Branding Sangat Penting dalam Kampanye Pilpres, Perkara Isinya Beda Itu Soal Nanti

JAKARTA – Bicara mengenai suatu produk, maka tidak bisa dilepaskan dari penjenamaan atau pencitraan merek. Sebagian besar masyarakat, mungkin lebih populer dengan istilah branding.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penjenamaan adalah proses penciptaan nama dan citra unik untuk suatu produk di benak konsumen.

Menurut Guru Besar Ilmu Marketing Universitas Prasetiya Mulya Prof. Agus W. Soehadi, Pd. D, produk tidak hanya sebatas pada benda. Produk bisa juga individu atau organisasi. Lalu ketika bicara kampanye Pilpres, produk berarti si calon pemimpin, sementara konsumen adalah voter atau pemilih.

Pasangan Capres-Cawapres PDIP, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. (Dok. VOI) 

“Saat bicara penjenamaan di era sekarang ini, biasanya berkaitan atas dasar fungsi yang sifatnya rasional,” kata Agus dalam acara Diskusi Publik: Bahasa dan Kampanye Pemilu yang diselenggarakan Universitas Prasetiya Mulya dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), di Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis (9/11/2023).

“Tapi ke depan, penjenamaan tidak hanya dilihat dari sisi rasional saja, tapi juga banyak yang sifatnya emosional, ketika melihat relasi antara produk dan konsumen, melihat antara pemimpin dan pengikutnya,” imbuhnya.

Jika pendekatan rasional dapat dilihat berdasarkan misalnya kualitas dan pelayanan sebuah produk, berbeda dengan emosional yang didasari pada suka atau tidak suka.

Pentingnya Bahasa dalam Penjenamaan

Dalam membangun sebuah penjenamaan diri, penggunaan bahasa juga sangat berpengaruh bahkan bisa menjadi salah satu alasan seseorang memilih calon tertentu.

Hal ini bisa mencontoh Barack Obama dalam kampanye Presiden Amerika Serikat pada 2008 dan 2012. Dalam kampanyenya, Obama dinilai menggunakan kata-kata yang mendobrak dan menginspirasi.

“Saat itu kulit hitam tidak termasuk golongan elite di AS, tapi dengan kata-kata ‘perubahan’ menarik para pemilihnya. Dia mencoba menginspirasi bahwa orang yang ada di bawah bisa menjadi pemimpin,” kata Obama.

“Ini termasuk penjenamaan diri, bahwa dirinya memiliki karakter yang diinginkan oleh voter,” ujar Obama lagi.

Pendukung menyaksikan deklarasi bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebelum pendaftaran menuju Gedung KPU di Indonesia Arena, Jakarta, Rabu (25/10/2023). (Antara/Galih Pradipta/aww)

Komunikasi yang efektif adalah salah satu kunci keberhasilan calon pemimpin menarik perhatian elektoral. Dan, untuk meningkatkan efektivitas komunikasi dapat menggunakan pendekatan aura karismatik.

Aura karismatik adalah individu yang mampu membuat orang tunduk dan patuh dan aura karismatik akan semakin kuat jika aura yang dimiliki oleh pemimpin sesuai dengan mayoritas aura yang dimiliki oleh publik.

Seseorang atau pemimpin yang memiliki aura karismatik dinilai dapat dengan mudah menarik perhatian orang, bahkan menjadikan mereka begitu loyal terhadap pemimpinnya.

“Contohnya seperti yang dikatakan tadi, zaman dulu ketika Presiden Soekarno pidato melalui siaran radio, semua orang akan duduk mendengarkan radio tersebut. Ada relasi yang demikian kuat antara Bung Karno dan para pengikutnya,” Agus mencontohkan.

Preferensi Aura Karismatik Generasi Z

Agus menjelaskan ada delapan jenis aura yang disukai oleh publik. Yaitu aura tulus (innocent), petualang (explorer), pemberani (hero), peduli (caregiver), terpelajar (sage), pencerah (inspirer), pemberontak (rebel), dan penguasa (ruler).

Berdasarkan survei preferensi aura karismatik yang dilakukan terhadap generesi Z mahasiswa UPM dan IKJ pada periode 3-7 November 2023, ada tiga aura yang disukai yaitu tulus (innocent), peduli (caregiver), dan terakhir adalah aura pemberani (hero).

Melalui survei yang sama pula, diketahui bahwa tiga bakal calon presiden (capres) memiliki aura karismatik dominan yang berbeda.

“Bagi Bacapres Anies Baswedan aura terpelajar yang mendominasi, sementara Ganjar Pranowo yang dominan adalah aura peduli, dan terakhir Prabowo aura yang dominan adalah pemberani,” jelas Agus.

Capres-Cawapres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. (Antara)

Dalam beberapa pekan terakhir, pemberitaan negatif di media seolah menjatuhkan penjenamaan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Branding Gibran sebagai bakal calon wakil presiden Prabowo terus diuji setelah keikutsertaannya Wali Kota Surakarta ini dalam kontestasi Pilpres 2024 dikritik banyak orang serta diwanai bayang-bayang nepotisme.

Namun, berdasarkan beberapa survei, elektabilitas Prabowo-Gibran masih mengungguli dua pasangan lainnya, yaitu Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Salah satunya adalah Populi Center yang mengatakan elektabilitas Prabowo-Gibran 43,1 persen, disusul Ganjar-Mahfud 23 persen, dan terakhir Anies-Muhaimin 22,3 persen.

Namun perlu diketahui, elektabilitas Prabowo-Ganjar juga menurun di beberapa survei, salah satunya Ipsos Public Affairs pada periode 17-19 Oktober 2023.

Guru Besar Ilmu Marketing Universitas Prasetiya Mulya Prof. Agus W. Soehadi, Pd. D (kanan) dalam Diskusi Publik: Bahasa dan Kampanye Pemilu yang diselenggarakan Universitas Prasetiya Mulya dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Kamis (9/11/2023). (VOI/Dewi) 

Pasangan Prabowo-Gibran memperoleh 31,32%; adapun pasangan Ganjar-Mahfud mendapatkan 31,98%. Sementara Anies dan Muhaimin mendapatkan 28,91% suara.

Menurut Agus, penjenamaan pasangan Prabowo-Gibran tidak begitu terpengaruh oleh narasi negatif yang disampaikan media, karena ada kemungkinan tidak semua elektoral mengonsumsi berita-berita negatif tersebut.

“Kalau dilihat dari hasil survei tidak banyak dampaknya, meski ada pengurangan tapi tidak besar, dan ini menarik. Mungkin yang mengonsumsi narasi negatif tidak semua voters,” jelasnya.

“Ada perbedaan generasi, meski kita belum survei semuanya, generasi boomers, generasi X, generasi milenial, dan generasi Z. Yang disurvei oleh kami hanya generasi Z dan pertanyaannya seberapa jauh gen Z mengonsumsi narasi negatif di media?” Agus mengimbuhkan.

Lebih lanjut ia mengatakan, istilah nepotisme dan dinasti politik lebih dekat dengan generasi X karena umumnya mereka lekat dengan peristiwa 1998. Dan, ini tidak dialami oleh generasi Z.

Meski begitu, Agus tak menampik bahwa bayang-bayang nepotisme tetap akan menghantui pasangan Prabowo-Gibran.

“Sekarang, tinggal seberapa jauh pasangan tersebut menegasi isu-isu tersebut. Mungkin ini akan dilakukan di masa kampanye,” kata Agus mengakhiri.