Survei Lokataru: Pemerintahan Joko Widodo Dianggap Mirip Zaman Orde Baru
JAKARTA - Lokataru Foundation merilis hasil survei terkait persepsi mahasiswa mengenai RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang kini sedang digodok pemerintah Joko Widodo. Survei ini digelar pada bulan Februari ini, diikuti oleh 194 mahasiswa (yang setelah verifikasi ulang, menjadi 180 orang) dari 77 kampus di 18 provinsi seperti DKI Jakarta, Lampung, Jawa Tengah, Banten, dan berbagai daerah lainnya.
Berdasarkan rilis dari website Lokataru.id, survei ini berfokus pada pengetahuan mahasiswa soal rancangan undang-undang tersebut, bukan mempertanyakan soal isi RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebab, pengetahuan terhadap rancangan ini dirasa penting apalagi terdapat 73 Undang-Undang yang akan direvisi yang terdiri dari 15 bab serta 174 Pasal.
Selain itu, rancangan ini juga memuat 11 klaster, yaitu: Penyederhanaan Usaha; Persyaratan Investasi; Ketenagakerjaan; Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM; Kemudahan berusaha; Dukungan Riset dan Inovasi; Administrasi Pemerintahan; Pengenaan Sanksi; Pengendalian Lahan; Kemudahan Proyek Pemerintah; Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
"Kami menganggap penting pandangan dari kelompok mahasiswa, terutama perihal pandangan mereka terkait keterlibatan masyarakat sipil dalam penyusunan RUU ini," kata mereka dalam rilisnya seperti dikutip VOI.
Berdasarkan survei itu, sebanyak 93,3 persen mahasiswa mengaku tahu soal RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan 56,7 persen mahasiswa mengaku sudah membaca draf RUU tersebut dari berbagai sumber termasuk media sosial.
Meski persentase mahasiswa yang tahu soal rancangan undang-undang ini cukup banyak, namun, sebanyak 91,8 persen mahasiswa merasa, sebagai bagian dari masyarakat, tak dilibatkan dalam proses rancangan perundangan tersebut.
Selain itu, 85,1 persen mahasiswa meyakini pemerintah tak melibatkan akademisi serta masyarakat sipil saat membahas RUU Cipta Kerja tersebut.
Sebanyak 55,7 persen mahasiswa yang ikut dalam survei itu meyakini pemerintah hanya berdiskusi dengan kalangan pengusaha, seperti KADIN dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).
Diakhir survei, Lokataru menanyakan pendapat mahasiswa terkait pelibatan BIN dan Polri untuk mendekati organisasi masyarakat yang tak setuju dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Hasilnya, sebanyak 193 mahasiswa ini memberikan respon beragam seperti menyebut pemerintah Presiden Jokowi ini bak neo orde baru, otoriter, represif, intimidatif, melakukan pembungkaman, mencederai demokrasi, menggunakan cara kotor, dan berpihak kepada investor.
Isu ini ditanyakan, mengingat beberapa waktu lalu untuk menghadapi kelompok masyarakat, seperti dari buruh melakukan penolakan terhadap rancangan undang-undang tersebut.
Atas penolakan tersebut, beberapa waktu yang lalu Jokowi kemudian meminta Polri hingga Badan Intelijen Negara (BIN), untuk melakukan pendekatan dan komunikasi agar kebijakan itu bisa dipahami.
"Kepada Kapolri, Kepala BIN, Jaksa Agung dan seluruh kementerian yang terkait, yang berkaitan dengan komunikasi, yang dulu saya sampaikan ini juga agar pendekatannya kepada organisasi-organisasi yang ada juga dilakukan," kata Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu 15 Januari.
Kami menghubungi Manajer Riset Lokataru Foundation Mirza Fahmi, menanyakan alasan mahasiswa menganggap pemerintahan Presiden Jokowi seperti neo orde baru. Menurut dia, anggapan ini muncul setelah Presiden Jokowi memerintahkan BIN dan Polisi untuk turun di tengah organisasi masyarakat yang menolak rancangan perundangan ini.
"Dia (Presiden Jokowi) menggunakan alat negara dalam artian aparat keamanan untuk menyelesaikan program pemerintah di luar tupoksinya," kata Mirza lewat sambungan telepon pada Minggu, 1 Maret.
Baca juga:
Soal pemerintah Jokowi yang dianggap seperti neo Orde Baru, Mirza mengatakan pendekatan komunikasi dengan memerintahkan BIN dan Polisi ini bukanlah satu langkah komunikasi yang baik melainkan hanya kedok semata.
Mengingat, mungkin saja para otoritas keamanan itu melakukan intimidasi terhadap organisasi yang menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja. "BIN atau Polri kan tupoksinya bukan sebagai sosialisasi kebijakan atau komunikator kebijakan. Sebetulnya, mahasiswa menilai sebagai kedok saja. Bisa saja sebenarnya intimidasi," tegas dia.
Mirza juga mempertanyakan, kenapa dalam sosialisasi RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini dilakukan polisi dan BIN bukannya dilakukan oleh mereka yang lebih kompeten untik berkomunikasi dan bertugas untuk menjelaskan seperti Kepala Staf Presiden (KSP), deputi, atau menteri terkait.
"Kenapa dia menyuruh BIN atau Polri yang sangat jauh dari tupoksinya? Jadi ini adalah menggunakan pendekatan yang kasar sebenarnya untuk tujuan memuluskan kebijakan itu. Saya rasa mahasiswa menangkap presepsi itu kemudian dia menjadi meluas bahwa ini ada nuansa otoriter, otoritarian dan orde baru," tutupnya.