Mahasiswa UGM Kembangkan Alat Deteksi Dini Stunting Berbasis AI

YOGYAKARTA - Lima mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan alat deteksi dini stunting berbasis artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang diberi nama electronic stunting detection system (ESDS).

Ketua Tim Pengembang ESDS AA Gde Yogi Pramana mengatakan alat deteksi itu dirancang terintegrasi dengan sistem informasi dan aplikasi smartphone.

"Alat ESDS berbasis artificial intelligence ini dirancang agar dapat menghemat waktu serta meminimalisasi kesalahan pengukuran karena faktor kesalahan manusia yang masih menggunakan alat ukur secara konvensional," kata Yogi dilansir ANTARA, Senin, 20 November.

Dia menjelaskan alat berteknologi kecerdasan buatan itu dapat melakukan pengukuran berat dan panjang tubuh pada bayi secara cepat.

Tak hanya itu, alat ESDS juga menyimpan hasil pengukuran secara otomatis sebagai data di aplikasi yang telah terintegrasi.

Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan bayi dapat dipantau secara berkala untuk mendeteksi secara dini gejala stunting pada anak di bawah umur dua tahun dengan bantuan machine learning.

Mahasiswa program International Undergraduate Program (IUP) Elektronika dan Instrumentasi UGM ini mengembangkan ESDS bersama dengan empat rekannya yaitu Haidar Muhammad Zidan (IUP Elektronika dan Instrumentasi), Faiz Ihza Permana (Teknik Biomedis), Ichsan Dwinanda Handika (Teknik Biomedis), dan Salsa Novalimah (Gizi Kesehatan).

Yogi mengatakan pengembangan ESDS berawal dari keprihatinan terhadap tingginya kasus stunting di Tanah Air.

Menurut dia, deteksi dini stunting pada anak di bawah usia dua tahun telah banyak dilakukan kader kesehatan melalui posyandu.

Akan tetapi, kata dia, masih sering terjadi kesalahan terkait keakuratan dalam mengukur dan mengevaluasi pertumbuhan anak akibat masih rendahnya keterampilan kader dan alat pengukur yang tidak sesuai dengan standar antropometri.

Saat memakai timbangan dacin yang berbasis manual dengan model ayunan, menurut dia, seringkali dalam proses penimbangan pengukuran tidak akurat karena bayi merasa tidak nyaman dan banyak bergerak.

"Selain itu, proses kalibrasi timbangan tak jarang dilakukan dengan cara menambahkan kerikil yang dimasukkan ke dalam plastik kemudian diikat di ujung timbangan dacin agar timbangan tersebut tepat berada di titik nol sehingga rentan bagi alat tersebut untuk melakukan kesalahan pengukuran," ujar Yogi.

ESDS, kata dia, terintegrasi dengan sistem informasi yang tersedia dalam bentuk website application dan mobile application yang menampilkan informasi tumbuh kembang anak, status gizi pada bayi dua tahun, indikasi stunting atau tidak pada anak, edukasi sederhana terkait gizi anak, serta menampilkan riwayat tumbuh kembang anak.

Metode pencatatan secara digital dapat mempercepat proses pemutakhiran data dengan basis data pusat secara realtime.

"Alat ini terintegrasi dengan web-application untuk mengendalikan alat ukur bagi kader yang melakukan antropometri dan menampilkan laman untuk registrasi bayi," kata Yogi.

Mahasiswa lainnya, Salsa mengatakan dengan hadirnya ESDS akan memudahkan pengguna melakukan deteksi dini stunting dan pemantauan mandiri bagi orang tua yang memiliki bayi dua tahun.

Dia berharap ESDS mampu membantu pemerintah mempercepat penurunan prevalensi stunting di Indonesia menjadi 14 persen.

"Dari Survei Status Gizi Indonesia pada tahun 2022, prevalensi stunting pada anak di bawah 5 tahun masih tinggi yakni sebesar 21,6 persen. Harapannya kehadiran alat ini bisa membantu deteksi dini stunting sehingga mendorong percepatan penurunan stunting di Tanah Air," kata Salsa.