Kontestasi di Bawah Bayang-bayang Kasus Hukum

JAKARTA - Pasangan Capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka melenggang melewati tahapan pemilu tanpa hambatan. Keberadaannya di koalisi gemuk, dengan 8 partai membuat mereka semakin percaya diri.

Namun ada permasalahan yang membayangi pencalonan pasangan itu. Bagai menyimpan bara dalam sekam dan sewaktu waktu bisa membakar. Polemik pasca putusan Mahkamah Konstitusi, belum mereda. Karena publik tidak begitu saja bisa menerima, manuver elit politik yang jelas-jelas dan kasat mata mengakali hukum untuk kepentingan tertentu. Potensi perlawanan publik masih menghantui pasangan Prabowo-Gibran.

Meski Putusan 90/PUU-XXI/2023 bisa langsung dilaksanakan, banyak ahli Hukum Tata Negara dan masyarakat luas masih terus mengkritik dan menyoal putusan tersebut. Mereka menduga ada peran pemegang kekuasan yang menggerakan hakim konstitusi untuk menggolkan misi tersebut.

Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Feri Ansari, hampir tidak mungkin Gibran bergerak sendiri, melihat pengalaman dia yang baru dua tahun di pemerintahan. Feri yakin hal ini dibicarakan dalam ruang-ruang keluarga, bagaimana si anak dapat ruang bisa menjadi calon wakil presiden. Sehingga muncul putusan yang terkesan sistematis, ujar Feri saat dialog di podcast Abraham Samad, pekan lalu.

Feri sendiri beranggapan putusan itu cacat hukum, karena beberapa faktor, antara lain adanya konflik kepentingan yang menyertai putusan itu. Meski putusan bersifat erga omnes berlaku untuk semua. Namun faktanya satu-satunya orang yang memanfaatkan putusan itu adalah Gibran. Jadi di sana ada nuansa konflik kepentingan, mengacu UU No 28 /1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme eksplisit pasal 1 angka 5, ada nepotisme ketika penyelenggara negara menggunakan wewenangnya untuk kepentingan keluarga.

Tak hanya persoalan etik yang disoal, keputusan itu menurut Feri, juga berimplikasi pidana. Pasal 28/1999 nepotisme bisa dipidana, dan kalau terbukti pidana sudah pasti melanggar etik. Siapa penyelenggara yang dapat dipidana menurut Feri, adalah Ketua MK, Anwar Usman. "UU 28/1999 sampai saat ini belum di cabut," kata Feri.

Pendaftaran Paslon Prabowo-Gibran Cacat Prosedur

Pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran sebagai capres dan cawapres, juga masih menyisakan persoalan hukum yang serius, cacat prosedur. Prosedur yang dilalui cacat formil. Tentunya yang bisa menyatakan bahwa ada pelanggaran itu adalah pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Permasalah itu berpotensi digugat di PTUN.

Gugatan baru terlihat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, seorang Dosen Brian Demas Wicaksono, menggugat KPU atas dugaan perbuatan melawan hukum karena menerima pendaftaran capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran. Menurutnya, KPU harusnya menggelar rapat dengan DPR untuk menyusun PKPU atas peraturan dari keputusan MK terbaru tetapi itu justru tidak dilakukan, malah menerima pendaftaran paslon Prabowo - Gibran. Gugatan itu dilayangan Brian ke Pegadilan Negeri Jakarta pusat, ia menggugat KPU membayar ganti rugi Rp 70,5 triliun.

Menanggapi lolosnya pasangan Prabowo - Gibran di KPU. Feri mengatakan, hal itu juga menyisakan persoalan, KPU seharusnya membuat PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) terlebih dahulu. Ini tidak dilakukan, KPU hanya membuat pengumuman ke partai partai."Seperti ada privilege untuk anak presiden," tambahnya.

Ini menurut Feri akan menjadi persoalan hukum jika pasangan Prabowo - Gibran kelak menang, orang akan mempersoalkan bahwa terjadi kesalahan administrasi dan bisa menyebabkan kerugian dalam perselisihan di Mahkamah Konstitusi kelak. "Kalau Sang Paman masih di Mahkamah Konstitusi mungkin mereka akan dimenangkan, tentu lain cerita jika Sang paman tak lagi di sana," ujarnya.

