Mengenal Pahlawan Nasional dari Majalengka, Abdul Chalim

JAKARTA - Kemerdekaan Indonesia bukan melulu hadir karena andil kaum intelektual belaka. Narasi kemerdekaan juga kerap dilantukan kalangan agamis. Kiai Haji (K.H) Abdul Chalim, misalnya. Pahlawan Nasional yang juga ulama kesohor asal Majalengka itu turut membawa narasi melepas belenggu penjajahan dan kebodohan.

Inisiasi itu diwujukan bersama ulama lainnya membangun Nahdlatul Ulama (NU). Abdul Chalim bawa seisi NU ikut berjuang meraih dan mempertahan kemerdekaan Indonesia. Jasa itu membuat namanya abadi dalam ingatan segenap rakyat Indonesia.

Akses pendidikan adalah hal yang sukar didapat kaum bumiputra era penjajahan Belanda. Namun, tidak bagi Abdul Chalim. Orang tuanya adalah orang terpandang sebagai Kepala Desa di Majalengka. Religius pula. Narasi itu membuatnya dapat mengakses pendidikan dengan baik.

Pria kelahiran Majalengka, 22 Juni 1898 itu dapat mengakses pendidikan barat. Bekal itu membuatnya fasih dalam berbahasa Belanda. Pendidikan barat itu kemudian diimbangi keluarganya dengan memantapkan Abdul dengan pendidikan agama yang baik.

Segenap keluarganya mendukung benar Abdul mendalami agama Islam. Pengetahuannya bertambah. Ia jadi fasih dalam bahasa Belanda dan Arab. Ia pun terus melanjutkan misinya untuk menimbah ilmu ke pesantren-pesantren yang ada di Jawa Barat. Puncaknya, rasa haus akan ilmu kemudian membawanya yang beranjak masuk usia 16 tahun belajar agama ke Makkah.

Potret Abdul Chalim, tokoh agama asal Majalengka yang merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama di Jawa Barat, dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 10 November 2023. (Dok. Dinsos Jabar)

Kehidupan di Makkah nyatanya membuka mata Abdul Chalim. Alih-alih ia hanya dapat mendalami agama belaka, kepekaannya terhadap nasib bangsa yang terjajah mulai dirasakan. Kepekaan itu kian terbuka kala di Tanah Suci ia berjumpa juga dengan rekannya sesama kaum ulama Nusantara.

K.H. Abdul Wahab Hasbullah, misalnya. Keduanya bergabung dengan Sarekat Islam (SI) Hizaz di Makkah. Abdul Chalim lalu menjadikan Belanda sebagai musuh yang harus diperangi. Utamanya, karena Belanda kian mencampuri urusan agama, kemudian sering menyengsarakan kaum bumiputra.

Bekal berharga di Makkah jadi ajiannya dengan Abdul Wahab, Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya menginisiasi satu organisasi Islam. Suatu organisasi yang dapat meningkatkan derajat umat Islam dan kesejahteraan sosial. Melawan kebodohan pula. NU, namanya. Ormas itu muncul pada 31 Januari 1926.

“Pada 1924, Kiai Hasyim tampaknya belum melihat perlunya mendirikan organisasi semacam itu dan tidak memberikan persetujuannya. Akan tetapi, setelah penyerbuan Ibn Sa'ud atas Makkah, dia berubah pikiran dan menyetujui perlunya dibentuk sebuah organisasi baru pada 1926.”

“Dia kemudian menulis, sebagai pembukaan Anggaran Dasar NU, sebuah risalah berbahasa Arab. Dalam risalah ini ia mengutip beberapa ayat Al Quran yang menyerukan umat Islam bersatu dan ditutup dengan pernyataan bahwa pembentukan sebuah organsasi untuk membela Islam merupakan konsekuensi logis dan perlu dari perintah-perintah ilahi tersebut,” terang Martin van Bruinessen dalam buku NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994).

Lawan Belanda

Mereka yang jadi pengurus adalah K.H. Hasyim Asyari sebagai Rais Aam dan Abdul Wahab Hasbullah sebagai Katib awal, dan Abdul Chalim didaulat menjadi Katib Tsani (sekretaris kedua). Kuasa itu membuatnya kerap mengajak segenap santri untuk berjuang melepas belenggu penjajahan.

Pengaruh dari Abdul Chalim bertambah besar kala ia mulai menggunakan medium koran Soeara Nahdatoel Oelama. Koran itu jadi sarana Abdul Chalim menyebarkan gagasan hingga pemikirannya terkait bangsa merdeka.

Perjuangan Abdul Chalim tak lantas berhenti kala Indonesia merdeka. Ia melihat bahwa gelagat Belanda ingin menjajah Indonesia kembali. Ia pun turut menggelorakan perlawanan terhadap Belanda pada Perang Revolusi (1945-1949).

Ulama sekaligus Pejuang Kemerdekaan Indonesia, Abdul Chalim. (Antara)

Abdul Chalim sempat melihat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Ia kemudian meninggal dunia pada 12 Juni 1972. Kepergiannya justru meninggalkan warisan penting, terkait Keteguhan dan keberanian melawan penjajah sekaligus kebodohan.

Abdul Chalim pun dianggap mampu menginspirasi seisi Indonesia. Pemerintah Indonesia tak ingin jasanya terlupakan. Abdul Chalim diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional secara paripurna berlangsung pada 10 November 2023.

"KH. Abdul Chalim telah memberi contoh bahwa santri dan ulama tidak menghindari panggilan dunia politik. Dengan menjadi anggota legislatif kita berkontribusi secara maksimal membangun bangsa. Karena itu, bangsa Indonesia harus meneruskan semua perjuangan yang pernah dilalui KH. Abdul Chalim, dengan mengangkatnya menjadi pahlawan nasional," kata Wakil Ketua MPR RI, Yandri Susanto sebagaimana dikutip laman MPR, 31 Maret 2023.