Menyaring Masuknya Dana Haram Pilpres
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan penetapan pasangan calon capres dan cawapres kemarin, 13 November. Sudah dipastikan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, pasangan Ganjar Pranowo- Mahfud MD dan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pasangan terakhir ini sempat nyaris terjegal karena proses di Mahkamah Konstitusi.
Kendala akhirnya dapat teratasi dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan putusan 90 yang sebelumnya di soal sebagian kelompok, dinyatakan sah dan berlaku.
Bersamaan pengesahan itu, pasangan calon juga wajib menyerahkan daftar rekening yang akan digunakan untuk penampungan dana kampanye. Sejak itu pula ketiga pasangan kontestan akan dipantau pendanaannya baik asal sumbangan dan penggunaanya. Ada tiga jenis laporan yang harus disampaikan terkait dana kampanye laporan awal Dana Kampanye (LADK), selama dalam proses Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye (LPDSK) dan diakhir Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
KPU sempat meniadakan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) ini. Alasan mereka menghapus LPSDK karena waktu kampanye yang pendek. Hal itu sempat memicu protes dari Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih yang terdiri dari ICW, Perludem, Netgrit,THEMIS, KOPEL, Public Virtue Research Institute, PSHK, PUSAKO FH UNAND, dan Greenpeace Indonesia.
Mereka melihat pemangkasan itu justru membuat partai tidak terbiasa dengan tata kelola keuangan yang akuntabel dan partai bisa menjadi mainan para pemodal, bisa menjadi jual beli partai.
Baca juga:
Sementara ICW dalam relasenya menyebut alasan waktu kampanye yang pendek benar-benar tidak masuk akal dijadikan dalih menghapus kewajiban LPSDK. Sebab, proses administrasi pelaporan itu bukan dibebankan kepada KPU, melainkan partai politik. "Kami khawatir tindakan para Anggota KPU ini hanya untuk mengakomodir kepentingan politik peserta pemilu yang tidak ingin disibukkan dengan urusan administrasi pelaporan keuangan," tulis ICW dalam releasenya.
Namun akhirnya dalam pemilu 2024, KPU mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye dan kembali mewajibkan penyampaian Laporan Pemberi Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) bagi peserta Pemilu 2024.
Pembiayaan politik tidaklah murah, terutama pada saat ini menjelang kontestasi politik. Seorang calon yang ingin maju menjadi calon presiden (Capres), konon harus memiliki modal sekitar 5 triliun
Dengan dana sebesar itu, tentu akan sulit dibiayai oleh calon atau oleh partainya, makanya pemerintah berdasar UU Pemilu No. 7 tahun 2017 terbaru membuka kesempatan calon dapat menerima sumbangan dari pribadi atau badan tetapi sumbangan ditentukan besarnya, untuk perorangan tidak boleh melebihi 2,5 miliar rupiah atau yang berasal dari kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah yang tidak boleh melebihi 25 miliar rupiah.
Menurut Yuli Fitriasti, Sub Kepala Bagian Dana Kampanye Peserta Pemilu KPU dalam sosialisasi dana kampanye, yang dimaksud sumbangan sebesar 2,5 M untuk perorangan adalah sekali dalam masa kampanye, "Bukan berkali-kali." tegasnya. Sumbangan dana kampanye dalam bentuk uang, barang, dan jasa yang bisa dikonversi atau dihitung dengan uang dan dengan taksiran harga wajar. Yang terbaru dari Pemilu 2024 mulai berlakunya uang elektronik dalam penerimaan sumbangan.
Ditambahkan Yuli, pembuatan rekening dana kampanye menggunakan kode khusus yang dikenali oleh PPAT. "Kami beri akses khusus dan seluas luasnya bagi PPATK untuk melacak rekening dana kampanye." ujar Yuli.
Untuk sistem monitoring rekening dana kampanye KPU membuat sistem dengan bernama SIKDK, berbeda dengan pemilu sebelumnya yang bernama SIDAKAM. Pihaknya juga memberi akses kepada Bawaslu, PPATK dan instansi terkait lainya.
Titi Anggraini dari Perludem mengatakan sumbangan tersebut harus dicatat dalam Rekening Khusus Dana Kampanye dan dilaporkan ke KPU untuk diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Menurutnya dalam Pasal 329 ayat (2) huruf c UU 7/2017 tentang Pemilu menyebut bahwa yang dimaksud dengan “sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain, adalah sumbangan yang tidak berasal dari tindak pidana, bersifat tidak mengikat, berasal dari perseorangan, kelompok, dan/atau perusahaan," katanya.
Menurut Titi, hal itu perlu diawasi dengan baik oleh Bawaslu dengan dukungan seluruh elemen negara yang ada, terutama PPATK untuk memastikan bahwa dana-dana ilegal tidak masuk dalam skema pendanaan pilpres. Seperti diketahui PPAT menyebut telah mendeteksi ada dana kejahatan lingkungan terutama dari sektor tambang. Menurut Pihak PPATK temuan dan itu telah dilaporkan ke pihak kepolisian.
"Hal itu sangat perlu diwaspadai apalagi PPATK telah mensinyalir adanya 1 Triliun dana kejahatan lingkungan yang masuk ke parpol," katanya.
