Meresapi Pidato Megawati Soekarnoputri sebagai Suara Hati Nurani Demokrasi
JAKARTA – Pidato Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang bertajuk 'Suara Hati Nurani' pada Minggu (12/11/2023) menjadi pembahasan. Menurut sejumlah pakar, Megawati menumpahkan unek-uneknya selama ini melalui pidato tersebut.
Dalam pidato berdurasi 10 menit lebih, Megawati menyinggung berbagai persoalan yang terjadi dalam dinamika politik belakangan ini.
Ada dua hal yang menjadi sorotan dari pidato putri Presiden Soekarno ini, yaitu perihal intimidasi politik dan praktik kecurangan dalam Pemilu. Megawati mengajak masyarakat untuk mengawal jalannya proses Pemilu agar tidak terjadi kecurangan dalam setiap tahapannya.
“Rakyat jangan diintimidasi seperti dulu lagi, jangan biarkan kecurangan Pemilu yang akhir-akhir ini sudah terlihat mulai akan terjadi lagi,” kata Megawati dalam pidatonya.
“Dalam situasi seperti ini mari kita kawal Pemilu 2024 dengan nurani sepenuh hati, kita jadikan Pemilu 2024 sebagai momentum mendapatkan pemimpin terbaik yang benar-benar mewakili kehendak seluruh rakyat Indonesia,” kata Megawati lagi.
Megawati Menumpahkan Unek-unek
Ini adalah pertama kalinya Megawati bicara kepada publik setelah gonjang-ganjing hubungannya dengan Jokowi mengemuka belakangan ini, serta polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Keharmonisan Megawati dan Jokowi luntur begitu MK mengabulkan permohonan bahwa Capres dan Cawapres boleh berusia di bawah usia 40 tahun, dengan syarat pernah atau sedang menduduki jabatan publik yang diplih melalui Pemilu. Putusan ini menjadi karpet merah bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai bakal calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Maju.
Usai pidato berlangsung, sejumlah tokoh dan pengamat politik mengomentari isi pidato Megawati. Salah satunya adalah politikus senior PDIP Aria Bima. Ia mengatakan Megawati tidak hanya memposisikan dirinya sebagai ketua dari partai yang mengusung pasangan Ganjar Pranomo dan Mahfud MD, tapi karena ia melihat adanya upaya kecurangan pada Pemilu 2024.
“Ditegaskan bahwa ada praktik-praktik yang mengingatkan kembali pada rezim Orde Baru,” kaya Aria.
Ungkapan kegelisahan Megawati yang dituangkan dalam pidato akhir pekan kemarin disebut-sebut sebagai pertanda ‘perang terbuka’ antara Presiden RI kelima tersebut dengan Jokowi, setelah selama beberapa bulan terakhir keduanya tampak kurang harmonis. Namun, pengamat politik Adi Prayitno tidak melihat ini sebagai perang terbuka antara dua pihak itu.
Meski demikian, Adi tidak menampik adanya kekecewaan dari Megawati menyusul setelah MK memutuskan Gibran, yang tadinya dianggap tidak memenuhi syarat untuk maju sebagai bakal Cawapres akhirnya bisa maju.
“Saya melihat belum sepenuhnya terbuka karena belum me-mention siapa orang yang dianggap melakukan manipulasi hukum, tidak me-mention siapa yang melakukan intimidasi politik, meski pada saat bersamaan kita tahu bahwa pidato Megawati berkaitan dengan pencapresan Gibran Rakabuming Raka yang awalnya tidak memenuhi syarat,” kata Adi menuturkan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan apa yang dikatakan Megawati dalam pidatonya adalah fakta. Pangi menilai Megawati menumpahkan seluruh kekecewaannya dalam pidato tersebut.
“Ibu Megawati ini orang yang ceplas-ceplos, sehingga apa yang ia sampaikan adalah fakta,” kata Pangi ketika dihubungi VOI.
“Statement Megawati adalah nuansa kebatinan PDIP. PDIP kecewa dengan orang yang mereka besarkan dulu, kemudian kini jadi monster mengerikan, yang tidak bisa dikendalikan, yang ingin membangun dinasti politik, nepotisme, serta penyalahgunaan kekuasan,” Pangi mengimbuhkan.
Pertanyakan Intimidasi Politik
Intimidasi politik juga disinggung Megawati dalam pidatonya. Adi Prayitno mencoba menerka intimidasi politik yang dibicarakan Megawati.
Ia menduga, intimidasi politik ini bisa saja terkait kabar sejumlah oknum polisi yang mendatangi kantor PDIP di Solo, serta perihal pencopotan baliho Capres yang diusung partai berlambang moncong putih itu.
Sebagaimana diketahui, baliho Ganjar-Mahfud serta bendera partai dicopot oleh Satpol PP di Bali bersamaan dengan kunjungan Presiden Jokowi pada akhir Oktober lalu. Menurut Adi, ini merupakan salah satu bentuk intimidasi terhadap salah satu pasangan.
“Ketika oknum aparat mendatangi kantor Parpol partai tertentu, atau saat penurunan atribut dilakukan tapi tidak dilakukan kepada calon yang lain, ini menimbulkan keresahan, ini gaya politik Orde Baru,” Adi menjelaskan.
Dihubungi terpisah pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Andriadi Achmad enggan menganggap kedatangan sejumlah polisi ke kantor DPC PDIP Solo pada 8 November lalu sebagai bentuk intimidasi, kecuali ada bukti-bukti yang mengatakan sebaliknya.
Andriadi menilai kedatangan sejumlah polisi ke kantor DP PDIP Solo tidak lebih sebagai silaturahmi.
“Antara Parpol dan lembaga lain harus bersinergi. Kalau polisi datang ke kantor Parpol anggap saja silaturahmi. Kecuali misalnya ada pemaksaan penggeledahan. Kalau cuma sowan jangan ada gimik berlebihan,” ucap Andriadi kepada VOI.
“Bahasa intimidasi boleh dibuktikan kalau ada penggeledahan, pengambilan properti secara paksa dengan alasan tidak logis,” imbuhnya.
Baca juga:
Andriadi menambahkan, dalam politik tidak boleh ada musuh abadi sehingga tidak perlu membesar-besarkan masalah yang sebenarnya kecil.
Terkait tudingan intimidasi, Kapolresta Solo Kombes Iwan Saktiadi memberikan klarifikasi dan membantah kedatangan anggotanya malah mengintimidasi. Iwan menegaskan polisi sudah melakukan Operasi Mantap Brata untuk pelaksanaan Pemilu 2024.
"Salah satu tindakannya adalah melakukan patroli. Jadi keberadaan anggota kami di sana (DPC PDIP Solo) adalah patroli. Dan jika mempertanyakan ada dokumentasi foto, SOP kami setiap penugasan anggota, wajib memberikan laporan atas hasil penugasan yang dilampiri dengan foto," kata Iwan.