Menyalakan Tanda Bahaya Bonus Demografi

JAKARTA - Pertumbuhan penduduk usia produktif yang besar (bonus demografi) dapat membawa keuntungan karena bisa menjadi motor penggerak roda perekonomian. Akan tetapi hal ini bisa berubah menjadi masalah sosial apabila tidak diimbangi dengan kersediaan lapangan pekerjaan.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan pemerintah perlu membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk mengurangi risiko masalah sosial di masyarakat.

“Ini penting sekali karena kalau angka pengangguran naik, sementara dia tidak memiliki pekerjaan maka akan timbul masalah sosial seperti kriminalitas dan sebagainya,” ujarnya kepada VOI belum lama ini.

Enny menambahkan, lapangan pekerjaan berarti memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk tetap konsumtif lewat pendapatan yang diterima. Apabila skenario ini terjadi, maka akan tumbuh demand yang berujung pada peningkatan output dalam membentuk PDB.

“Sektor yang paling mungkin adalah padat karya, karena biasanya yang terjun ke sektor ini masyarakat kelas bawah dan ini jumlahnya mendominasi di Indonesia. Golongan ini jika mendapatkan uang pasti digunakan untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Jadi ekonomi bisa terus berputar dan konsumsi tidak jeblok,” katanya.

Senada, Anggota Komisi IV DPR RI Hermanto mengingatkan bahwa bonus demografi yang sedang dialami Indonesia perlu dioptimalkan agar bisa menghasilkan tenaga-tenaga produktif guna menyokong perekonomian. Salah satu yang dia usulkan adalah dengan mengarahkan kaum muda untuk menjadi pelaku regenerasi tenaga kerja di sektor pertanian.

Menurutnya, hampir seluruh sektor produktif mengalami tekanan akibat pandemi COVID-19, tetapi tidak untuk sektor pertanian yang tetap tumbuh positif.

“Bisnis ini cukup menjanjikan sebenarnya. Bahkan ada milenial yang bisa mendapatkan penghasilan hingga ratusan juta per bulannya,” tuturnya Senin, 8 Februari seperti yang dikutip dari Antara.

Masalah bonus demografi

Mengutip laporan Kementerian, Keuangan bonus demografi ini bisa memberikan sinyal yang baik, namun bila tidak dimanfaatkan akan menjadi kerugian berdampak pada kemiskinan. Penyebabnya, ketidakseimbangan jumlah penduduk dengan lapangan pekerjaan yang tersedia, jumlah pangan dan nutrisi, serta kesempatan menempuh pendidikan yang tidak merata.

Sebagai dampaknya, jurang antara orang kaya dan orang miskin yang diukur dengan rasio Gini, akan semakin lebar. Untuk itu, diperlukan peranan pemerintah dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk.

Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) pada 10 November 2020 menyebutkan bahwa per Agustus 2020 jumlah pengangguran di Indonesia naik menjadi 9,77 juta orang atau setara 7,07 persen total angkatan kerja di negara ini yang berjumlah 138,22 juta orang.

Sementara hasil sensus penduduk 2020 mengungkapkan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 270 juta jiwa. Dari angka tersebut 70 persen diantaranya adalah penduduk usia produktif atau hampir 190 juta jiwa.

BPS sendiri memprediksi bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia pada masa puncak bonus demografi 2030 sekitar 294 juta jiwa hingga 300 juta jiwa.

Jika pemerintah tidak melakukan upaya menambah lapangan pekerjaan, maka diperkirakan terdapat 21 juta orang yang tidak memiliki pekerjaan pada 2030. Jumlah ini sangat berpotensi menimbulkan masalah sosial jika pemerintah tidak menemukan solusi jitu dalam bidang ketenagakerjaan.

UU Cipta Kerja

Secara tersirat, pemerintah sebetulnya telah mengukur dampak negatif dari bonus demografi apabila tidak bisa dimaksimalkan secara optimal. Langkah strategis ini lantas diakomodir negara lewat UU Cipta Kerja yang dimaksudkan untuk memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat Indonesia dan memberikan kemudahan pebisnis untuk membuka kegiatan usaha di dalam negeri.

Mengutip siaran Kementerian Koordinator Perekonomian, pemerintah menetapkan beberapa target dalam UU Cipta Kerja, diantaranya bisa menciptakan sebanyak 3 juta lapangan pekerjaan setiap tahun. Untuk diketahui, setiap tahun terdapat 2,4 juta orang yang masuk ke dalam angkatan kerja.

Jika pengangguran pada 2020 berjumlah 9 juta orang, dan ditambah dengan angkatan kerja baru setiap tahun yang sebesar 2,4 juta orang, maka UU Cipta Kerja mampu menghapus pengangguran pada 2035 mendatang. Ini berarti Indonesia telah melewati masa puncak bonus demografi menurut BPS.

Namun, mesti diingat bahwa kalkulasi sederhana ini belum menyertakan pertumbuhan pengangguran setiap tahun dan angka usia produktif yang memasuki masa pensiun.