Memaknai Sungkem Kaesang dan Gibran ke Megawati dalam Kacamata Politik
JAKARTA – Ada pemandangan menarik di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat acara pengundian nomor urut calon presiden dan wakil presiden Pemilihan Umum (Pemilu) 2024), Selasa (14/11/2023). Dua putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, terlihat sungkem pada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Momen itu terjadi tak lama setelah Megawati duduk di kursinya. Gibran, yang memakai kemeja biru, dan Kaesang yang mengenakan jaket Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendatangi Megawati.
Keduanya secara bergantian menyalami Megawati. Kaesang, anak bungsu Jokowi, bahkan terlihat sungkem dan Megawati tampak tersenyum.
Bikin Suhu Politik Adem
Tanpa melihat apa yang terjadi dalam sebulan terakhir ini, apa yang masyarakat lihat bagaimana kedua putra Jokowi menyalami Megawati adalah hal biasa. Apalagi dalam budaya kita, menyapa, menyalami dan sungkem kepada orang yang lebih tua jamak terjadi. Bahkan tak sedikit pula yang menyebut itu kewajiban anak muda kepada orang yang lebih tua.
Tapi yang menjadi menarik adalah, momen ini terjadi di tengah gonjang-ganjing hubungan Megawati dan keluarga Jokowi yang dikabarkan memanas.
Keluarga Jokowi disebut-sebut mengkhianati kebaikan Megawati dan PDIP. Sejumlah politisi dari partai berlambang moncong putih itu juga ikut mengkritik manuver politik Jokowi.
Jokowi dituding menyalahgunakan kekuasaannya untuk memuluskan langkah Gibran maju sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto dari Koalisi Indonesia Maju melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu.
Melihat situasi yang memanas akhir-akhir ini, maka momen dua anak Jokowi menyalami Megawati menyita perhatian. Direktur Parameter Politik Adi Prayitno mengatakan momen salaman antara dua kubu yang dikabarkan sedang berseberangan adalah tradisi luar biasa.
“Ini adalah momen politik yang mengharukan karena selama kurang lebih sebulan ini terjadi konfrontasi politik yang luar biasa antara elite PDIP dan keluarga besar Jokowi,” kata Adi Prayitno.
“Ini mengharukan karena memang Kaesang dan Gibran datang ke Megawati, kemudian salaman, sungkem, ini adalah sebuah tradisi politik yang luar biasa, penghormatan yang luar biasa yang diberikan oleh Gibran dan Kaesang,” imbuhnya.
Senada dengan Adi, pengamat politik asal Bengkulu, Andriadi Achmad memberi acungan jempol atas sikap Gibran dan Kaesang yang menyambangi Megawati.
Baca juga:
Andriadi mengatakan dua putra Jokowi menunjukkan sopan santun yang memang menjadi ciri khas budaya Indonesia.
“Itulah tata krama. Secara politik, Kaesang adalah Ketum PSI sementara Gibran adalah cawapres. Tapi di situ kita melihat kesopansantunan dari anak muda kepada orang tua dan memang harus dibiasakan terhadap orang yang lebih tua,” ucap Andriadi kepada VOI.
“Mereka menganggap Megawati sebagai orang tua, orang yang dihargai, dihormati, terlepas dari anggapan PDIP terharap Kaesang dan Gibran sebagai pengkhianat. Ini menunjukkan tidak ada dendam,” ujar Andriadi mengimbuhkan.
Upaya Kapitalisasi dari yang Kontra
Di tengah usaha Gibran dan Kaesang yang ingin meredam panasnya suhu politik, ternyata momen salaman keduanya kepada Megawati tidak diterima secara posiif oleh semua pihak.
Ini terlihat dari adanya pihak-pihak yang dengan sengaja memotong video momen salaman sehingga tampak seolah-olah sungkem Kaesang ditolak oleh Megawati kemudian mengunggahnya ke media sosial sehingga menimbulkan narasi berbeda.
Tak sampai di situ. Momen sungkem Gibran dan Kaesang kepada Megawati juga dipandang negatif oleh sejumlah kalangan. Ini disebut sebagai lanjutan drama-drama politik dari keluarga Jokowi.
Banyak yang mempertanyakan mengapa Gibran dan Kaesang harus bersalaman dengan Megawati di depan umum, tidak secara tertutup dengan datang ke rumah sang Ketum PDIP.
Adi menyangkan munculnya pihak-pihak yang tampaknya sengaja ingin membuat suasana politik menjelang Pilpres 2024 tetap panas. Ia menyebut, momen salaman Gibran dan Kaesang kepada Megawati yang dikapitalisasi di media sosial adalah hal yang tidak elok.
“Kalau kita lihat di media sosial seakan-akan sungkemnya Kaesang ditolak, padahal sebelumnya sudah terjadi salaman. Terlepas dari apa pun motif di balik sungkeman ini adalah budaya politik yang luar biasa. Cukup bikin adem,” Adi menegaskan.
Dalam politik, perbedaan pandangan adalah hal biasa. Perbedaan pilihan jamak terjadi di masyarakat. Tapi, seperti yang dikatakan Adi Prayitno serta pengamat politik lainnya, jangan sampai ada pihak-pihak yang mengkapitalisasi momen ini untuk membuat suasana Pilpres 2024 tidak sejuk.
Dari momen ini muncul harapan bahwa tidak perlu ada dendam-dendam dalam politik dan semoga gesture saling menghormati antara kedua kubu bisa diikuti oleh basis-basis di bawahnya.