Mula Istilah Petugas Partai ke Jokowi
JAKARTA - Megawati Soekarnoputri dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memiliki andil besar membesarkan Joko Widodo (Jokowi) di panggung politik. Restunya membuat Jokowi melenggang-langgeng jadi pemimpin. Dari Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden Republik Indonesia.
Narasi itu membuat Megawati kerap menyebut Jokowi sebagai petugas partai. Istilah itu kini kian sering terdengar. Jokowi pun diharapkan dapat menjalankan ideologi PDIP. Lalu, bagaimana mulanya istilah petugas partai ke Jokowi muncul?
Eksistensi Jokowi di dunia politik bermuara dari Solo, Jawa Tengah. Pengusaha mebel itu kepincut dengan dunia politik. Keinginan itu diwujudkan oleh Megawati dan mesin politiknya, PDIP. Jokowi jadi mendapatkan kendaraan yang pas untuk melangkah maju sebagai Wali Kota Surakarta.
Hasilnya gemilang. Kolaborasi Jokowi dan PDIP berbuah kemenangan. Tak hanya sekali, tapi dua kali. Jokowi pun menjabat sebagai Wali Kota Surakarta dua periode, dari 2005 hingga 2012. Jokowi terus membuktikan bahwa pilihan warga Surakarta tak salah.
Pria kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 langsung menunjukkan kapasitasnya dalam hal tata kota. Ia mencoba mempercantik Surakarta. Pun kepekaannya terhadap rakyat kecil terlihat. Segala macam kebijakan yang melanggengkan hajat hidup rakyat kecil dilakukan.
Jokowi juga tak segan-segan menjumpai para demonstran tiap ada demonstrasi di depan kantornya. Jokowi ikut turun pula mencarikan solusi setiap masalah. Kemudian, Jokowi mencoba memperkenal mobil ciptaan putra daerah Surakarta, Esemka.
Keberhasilan itu membuat Jokowi menjelma bak media darling. Laku hidup Jokowi, utamanya saat memimpin Surakarta diwartakan sana-sini. Ia dielu-elukan bak pemimpin masa depan Indonesia. Hasilnya, nama Jokowi dalam peta nasional kian kesohor.
Megawati dan PDIP tak ingin melepaskan kesempatan itu. Jokowi pun dimajukan dalam Pilgub DKI Jakarta 2012. PDIP kemudian memasangkan Jokowi dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Cawagub dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Keduanya yang menggunakan atribut baju kotak-kotak segera merebut suara warga Jakarta. Mesin partai pun itu melanggengkan ajian untuk mendatangkan suara kepada Jokowi-Ahok. Dukungan penuh PDIP dan Gerindra membuat keduanya terpilih sebagai Gubernur dan Wakil DKI Jakarta yang baru.
Baca juga:
“Performa Politik Jokowi, Semangat kepemimpinan Jokowi akan menentukan kesuksesan Indonesia, presiden memiliki kewenangan dalam membuat framework, nilai dalam mengatur nagara, pemimpin baru kebijakan baru. Jokowi memiliki performa komunikatif di mana jokowi mulanya kurang begitu dikenal pada panggung politik pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).”
“Berkat kesuksesannya membangun kota Solo dan kedekatannya dengan media, maka popularitasnya meningkat dan dia pun berpeluang untuk menjadi gubernur DKI Jakarta. Namun, karena popularitas begitu kuat akhirnya Jokowi menjadi pilihan partai besar untuk masuk sebagai calon terkuat presiden,” terang Muhammad Qadaruddin dalam buku Kepemimpinan Politik Perspektif Komunikasi (2016).
Petugas Partai
Megawati dan PDIP mulai melihat antusiasme rakyat Indonesia kepada sosok Jokowi. Mulanya, Megawati ingin maju sendiri dalam kontestasi politik Pilpres. Namun, keinginan itu urung dilakukan. Megawati menilai sosok Jokowi lebih menunjang keinginan PDIP menang Pilpres 2014.
Gubernur DKI Jakarta itu akhirnya dicalonkan PDIP dan partai pengusung lainnya –PKB, NasDem, Hanura-- sebagai Capres. Narasi itu membuat Megawati mewanti-wanti Jokowi. Megawati tak ingin Jokowi jadi kacang lupa kulit.
Jokowi disebutnya sebagai petugas partai. Penyataan itu diungkap Megawati pertama kali di deklarasi koalisi partai politik pengusung Jokowi di kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, pada 14 Mei 2014. Jokowi diharapkan dapat menjalankan amanat PDIP. Kemudian, Jokowi dicalonkan dengan politikus kesohor, Jusuf Kalla (JK).
"Saya bilang Jokowi, sampeyan saya jadikan Capres, jangan ingat Capresnya saja, tapi petugas partai yang harus menjalankan semua amanah partai," kata Megawati sebagaimana dikutip laman JPNN, 14 Mei 2014.
Narasi petugas partai sempat membuat kehebohan. Khalayak umum menganggap jikalau Jokowi nantinya terpilih, maka dia dianggap presiden boneka. Namun, Jokowi menepis hal itu. Jokowi mengakui memang benar dirinya petugas partai. Tapi, tak serta-merta ia jadi presiden boneka.
Semuanya akan berubah ketika petugas partai itu telah menjabat jabatan penting. Dari wali kota hingga presiden. Partai dianggapnya tidak akan ikut-ikutan. Megawati tak sepaham. Ia menganggap siapa saja yang menggunakan mesin PDIP, maka mereka adalah petugas partai.
Pernyataan terkait kader PDIP di pemerintahan petugas partai terus diulang-ulang. Jokowi jadi yang paling disorot. Megawati berujar Jokowi takkan dapat jadi Presiden Indonesia kalau tanpa PDIP. Jokowi diharapkan dapat tunduk dengan instruksi dan ideologi partai.
Megawati sampai berujar barang siapa yang tak mau disebut petugas partai, maka silakan angkat kaki dari PDIP. Megawati merasa mantap dengan istilah petugas partai untuk kadernya di pemerintahan. Ia tak pernah meralat istilah itu. Bahkan hingga hari ini.
"Ingat kalian adalah petugas partai. Petugas partai itu adalah perpanjangan tangan dari partai. Kalau kalian tidak mau disebut sebagai petugas partai, silakan keluar dari partai,” kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Sanur, Bali, sebagaimana dikutip Antara, 9 April 2015.