal, kenaikan upah yang lebih tinggi berpotensi memberikan dampak positif pada pendapatan daerah.
“Dengan upah yang naik lebih tinggi maka perputaran ekonomi juga makin naik, yang belanja makin banyak dan berdampak ke pendapatan daerah,” tuturnya.
Hanya Cukup untuk Beli Beras
Kenaikan UMP disebut akan berbanding lurus dengan daya beli masyarakat. Tapi ketika kenaikan UMP ini masih jauh dari harapan, maka akan turut memengaruhi daya beli, bahkan berujung lemahnya pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Kenaikan UMP yang rata-rata hanya sekitar 5 persen di tiap daerah disebut hanya pas untuk menutupi inflasi 2024 yang diprediksi sebesar 1,5 persen sampai 3,5 persen.
"Artinya pendapatan masyarakat itu tidak akan mendorong katakan kenaikan konsumsi, karena 3 persen sudah kemakan inflasi, jadi enggak cukup," kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad.
Tauhid menambahkan, tekanan inflasi paling besar adalah dari sisi harga pangan, utamanya beras. Kenaikan harga beras yang menjadi-jadi dalam beberapa bulan terakhir juga dipengaruhi oleh efek berkepanjangan El Nino dan mundurnya musim tanam I yang seharusnya terjadi pada Agustus-Desember 2023.
Melihat fenomena tersebut, Tauhid memprediksi tekanan inflasi masih tinggi pada paruh pertama 2024 sehingga kenaikan UMP yang dinilai tidak ideal ini hanya akan habis untuk membayar tekanan harga beras.
"Jadi sampai Januari-Februari inflasi masih lebih tinggi, terutama beras ya, karena kita tahu delay dari produksi sampai Februari nanti akan mengakibatkan inflasi masih agak rentan tahun depan," kata Tauhid.