Selain hambatan-hambatan ini yang menjegal pasangan Prabowo - Gibran, sampai saat ini proses di Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang masih terus bergulir. Sejumlah pengaduan tentang pelanggan etik telah membanjiri MKMK. Terakhir pelaporan 16 pakar hukum yang tergabung dalam dalam Constitutional and Administrative Law Society [CALS] melaporkan dugaan pelanggaran etik Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Anwar diduga memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) dalam penanganan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 karena terkait erat dengan relasi kekeluargaannya.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Kamis 26 Oktober kemarin telah menggelar sidang klarifikasi perdana kasus dugaan pelanggaran kode etik para hakim konstitusi berkaitan dengan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait dengan syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden. MKMK pada sidang perdana itu memeriksa 10 pelapor untuk dikonfirmasi mengenai laporan pengaduan mereka.

Denny Indrayana, salah satu pengaju gugatan itu meminta Majelis Kehormatan yang dipimpin Jimly Asshiddiqie agar MKMK mempertimbangan putusan atas pengadun etik itu bisa diputus sebelum tanggal 8 November, karena itulah batas yang diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pasangan calon bisa mengganti pasangan cawapresnya. Menanggapi permohonan Denny, Jimly akan berkoordinasi dengan Majelis kemungkinan akan mendahulukan keputusan atas permohonan Denny. Denny beranggapan keputusan MKKM akan berdampak pada batalnya putusan 90/PUU-XXI/2023 karena dianggap putusan cacat hukum. Konsekuensinya Gibran Rakabuming tidak bisa ditetapkan KPU sebagai paslon cawapres dari capres Prabowo Subianto, dan perlu ada penggantian cawapres.

Pentingkah MKMK ?

MKMK disoroti Feri lembaga yang dibentuk oleh hakim konstitusi sendiri dan di masa lalu putusan MKMK atau Dewan Etik saat itu, rata-rata menjadi putusannya tempat berlindung dari pelanggaran etik yang dituduhkan publik, "Seolah apa yang tuduhkan soal pelanggaran etik, sudah diputuskan MKMK dan tidak terbukti." kata Feri.

Selain itu ia juga melihat ada persoalan konflik kepentingan di tubuh MKMK. Ada 3 orang yang duduk di MKMK yakni Prof Jimly mantan ketua MK pertama, Prof Bintan Saragih pernah di Dewan Etik MK, Ketiga, hakim MK yakni Wahiduddin Adam, ketiga-ketiganya dipertanyakan kepentingan konflik interest.

Caption

Jimly Asshiddiqie tidak ada yang meragukan kapasitas, integritas dan kemampuannya dalam ketatanegaraan tetapi Jimly dianggap memiliki konflik kepentingan. Dia pernah mendukung pasangan Prabowo dan salah anaknya juga berada di pasangan itu dan pernah mencalon lewat Partai Gerindra sehingga konflik kepentingannya tinggi.

Baru-baru ini Jimly juga diadukan masyarakat ke DPD, instansi asalnya. Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti membenarkan ada pengaduan tentang dugaan rangkap jabatan Jimly karena menerima penugasan sebagai anggota MKMK. Padahal UU MPR, DPR dan DPD Pasal 302 melarang anggota DPD merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya dan hakim pada badan peradilan. Menanggapi kasus ini, LaNyala mengaku telah menggelar rapat pimpinan DPD, saat ini mereka mendelegasikan penanganan kasusnya ke Badan Kehormatan DPD.

Sementara Bintan Saragih, dari dulu dia anggota Dewan Etik MK dan dikenal dekat dengan MK, ini dianggap ada konflik kepentingan. Wahiduddin Adam, hakim MK dan dia menyidangkan kasusnya, posisinya akan menjadi tidak fair jika dia harus berhadapan dengan orang yang diadili.

Jadi semua ada konflik kepentingan, bagaimana orang yang punya konflik kepentingan akan mengadili pelanggaran konflik kepentingan. Feri mengatakan, "Bagi saya tidak mungkin orang akan mengadili pelanggaran etik, sementara orang itu dipertanyakan standar etiknya," ujarnya.

Diperkirakan tak hanya akan mengganggu perjalanan kontestasi pasangan Prabowo-Gibran, karena memanfaatkan Putusan MK 90 yang bisa dibatalkan. Kasus hukum ini juga berpotensi mengimbas kepada Jokowi. Banyak orang sudah memberi warning kepada Jokowi. Mereka meminta Jokowi berhati-hati dalam kasus ini.

