Pemotongan Masa Jabatan Kepala Daerah Digugat ke MK, Bima Arya: Ada Kekosongan Norma
BOGOR - Wali Kota Bima Arya menjadi salah satu pemohon dalam pengujian Undang Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo, Rabu kemarin.
Selain Bima Arya, pemohon lain dalam perkara ini antara lain Murad Ismail (Gubernur Maluku), Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur), Dedie A. Rachim (Wakil Wali Kota Bogor), Marten A. Taha (Wali Kota Gorontalo), Hendri Septa (Wali Kota Padang), dan Khairul (Wali Kota Tarakan).
Para pemohon tersebut mempersoalkan norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang berbunyi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.”
“Terkait materi gugatan kami yang pertama bahwa kami telah melakukan diskusi dan analisis mendalam, memastikan bahwa ini ada kekosongan norma. Artinya, yang diatur di UU Pilkada 2016 pasal 201 itu lebih kepada waktu pemilihan. Tidak menjelaskan masa jabatan. Kami Pilkada 2018, dan baru dilantik 2019 yang merupakan masa jabatan awal kami. Kami melihat kekosongan norma itu,” ungkap Bima Arya, dalam keteranganya, Kamis 16 November.
Dijelaskan bahwa norma pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional para pemohon sebagai kepala daerah terpilih. Masa jabatan kepala daerah terpotong karena belum genap 5 tahun menjabat sejak dilantik 2019.
Misalnya, Gubernur Maluku Murad Ismail dilantik pada 24 April 2019, seharusnya berakhir 24 April 2024. Apabila menjabat hingga 2023 seperti yang diatur oleh norma pasal a quo, masa jabatan padanya akan terpotong selama kurang lebih 4 bulan.
Wagub Jatim Emil Dardak yang dilantik pada 13 Februari 2019, masa jabatannya terpotong selama kurang lebih 2 bulan. Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bogor, Bima Arya dan Dedie A Rachim dilantik pada 20 April 2019 masa jabatannya terpotong selama kurang lebih 4 bulan.
“Pak Marten Taha (Wali Kota Gorontalo) ini yang paling ujung masa berakhirnya jabatan, yaitu harusnya di bulan Juni 2024. Jabatannya terpotong 6 bulan. Jadi, perlu ada penjelasan atau tafsir konstitusional dari MK agar hak konstitusi kami tidak tercederai,” ujar Bima Arya yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI).
Poin lain yang tidak kalah penting, kata Bima, adalah soal penuntasan program kerja hingga janji politik. “Kami harus memastikan kesinambungan perencanaan pembangunan di tahun politik. Jadi ada rencana pembangunan jangka panjang 2020-2045 yang harus kami evaluasi dan diputuskan. Jadi kalau dilakukan oleh Penjabat (PJ) tentu berbeda,” jelasnya.
Menurut pemohon, pengisian PJ adalah sesuatu yang sah dilakukan di dalam penyelenggaraan pemerintahan, tetapi pemohon meminta agar ada kepastian hukum terkait masa jabatan kepala daerah yang belum habis 5 tahun terhitung sejak pelantikan, dan belum melewati bulan November 2024 sebagai jadwal Pilkada serentak.
Sementara itu, Kuasa Hukum Pemohon dari Visi Law Office Donal Fariz, mengatakan bahwa permohonan yang dilakukan para pemohon ini tidak dalam rangka untuk menambah-nambah masa jabatan. “Karena bagi mereka cukup masa jabatan 5 tahun, Undang Undang sudah mengatur, proporsionalitasnya sudah. Apalagi beliau sudah dua periode. Beliau memohon kepada MK agar pasal itu ditafsirkan masa jabatan para pemohon full 5 tahun,” terangnya.
Baca juga:
- Damkar Jakbar Evakuasi Kaki Bocah Terjepit Besi Saluran Air di Cengkareng
- Preview Senegal U-17 Vs Jepang U-17: Masih Punya Kans Lolos, Pasukan Negeri Sakura Ogah Menyerah
- Toyota Camry Generasi Terbaru Meluncur, hanya Ada Varian Hybrid
- Indonesia dan Amerika Serikat Sepakat Tingkatkan Kemitraan Jadi Comprehensive Strategic Partnership
“Ini adalah problem norma yang bisa ditunjukan dalam bukti-bukti yang kami ajukan. Ada tafsir yang berbeda, SK SK para pemohon ini eksplisit menyebutkan berakhir pada 2024. Tapi belakangan kita melihat ada pernyataan di Kemendagri akan segera melakukan proses seleksi pengisian jabatan agar terpilih Penjabat (PJ) di Desember 2023. Ini ada problem yang berbeda. Problem ini diselesaikan dengan jalur konstitusional di MK sehingga memberikan tafsir yang sebaik-baiknya sebagaimana yang kita mohonkan,” beber Donal.
Sidang selanjutnya akan dilakukan dengan agenda menerima perbaikan para pemohon. Kuasa hukum dan para pemohon diberikan waktu untuk perbaikan selambat-lambatnya hingga Selasa, 28 November 2023. “Kalau bisa lebih cepat, bisa diagendakan lebih cepat juga agenda sidang menerima perbaikannya,” pungkas Hakim Konstitusi Suhartoyo.