Putusan Batas Usia Capres Cawapres Dianggap Inkonstitusional, Pencalonan Gibran di Pilpres 2024 Disebut Cacat Legitimasi
JAKARTA - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harjanti mengingatkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara 90/PUU-XXI/2023 adalah cacat legitimasi setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutus Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat dan diberhentikan sebagai ketua MK.
“Ketika kita bicara pencalonan, legitimasi, itu kan bisa dilihat dari berbagai perspektif, ada politik, hukum. Secara umum legitimasi orang masih dilihat legal. Pertanyaan ketika putusan perkara 90 dijadikan dasar hukum untuk pencalonan, apa itu memenuhi syarat hukum tertentu?," ujar Prof Susi kepada wartawan, Jumat, 10 November.
Sejak awal, lanjut Susi, permohonan uji materi terkait batas usia capres-cawapres bermasalah. Mulai dari hukum acara, legal standing, bahkan pemohon tidak punya legal standing.
Hal itu pun diamini hakim Suhartoyo yang kini menjadi Ketua MK. Di mana perkara yang ditarik, diperiksa kembali beserta putusannya.
“Dengan begitu banyak persoalan yang dihadapi putusan 90 itu, kemudian putusan itu dipertanyakan, apalagi dengan putusan MKMK bahwa ketua MK diberhentikan dari jabatannya. Ini semakin menunjukkan apakah putusan 90 menjadi dasar hukum yang kuat bagi pencalonan Gibran?," kata Prof Susi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Action (CISA) Herry Mendrofa menilai pasangan capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan membuka pelanggaran lebih lanjut karena berawal dari proses pencalonan yang diwarnai pro-kontra dan pelanggaran etik.
"Saya kira calon ini banyak minusnya sebenarnya, dari sudut pandang etik, manuver, tentunya yang bisa dikategorikan pelanggaran pemilu," kata Herry, Jumat, 10 November.
Persoalan legitimasi, lanjutnya, juga menjadi sorotan dari pasangan tersebut. Sebab, otoritas seorang pemimpin didasarkan pada legitimasi. Ketika legitimasi dipersoalkan maka pemimpin tersebut ditakutkan akan memicu pelanggaran yang lain.
"Ya, jelas akan ada banyak manuver yang inkonstitusional. Pelanggaran-pelanggaran etik, konstitusi, itu saja. Mengarah ke sana," ungkapnya.
Baca juga:
Selain itu, Herry juga mengkhawatirkan adanya penggunaan otoritas untuk menutupi kesalahan dan memunculkan pelanggaran selanjutnya. Termasuk penggunaan alat negara.
“Karena menggunakan otoritas. Jadi pasti arahnya akan ada pelanggaran-pelanggaran selanjutnya. Kita meyakini hal itu bisa saja terjadi karena dari awal sudah diwarnai pelanggaran," tegasnya.
"Ini tidak semua bisa ditegakkan, karena dari pencalonan saja sudah pelanggaran etik. Apalagi hanya dengan alat peraga kampanye,” tambahnya.
Herry berharap, aparat penegak hukum bisa netral di Pemilu 2024. "Saya mengkhawatirkan kalau misalnya nanti arahnya ada upaya menggerakkan aparat penegak hukum, saya minta itu tidak terjadi," pungkasnya.