Kita Kena Prank Mahkamah Konstitusi

JAKARTA – Senin 16 Oktober 2023, hampir semua masyarakat Indonesia merasa kena ‘prank’ atau kena tipu. Ini karena putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terhadap batas usia pencalonan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2024.

Pada sidang yang digelar di Jakarta, MK awalnya menolak tiga perkara uji materi mengenai batas usia Capres-Cawapres. Di antaranya perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan PSI dengan meminta batas usia minimum Capres-Cawapres diturunkan menjadi 35 tahun.

Namun sore harinya, MK mengabulkan judicial review atau uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum soal batas usia Capres-Cawapres berusia minimal 40 tahun yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru ReA

Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan Almas meminta MK mengubah syarat pencalonan Capres dan Cawapres menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (15/10/2023).

Lebih Buruk dari Pengabulan Gugatan Batas Usia

Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi memastikan seseorang berusia di bawah 40 tahun tetap bisa dicalonkan sebagai Capres dan Cawapres, asalkan berpengalaman menjabat sebagai pejabat hasil pemilu atau pilkada.

Putusan ini seolah menjadi lampu hijau bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam Pilpres 2024. Putra sulung Presiden Joko Widodo itu disebut-sebut menjadi salah satu kandidat Cawapres Prabowo Subianto.

Pengamat Politik dan Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra menyebut putusan MK tersebut terlalu berbau nuansa politis. Ia menduga putusan ini juga cenderung membela satu orang semata.

Itu karena dalam putusan tersebut dimasukkan syarat bagi yang di bawah usia 40 tahun bisa maju sebagai Capres atau Cawapres jika pernah menduduki jabatan yang didapat melalui pemilihan, termasuk Pilkada.

Dalam hal ini, Gibran lolos syarat tersebut sebagai Cawapres atau Capres karena faktor pernah menjabat dalam jabatan negara melalui Pilkada Kota Surakarta.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah), Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Hakim Konstitusi Suhartoyo (kanan) memimpin sidang permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Jakarta, Senin (16/10/2023). (Antara)

“Putusan MK kian kental nuansa politis dan cenderung membela satu orang semata untuk konteks 2024, yakni Gibran Raka, MK tidak ingin dianggap secara vulgar memihak kepentingan keluarga Jokowi, tetapi subtansi putusan itu jelas mengelabui beberapa penggugat termasuk publik, karena faktanya usia di bawah 40 tahun sekalipun dapat mengikuti kontestasi, putusan ini lebih buruk dibanding mengabulkan gugatan batas usia,” kata Dedi kepada VOI.

“Jika gugatan (batas usia) dikabulkan, maka hak kontestasi itu milik semua warga negara tanpa terkecuali, dengan putusan MK saat ini justru hanya diperuntukkan bagi yang sudah berada di kekuasaan. MK seperti sedang membodohi publik,”ujar Dedi mengimbuhkan.

Sementara itu, Pakar Politik dari Univeritas Al Azhar Indonesia Andriadi Achmad mengatakan putusan MK makin menguatkan dugaan publik bahwa ini dibuat untuk menjadi celah bagi Gibran maju dalam kontestasi Pilpres.

Meski demikian, Andriadi menegaskan tidak ada yang salah dengan putusan MK, jika momennya dibuat tidak dalam suasana menjelang Pilpres 2024.

“Sebenarnya putusan MK ini tidak masalah kalau tidak terjadi di musim Pilpres. Dengan begini, maka semakin menguatkan dugaan orang bahwa putusan ini dibuat untuk mengakomodir Gibran,” tutur Andriadi kepada VOI.

“Hanya momentumnya saja yang tidak pas, karena ini bertepatan dengan Pilpres 2024. Kalau putusan ini dibuat setelah Pilpres, maka ini menjadi keputusan yang bagus karena mengakomodir anak muda untuk maju,” kata Andriadi lagi.

Peraturan Pemilu yang Berubah-Ubah

Indonesia telah menggelar lima kali Pemilu sejak Orde Baru berakhir dengan ditandai pengunduran diri Soeharto pada 1998. Namun dalam setiap penyelenggaraan Pemilu, undang-undang yang dijadikan dasar penyelenggaraannya selalu berubah.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, disebutkan bahwa persyaratan menjadi Capres dan Cawapres berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Ketentuan yang sama juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Menurut mantan Komisioner KPU, Hadar Navis Gumay, ini adalah fenomena yang keliru dalam politik-hukum Pemilu di Indonesia.

Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka saat memberikan keterangan kepada wartawan di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (16/10/2023). (Antara/Aris Wasita)

“Ini adalah tren yang tidak umum di banyak negara demokratis,” ujar Hadar.

“Perubahan ini adalah cermin ketidakpuasan para aktor politik. Setelah ikut Pemilu merasa perlu mengubah aturan karena hitung-hitungan politik tertentu.”

Di tengah hiruk pikuk jelang Pemilu 2024, regulasi nyaris berganti, namun akhirnya Mahkamah Konstitusi menetapkan batas usia Capres dan Cawapres tetap sesuai dengan Pasal 169huruf q pada UU Nomor7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Meski ada sedikit celah setelah gugatan Almas diterima.

Menurut Hadar, Indonesia sebaiknya memiliki regulasi pemilu yang kuat dan tidak mudah diganti demi kepentingan tertentu. Hal ini bisa tercapai jika DPR dan pemerintah melakukan evaluasi dan mengundang seluruh kelompok untuk menyusun regulasi yang komprehensif.

“Semuanya harus berkomitmen untuk menyusun aturan yang lengkap dan tuntas sehingga undang-undang yang dihasilkan ideal, mencakup semua isu, dan jauh dari kepentingan kelompok tertentu,” kata Hadar.

“Proses ideal itu tidak pernah terjadi. Selama ini hanya dicita-citakan, tapi jelang Pemilu, di waktu yang mepet, aturan dibuat untuk mengatur hal-hal sensitif seperti keterpilihan, untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. Itulah kenapa selalu muncul niat mengubah aturan Pemilu pada periode berikutnya,” ujar Hadar menyimpulkan.