Militer Myanmar Kerahkan Kendaraan Lapis Baja hingga Preman, Warga Gelar Ronda Malam

JAKARTA - Militer Myanmar memperketat pengamanan di berbagai wilayah Negeri Seribu Pagoda tersebut, seiring dengan pengerahan kendaraan lapis baja besar-besaran hingga pemutusan akses internet dan pengerahan preman, untuk mengantisipasi perkembangan unjuk rasa menolak kudeta militer Myanmar. 

Pada Minggu malam, kendaraan lapis baja muncul di ibu kota komersial Yangon, Myitkyina dan Sittwe, ibu kota negara bagian Rakhine. Ini untuk pertama kalinya militer mengerahkan kendaraan lapis baja besar-besaran sejak kudeta 1 Februari lalu. Lewat tengah malam, sambungan internet di Myanmar pun terputus. 

Pada Hari Senin, lebih dari selusin truk polisi dengan empat kendaraan meriam air dikerahkan di dekat Pagoda Sule di Yangon, yang telah menjadi salah satu pusat unjuk rasa di ibukota komersial, melansir Reuters.

Tentara juga dikerahkan  ke pembangkit listrik di negara bagian utara Kachin, tempat banyak terdapat pengunjuk rasa, dengan dugaan untuk memutus aliran listrik. 

Selain tentara, militer Myanmar juga ditenggarai mengerahkan preman untuk menciptakan gangguan keamanan, sekaligus menciptakan bentrok dengan warga masyarakat.

Ini direspon dengan penduduk mengadakan penjagaan atau ronda malam, dengan mengorganisir kelompok-kelompok penjaga keamanan, untuk mencegah para preman. Misalnya seperti yang dilakukan penduduk Yangon.

Indikasi ini terlihat sejak Jumat malam pekan lalu, dimana sejumlah orang asing terlihat berperilaku mencurigakan di beberapa wilayah di Yangon, Mandalay dan kota-kota lain di tengah pemberlakuan jam malam

Setelah ditangkap oleh warga sekitar, beberapa ditemukan dengan uang tunai dalam jumlah besar atau berada di bawah pengaruh obat-obatan. Kebanyakan dari mereka tidak dapat memberikan alasan yang tepat untuk perilaku larut malam mereka.

Kemunculan mereka yang tiba-tiba juga bertepatan dengan pengampunan rezim militer terhadap lebih dari 23.000 narapidana, yang kebanyakan penjahat dan beredarnya rumor tentang pembakaran dan upaya meracun pasokan air minum.

Hal-hal ini mengingatkan warga akan taktik yang sama seperti dipakai militer Myanmar 33 tahun silam, yakni pada pemberontakan demokrasi pada tahun 1988 silam, dimana para provokator dikirim untuk membuat kerusuhan. Sehingga, ketika terjadi ketidak stabilan, militer bisa bertindak lebih jauh.

"Satu hal yang pasti adalah, mereka (militer) memprovokasi ketidakstabilan. Hanya jika itu terjadi, mereka bisa membenarkan tindakannya. Orang-orang mengalami skenario semacam ini pada tahun 1988," kata warga bernama U Than Soe melansir The Irrawaddy.

Diketahui, warga mulai berjaga selepas jam malam di pos-pos keamanan lingkungan yang dibuat. Warga juga mempersenjatai diri dengan tongkat pemukul yang cukup besar.