Ia menambahkan, siapa punya kepentingan itu tentu, pihak-pihak yang pragmatis dan ingin melanggengkan penguasaan modalnya akan memanfaatkan pemilu untuk mempengaruhi paslon agar mengamankan kepentingannya tersebut.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja usai acara Diskusi di Bawaslu pekan lalu, meminta agar setiap peserta pemilu 2024 melaporkan dana kampanye untuk menghindari pelanggaran. Baik laporan awal maupun laporan akhir, baik yang berupa sumbangan dan lain -lain
Dikutip dari buku Pedoman Keuangan Politik terbitan Idea, keengganan beberapa pihak untuk mengungkapkan seberapa besar uang yang mereka gelontorkan ke dalam arena politik juga dapat memperlemah prinsip transparansi. Banyak orang di seluruh dunia juga telah menyadari bahwa pemilu yang terselenggara dengan baik tidak akan menghasilkan apa-apa jika hasil akhirnya ditentukan oleh lembaran uang daripada lembaran kertas suara.
Di banyak negara, ada kecenderungan komersialisasi politik yang menguatkan relasi antara sektor politik dan sektor bisnis. Ketergantungan terhadap dana bantuan pemerintah umumnya rendah, dengan beberapa pengecualian di beberapa negara. Penegakan peraturan keuangan politik merupakan modal yang krusial bagi peningkatan transparansi di wilayah ini.
Pelaporan keuangan Salah satu fondasi dasar sistem peraturan keuangan politik yang baik adalah adanya keharusan bagi pihak-pihak yang terlibat untuk melaporkan bagaimana mereka mendapatkan dan menggunakan uang. Tujuan pelaporan ini ada dua. Pertama, informasi yang didapat dari pelaporan dapat membantu pencapaian prinsip transparansi sebagaimana diamanatkan oleh United Nations Convention against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB untuk Pemberantasan Korupsi, sehingga memudahkan pemilih untuk mengambil keputusan saat berada di bilik suara. Rasa takut untuk menghadapi skandal dan kehilangan dukungan suara dapat menjadi insentif perilaku yang lebih efektif daripada sanksi-sanksi hukum
Tentang dana Kampanye, diketahui saat ini di Mahkamah Konstitusi juga sedang berlangsung gugat uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Uji Materi ini diajukan oleh Dorel Almir, Abda Khair Mufti dan Muhammad Hafidz. Mereka menggugat tersebut UU tersebut membatasi adanya pemberian sumbangan oleh perorangan sebesar 2,5 miliar dan kelompok atau badan senilai 25 miliar.
Tetapi UU terutama pasal Pasal 326 UU Pemilu tidak mengatur berapa batasan untuk sumbangan calon dan partai. Mereka menginginkan ada batasan untuk sumbangan dari calon atau partai, untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh melebihi 85 miliar (delapan puluh lima miliar rupiah) sedang untuk kelompok mencakup partai politik dan/atau gabungan partai politik tidak boleh melebihi 850 miliar (delapan ratus lima puluh miliar rupiah). Pengajuan ini masih dalam proses saran untuk perbaikan terutama berkaitan dengan kerugian konstitusionalitas Pemohon yang ditimbulkan oleh keberlakuan norma a quo.
Pengelolaan Dana Kampanye Pasangan Amin
Menilik lebih jauh pengelola keuangan pasangan calon dalam mengelola dana kampanye. Anis mengakui akan membutuhkan dana yang cukup besar. Untuk mengurangi beban itu, terutama untuk produksi alat peraga. Anies menyebut tidak mencetak, timnya hanya menyediakan konten kampanye masyarakat dan relawan yang akan mencetak.
Darimana asal dana untuk kegiatan kampanye mereka. Salah satu anggota Tim Sukses pasangan Anies-Muhaimin, menceritakan selain dari sumbangan masyarakat dana juga didapat dari modal awal dari share antara dua pasangan yang besarnya 60 persen dari pihak capres dan 40 persen dari pihak cawapres. Tentu dari sokongan dari sokongan para partai pengusung, "Tapi saya tidak tahu berapa nilainya, bisa ditanyakan ke partai masing masing," ujar sumber yang dekat dengan pasangan Amin.
Tapi yang jelas pilpres kali ini tak ada mahar yang berkardus -kardus kepada partai politik, jika dibanding pada pilpre 2019 yang santer terdengar ada mahar berkadus. "Saya jamin pasangan Amin ini paling minimal dari yang lain, yang saya mengikuti persis prosesnya," kata sumber yang mengaku dalam lingkaran.
Ia mengaku mengetahui konsep bagi pendahaan itu, karena ikut mengkonsep MoU perjanjian itu. Ia juga enggan menyebut berapa nilai besaran dana yang terkumpul dari pasangan itu. Sumber dilingkung pasang Amin juga enggan membeberkan berapa nilai kebutuhan anggaran untuk kebutuhan pemenangan pasangan itu. Ia menyebut pendanaan untuk pasaran Amin, tak sebesar pasang Prabowo-Gibran dan pasangan Ganjar-Mahfud. "Kami masih dibawah mereka lah" ujarnya. Ketika disebutkan angka kisaran 1-7 triliun, menurut di itu angka yang moderat untuk keperluan pilpres. "Tapi kami tak sebesar itu, " tegas sumber itu kepada VOI.