Pemerintah Harus Antisipasi Lonjakan Harga Komoditas Buntut Menguatnya Dolar AS

JAKARTA - Pemerintah diminta antisipasi kenaikan harga komoditas akibat menguatnya nilai tukar dolar AS (Amerika Serikat) terhadap rupiah. Salah satu komoditas yang akan terkerek buntut peningkatan nilai Dolar AS adalah kedelai, yang banyak menjadi bahan baku pangan di Indonesia.

"Pemerintah dapat mempertimbangkan kebijakan yang mengendalikan impor barang-barang yang sensitif terhadap nilai tukar rupiah, seperti kedelai yang merupakan bahan baku tahu dan tempe," kata Ketua DPR Puan Maharani, Senin 23 Oktober.

Menurut data dari Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) terjadi peningkatan harga kedelai di tingkat pengrajin yang membuat harga kedua bahan pangan tersebut melonjak di pasaran. Harga jual tempe dan tahu di pasaran untuk potongan kecil berkisar di antara Rp2.500 sampai Rp3.000. Sementara untuk potongan lebih besar di antara Rp4.000 sampai Rp5.000.

Saat ini pemenuhan kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe untuk dalam negeri masih banyak mengandalkan dari impor. Kenaikan harga kedelai impor ditenggarai akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS yang menjadi rekor tertinggi di tahun ini. Bahkan dalam beberapa hari terakhir, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah hampir mencapai Rp 16 ribu.

Mengingat pengaruh dolar AS terhadap kedelai sangat signifikan, Puan pun mendorong adanya penguatan bantuan untuk petani kedelai. Ia meminta Pemerintah untuk melakukan intervensi dalam upaya menggenjot produksi kedelai lokal.

"Produksi kedelai yang meningkat akan berdampak positif pada ekonomi dan ketahanan pangan negara," ujar Puan.

Kedelai tak hanya menjadi bahan baku tempe dan tahu yang merupakan makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Puan menilai, peningkatan produksi kedelai lokal juga akan membantu industri pangan lainnya karena kedelai juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap dan pakan ternak.

"Ibu-ibu pasti merasakan dampaknya, karena biasanya tahu tempe disajikan sebagai makanan sehari-hari. Kalau harganya naik, pengeluaran rumah tangga juga akan naik. Perekonomian keluarga ikut berpengaruh," sebutnya.

Puan juga menyoroti kenaikan harga tempe tahu dan komoditas lainnya seperti cabai yang dapat berdampak terhadap pelaku usaha makanan. Terutama pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).

“Pelaku usaha makanan tidak bisa menaikkan harga sembarangan karena bisa berpengaruh terhadap pembeli. Jadi harus ada antisipasi yang memadai agar kenaikan harga pangan tidak merugikan UMKM sebagai penggerak perekonomian negara,” papar Puan.

Di sisi lain, Puan mendukung adanya subsidi dari Pemerintah untuk menekan harga impor kedelai yang akan mengurangi biaya produksi pengrajin. Ia pun mendorong agar subsidi juga diberikan kepada petani sebagai upaya peningkatan produksi kedelai lokal.

"Langkah ini dapat membantu meningkatkan produksi kedelai dalam negeri, yang pada gilirannya dapat mendukung ketahanan pangan dan pengurangan ketergantungan dari impor,” tutur mantan Menko PMK tersebut.

Ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor terlihat dari stok kedelai di badan urusan logistik (Bulog) yang hanya 0,58 ton. Sementara kebutuhan perbulan diproyeksikan mencapai 212.548 ton.

Bukan hanya itu, Puan juga menekankan pentingnya mencegah agar perdagangan kedelai di dalam negeri tidak dikuasai kartel. Ia memperingatkan agar impor kedelai tak kebablasan.

"Jadi jangan keenakan impor-impor terus. Karena ini bukan solusi untuk jangka panjang. Yang terpenting bagaimana kita bisa menguatkan produksi impor lokal sehingga dapat memenuhi kebutuhan," tutup Puan.