Mahfud MD Pertama Kali Umumkan SYL Tersangka, Begini Tanggapan KPK

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan pengumuman tersangka kasus korupsi tak bisa sembarangan dilakukan. Tapi, mereka juga tak bisa melarang ketika ada pihak yang lebih dulu melakukannya lebih dulu.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menanggapi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang pernah menyebut eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo jadi tersangka. Padahal, komisi antirasuah saat itu belum menyampaikan ke publik secara resmi.

“Kenapa Pak Mahfud duluan mengumumkan, ya, kita kan tidak bisa melarang orang untuk berbicara. Silakan,” kata Johanis seperti dikutip dari YouTube KPK RI, Kamis, 12 Oktober.

Meski begitu, Johanis menyebut pengumuman resmi bakal disampaikan KPK ke publik. Tapi, mereka tak akan sembarangan hanya berdasarkan kecepatan tanpa bukti yang kuat.

“Kami pihak yang berkepentingan tentunya lebih tahu kapan momen yang tepat untuk mengumumkan. Sehingga tidak ada kekeliruan kita dalam menjalankan tugas yang diembankan kepada kita dalam penanganan korupsi ini,” tegasnya.

“Karena kalau orang lain yang berbicara tidak ada konsekuensinya, kalau kami yang berbicara tentunya ada konsekuensi hukumnya. Sehingga kami harus juga hati-hati,” sambung Johanis.

Menko Polhukam Mahfud MD pernah mengaku tahu penetapan Syahrul sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian. Informasi ini dikantongi sejak lama.

"Bahwa dia (Syahrul Yasin Limpo, red) sudah ditetapkan tersangka, saya sudah dapat informasi. Kalau eksposenya itu kan sudah lama, tapi resminya (status, red) tersangka itu sudah digelarkanlah," kata Mahfud MD di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 4 Oktober.

Sementara itu, KPK secara resmi mengumumkan Syahrul beserta dua anak buahnya, Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat Pertanian Kementan Muhammad Hatta sebagai tersangka pada Rabu, 11 Oktober. Ketiganya terlibat dugaan pemerasan dan gratifikasi.

Dalam kasus ini, Syahrul melalui dua anak buahnya tersebut diduga memeras pegawainya dengan mewajibkan membayar uang setoran setiap bulan. Nominalnya beragam antara 4.000-10.000 dolar Amerika Serikat.

Uang yang dikumpulkan juga diduga bukan hanya berasal realisasi anggaran Kementan digelembungkan atau mark-up tapi juga dari vendor yang mengerjakan proyek. Pemberian uang dilakukan secara tunai, transfer maupun barang.

Penerimaan ini kemudian digunakan Yasin untuk memenuhi kebutuhannya, seperti membayar kartu kredit maupun membeli mobil Toyota Alphard. Uang yang diduga dinikmati ketiganya berkisar Rp13,9 miliar.

Pendalaman bakal dilakukan sebab KPK juga menemukan uang sebesar Rp30 miliar saat menggeledah rumah dinas Syahrul dan Rp400 juta di rumah Hatta.