Feri mengingatkan presiden bisa terkena pemakzulan dalam kasus ini. Orang menduga Jokowi sunguh-sungguh akan membentuk dinasti dan orang tidak akan membiarkan Jokowi melanggengkan kekuasaannya. Publik akan bersatu padu untuk menggagalkan dinasti ini.

Saat ini peluang untuk melakukan impeachment sudah memenuhi. Jika PDIP, Nasdem, PKS dan PKB bergabung sudah memenuhi syarat 270 orang sudah 1/3 dari 711 orang anggota MPR. Sudah bisa mengusulkan apa yang terjadi dalam proses politik karena ada pelanggaran hukum.

Kasus itu juga bisa ditarik-tarik dengan UU Cipta Kerja, UU KPK, atau presiden mengabaikan nilai-nilai etika yang lain. Puncaknya soal membuat karpet merah untuk anaknya melalui Mahkamah Konstitusi. Seseorang bisa dimakzulkan, menurut Ferri karena 5 alasan yaitu korupsi, suap, pengkhianatan kepada negara, mis de minor (perbuatan tercela), tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan pelanggaran UU tentang nepotisme.

Hal yang sama juga diingatkan Ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP Muhammad Romahurmuziy, menurutnya ini pelanggaran yang sangat serius. Kalau meminjam pendapat Hakim Saldi Isra, salah satu hakim yang melakukan dissenting opinion, MK sedang menjebakkan dirinya dalam pusaran politik. Harusnya anggota MK, orang-orang yang punya jiwa negarawan, tetapi ternyata kenegarawan hilang serta merta untuk sebuah kepentingan yakni memberangkatkan keponakannya. "Ini ancaman nyata pada demokrasi," ujarnya.

Itulah yang namanya mengakali demokrasi, tambah Romy, apakah sah wong prosesnya disediakan? proses nya disediakan tetapi anda tak boleh mengakali semaunya sendiri. Ini yang mencederai rasa keadilan masyarakat. "Kita mengingatkan Jokowi, karena kita mencintai Jokowi, sepahit apa pun harus disampaikan.

Harus dipahami, kata Rommy, sudah banyak orang berteriak, menolak putusan MK. Berbagai meme juga berseliweran sebagai ungkapan kekecewaan itu bukan manifestasi para buzzer, tetapi benar-benar diteriakan masyarakat. Kalau Jokowi pernah bilang "Ojo grusa grusu, ojo kesusu. Mereka meneruskan meme itu dengan "anaku arep melu," kata Rommy, ditemui VOI di kediamannya, Jumat. (27/10).

Jangan Tarik Hukum ke Gelanggang Politik

Seruan yang sama juga diungkapkan Direktur PolMark Research Centre, Eep Saefulloh Fatah menurutnya presiden perlu diingatkan. Sebagai presiden yang tumbuh dari akar populisme, berkembang oleh demokrasi, bagaimana dukungan rakyat bisa diambil dengan berbagai cara entah namanya popularitas atau pencitraan atau apapun namanya. Tapi nyatanya dapat dukungan, sehingga menjadi waki kota 2 periode, gubernur sekali, presiden 2 kali.

Tapi hendaknya jangan lupa justru akar itu yang keropos, karena anda berbuat seenaknya. Sehingga rakyat merasa keadilannya tercederai, merasa dikhianati. Maka pohon sebesar apapun jika akarnya sakit akan tumbang. jika itu terjadi jangan salahkan orang lain, karena anda mengabaikan akar dimana anda tumbuh besar. Menurut Eep ini adalah years of leading dangerously, tahun-tahun memimpin dengan bahaya, karenanya salah langkah bahaya.

Menurut Eep, sebagai orang yang 14 tahun berkecimpung dalam riset dan pendampingan kegiatan politik, ia bisa merasakan dengan feeling dan instingnya. "Saya menganggap ini situasi yang tidak biasa-bisa saja," ujarnya. Presiden harus hati-hati, karena banyak ahli hukum, masyarakat yang sudah melek hukum, dan media masa juga memantau, sesuatu yang terjadi sekarang ini tidak bisa ditutup-tutupi. Mereka telah belajar demokrasi, dan bagaimana menggunakan hukum sebagai instrumen.

Menurut Eep, bisa saja masyarakat menggunakan TAP MPR 11/1998, tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, nepotisme dan undang-undang 28/ 1999 tentang penyelenggara pemerintah yang bersih dari nepotisme, karena ada seorang paman membuka jalan bagi keponakannya, dan itu dikonfirmasi oleh hakim yang lain, dissenting opinion-nya.