Makanan Tanpa Kelas Sosial Itu Bernama Tempe

JAKARTA - Ada satu menu makanan yang selalu hadir di meja makan orang Indonesia. Tak mengenal kaya dan miskin. Bukan tanpa alasan. Gairah tempe sebagai menu makanan sehat penuh gizi yang bisa diolah dengan ragam cara memasak membuat tempe disukai semua kalangan, bahkan Presiden Soekarno.

Ibu dari mantan Presiden keempat Indonesia Megawati Soekarnoputri, Fatmawati mengutarakan makanan favorit suaminya dalam buku berjudul Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1983). Ia berucap:

Bung Karno selalu meminta supaya aku sendiri yang memasak makanan yang menjadi kesukaannya, seperti lodeh rebung, rendang, balado ikan, pecel, tempe goreng, sambel lele, gado-gado, ikan teri goreng, ikan kuning, pepes daun singkong, dan lain-lain.

Bahkan, bukti lain Soekarno menyukai tempe juga ditulis oleh istrinya yang lain, Hariyatie, lewat buku Hariyatie, Soekarno The Hidden Story (2001). Dari Hariyatie yang notabene istri keempat Bung Karno, orang-orang dapat mengetahui makanan favoritnya berupa “... empal, tempe bacem, sayur asem, dan sambal.”

Karenanya, stigma tempe sebagai makanan yang ‘hanya’ dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah langsung terhapus. Pamor tempe yang sudah sedemikian mashyur sedari dulu makin terangkat karena sering diolah oleh ibu-ibu rumah tangga hingga juru masak (chef) yang bekerja di restoran terkenal.

Ilustrasi (Commons Wikimedia)

Sejarah tempe

Berbicara tempe, sudah tentu berbicara terkait bahan bakunya, kacang kedelai. Sejarawan Ong Hok Ham menulis buku yang berjudul Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia (2000). Ong menjelaskan, keberadaan kedelai, baik di Eropa maupun bumi Nusantara dikenal pada abad ke-19. Artinya, sekitar seratus sampai dua ratus tahun lalu. “Dengan demikian, tempe yang menjadi produk lain dari kacang kedelai, diduga lahir pada abad ke-19 pula.”

Namun, kalau melirik ke Negeri Tirai Bambu, China, kacang kedelai bahkan sudah dikenal sejak lima ribu tahun lalu. Sedangkan olahan kedelai lainnya, tahu, di negara yang sama telah dikenal ratusan bahkan mungkin ribuan tahun. Bahkan, ahli botani Hindia-Belanda berkebangsaan Jerman, Rumphius, yang terkenal dengan mahakaryanya berjudul Herbanium Amboinense, sempat mengamati tentang kedelai.

Rumphius berpendapat tanaman kedelai yang biasa disebut phaseolus niger (latin), kadele (Jawa), zwartee boontjes (Belanda), dan authau (Tiongkok), memberikan fakta bahwa orang Tionghoa tidak mengolah kedelai menjadi tempe, tapi mengolah biji kedelai hitam tersebut menjadi tepung, sebagai bahan tahu, dan laxa atau tautsjian, mie berbentuk pipih.

Hal itu bisa dilirik dari kacang dalam bahasa Tiongkok disebut duo (tao). Itulah kenapa orang-orang sering mendengar produk olahan kacang-kacangan dengan lafal Tiongkok berawalan tau. Misalnya, tauchu (taoco), tau-hu (tahu), touya (toge), touzi (tauci).

Ilustrasi (Commons Wikimedia)

Melalui Rumphius kita menjadi paham kedelai tenar di tiongkok. Namun tempe tak pernah sekalipun diproduksi di sana. Betapa tidak, tempe merupakan makan asli dari tanah Jawa yang ditemukan secara tak sengaja. Oleh karena itu, wajar jika perkara siapa penemu tempe, mirip-mirip seperti makanan lainnya yang ada di dunia yang sering kali anonim.

Namun, kebanyakan narasi penemuan tempe erat berhubungan dengan produksi tahu di Jawa. Dalam hal ini, karena keduanya sama-sama dibuat dari kacang kedelai. Tahu dibuat dari unduk (cream) atau susu dari kacang kedelai yang direndam dalam air selama berjam-jam di bawah suhu tertentu.

Sementara, pembuatan tempe seperti yang diulas oleh Encyclopaedia van Nederlandsch Indie (1922) dikatakan sebagai ‘kue’ yang terbuat dari kacang kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan (volk’s voedsel).

Stigma melarat

Saking kaya protein dan gizi, tahu maupun tempe sering dijuluki sebagai ‘daging dari pertanian’ oleh ahli-ahli nutrisi. Julukan itu menjadikan kedua makanan tersebut sebagai makanan yang menyelamatkan penduduk dari negara yang berpenghasilan rendah, mulai dari mereka yang masuk dalam kategori miskin hingga kaya.

Hadirnya inovasi olahan kedelai, sesuai yang diungkap sejarawan Ong Hok Ham didasari oleh kepadatan penduduk. Disinyalir, berdasarkan kepadatan itu pula seni memasak menjadi terpengaruh. Indonesia misalnya, yang pada abad ke-19 mulai merasakan kepadatan penduduk, sehingga Jawa menempati pulau paling padat di Asia Tenggara.

Masalah pun muncul saat perkebunan-perkebunan kolonial mulai dibuka secara masif dan membuat wilayah hutan sebagai tempat hewan-hewan sebagai sumber protein, tumbuh dan berkembang semakin dipersempit.

Belum lagi, perihal tanam paksa dengan petani sebagai kuli, membuat kesempatan berburu, berternak, memancing menjadi berkurang. Mau tak mau menu masakan orang Jawa kebanyakan tanpa daging. Kondisi itulah yang membuat olahan kacang kedelai, baik tahu maupun tempe memiliki fungsi yang sangat vital yaitu makanan penyelamat kesehatan penduduk.

Berdasarkan fakta itu, hingga kini narasi yang tumbuh subur ialah stigma tempe sebagai makanan rendahan, seolah-olah tempe cuma diperuntukkan kepada masyarakat yang ekonomi menengah ke bawah. Padahal, sudah jelas gaung keistimewaan tempe sedari tahun 1980. Saat itu tempe sudah mulai dikenal oleh dunia. Hal itu diungkap oleh Jurnalis Kompas Agnes Aristiarini dalam tulisannya berjudul Mukjizat Tempe untuk Kesetaraan (2000).

“Keistimewaan tempe yang dikenal sejak pertengahan 1980-an itu, sebenarnya sudah membuat masyarakat di berbagai negara seperti Belanda, Amerika, Jepang, juga Malaysia dan Singapura, mengkonsumsi tempe sebagai makanan diet,” ujar Agnes.

Ia pun mengutarakan pendapatnya bahwa tempe dapat memperbaiki perekonomian negeri. Asal dunia industri tempe harus dibenahi dari hulu sampai hilir terlebih dahulu. Mulai dari standarisasi dan sanitasi bahan baku, proses produksi, political will para pengambil kebijakan, sampai dijembatani pihak industri dan ilmuwan.

Sayangnya, sampai sekarang produksi tempe masih bersifat industri kecil, yang kebanyakan masih akrab dengan teknologi jadul. Padahal, tempe dapat berbicara banyak guna memenuhi gizi seluruh masyarakat Indonesia. Akhir kata, untuk mewujudkan Indonesia dapat membuat tempe mendunia, ada baiknya mendengar kembali komentar dari Ong Hok Ham.

“Oleh karena itu, (negara ini) perlu swasembada kacang kedelai, lebih daripada beras.”