Malapetaka Limbah Medis Infeksius: Beban Baru Masalah Pandemi COVID-19
Selamat datang kembali di Tulisan Seri khas VOI. Dalam sepekan, kita akan mendalami berbagai persoalan mengenai limbah medis infeksius. Artikel perdana dari "Kritis Limbah Medis" mengungkap bahaya limbah medis infeksius yang dibuang sembarangan. Ancamannya bukan hanya kepada manusia, namun juga terhadap lingkungan.
Pagebluk COVID-19 membuat ribuan tenaga kesehatan wajib mengganti masker, alat pelindung diri (APD), sarung tangan rutin setiap hari. Otomatis, limbah medis infeksius atau Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) membludak. Ini menjadi masalah baru dalam penanganan pagebluk: maraknya buang limbah medis sembarangan. Bila tak segera diurus, malapetaka akan datang bukan cuma kepada manusia, tapi juga lingkungan.
Pada 5 Februari, limbah medis yang diduga bekas penanganan COVID-19 ditemukan berserakan di kawasan Kebun Kelapa Sawit milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Limbah medis yang ditemukan adalah baju hazmat, masker, jarum suntik, infus dan sejumlah bungkus atau botol obat bekas.
Kasus itu bukan yang pertama. Sehari sebelumnya, terdapat penemuan serupa di pinggir Jalan Raya, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor. Limbah berbahaya ini memang sengaja dibuang di area tersebut. Padahal, limbah seperti ini, apalagi untuk penanganan COVID-19, seharusnya tidak dibuang sembarangan.
Selain itu, peneliti dari LIPI, IPB dan UT menemukan limbah masker APD mencemari kawasan muara sungai Marunda dan Cilincing menuju Teluk Jakarta. APD tersebut meliputi masker medis, sarung tangan, hazmat, jas hujan, dan face shield.
"Berdasarkan data yang diberikan, dapat disimpulkan bahwa limbah APD mengalami peningkatan yang signifikan," kata Sub Bidang Penanganan Limbah Medis Satgas COVID-19 lewat keterangan tertulis, dikutip Tempo.
Temuan limbah medis yang dibuang di sembarang tempat juga terjadi pada November 2020. Sampah yang diduga bekas tes COVID-19 dibuang di pinggir jalan di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Barang itu ditemukan oleh warga di pinggir Jalan Raya Sukatani-Cabangungin, Kabupaten Bekasi. Kasus tersebut masih diselidiki Polres Metro Bekasi dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi.
Limbah medis juga ditemukan mencemari Sungai Cisadane. Barang beracun itu tersangkut di jembatan apung kawasan Bank Sampah Sungai Cisadane (Banksasuci), Kota Tangerang. Limbah medis mulai memenuhi Sungai Cisadane di Banksasuci sejak longsornya tempat pembuangan akhir (TPA) Cipeucang di Tangerang Selatan pada Juni 2020.
Buang limbah medis sembarangan tak dapat diwajarkan meski memang jumlah barang bekas alat penopang medis itu jumlahnya melonjak 30 hingga 50 persen. Seperti dikutip Antara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa sejak awal pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020 sampai Februari 2021, terdapat 6.417,95 ton timbunan limbah medis COVID-19.
Limbah medis tersebut termasuk dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). DKI Jakarta merupakan daerah dengan timbunan limbah medis paling banyak yaitu 4.630,86 ton. Lantas seberapa bahaya limbah infeksius ini?
Jenis limbah
Sebelum melihat bahayanya, kita perlu mengetahui apa itu limbah infeksius atau limbah B3. Dalam pedoman pengelolaan Limbah B3 Kementerian Kesehatan, barang-barang yang termasuk limbah B3 adalah masker bekas, sarung tangan bekas, perban bekas, tisu bekas, plastik bekas minuman dan makanan, kertas bekas makanan dan minuman, alat suntik bekas, set infus bekas, APD bekas, sisa makanan pasien, dan barang yang berasal dari kegiatan pelayanan UGD, urang isolasi, ruang ICU, dan ruang perawatan.
Tidak hanya di fasilitas pelayanan kesehatan, rumah tangga atau fasilitas lainnya di masyarakat yang melakukan isolasi mandiri, menghasilkan limbah B3. Limbah seperti itu bisa menjadi sumber penyebaran penyakit baik kepada petugas, pasien, ataupun masyarakat di sekitar lingkungan rumah sakit atau bersifat infeksius. Hal tersebut dikarenakan terdapat organisme pathogen dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia yang rentan.
Limbah B3 yang berasal dari kegiatan rumah tangga misalnya saja seperti bekas pengharum ruangan, deterjen pakaian dan pemutih pakaian. Di masa pandemi ini, limbah B3 rumah tangga bertambah yaitu masker sekali pakai.
Sementara bahaya yang ditimbulkan dari limbah infeksius ini bisa langsung maupun tak langsung. Limbah ini dikhawatirkan menjadi sumber penularan penyakit. Apalagi penelitian dari New England Journal of Medicine menunjukkan bahwa virus corona dapat bertahan di permukaan kardus selama 24 jam.
Aturan mengolah limbah
Pengelolaan limbah B3 ini tak sembarang. Semuanya diatur dalam Keputusan Kementerian Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/537/2020.
Dalam beleid itu dijelaskan bagaimana cara mengolah limbah B3 baik yang cair maupun padat. Peraturan itu juga menjelaskan ke mana membuang limbah dan bagaimana mengolahnya. Tak hanya pengolahan dan pembuangan, perlindungan bagi petugas yang memngumpulkan limbah tersebut pun juga harus terjaga mengingat limbah yang diolah bersifat infeksius.
Namun apakah itu sudah diterapkan? Pengolahan limbah di DKI Jakarta sempat dikritisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK mengatakan bahwa pihaknya penyortiran limbah medis tidak sesuai standar di DKI Jakarta. Bahkan sampah medis bercampur dengan limbah lain.
"Limbah medis pemilihannya pun tidak tepat nih. Jadi ada 'warna-warni' sesuai standar, tapi enggak diterapkan limbah itu seakan dicampur saja," kata Kepala Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan KPK Dian Patria dalam diskusi virtual bertajuk 'Limbah Lagi, Limbah Lagi', pada Rabu 11 November 2020.
Mengutip Tempo, pada Desember 2020, terdapat sampah medis tergolong limbah B3 dari sekitar 182 Fasilitas Layanan Kesehatan di DKI Jakarta. Data itu berasal dari 73 rumah sakit yang menangani COVID-19 dan non COVID-19 109 unit.
Setelah limbah itu berhasil dikumpulkan oleh Dinas Lingkungan Hidup, limbah medis tersebut akan dikelola oleh pihak ketiga yang bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta terkait pengolahan limbah medis.
"Dengan adanya sistem yang sistematis dalam penangan limbah medis, maka hal tersebut diharapkan tidak akan menimbulkan masalah baru bagi lingkungan," kata humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yogi Ikhwan pada Sabtu 5 Desember 2020.
PR pemerintah
Pengolahan limbah medis oleh fasilitas kesehatan masih menjadi PR bagi Pemerintah Indonesia. Saat dihubungi VOI, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi, menyampaikan bahwa terdapat beberapa kemungkinan mengapa limbah medis masih dibuang sembarangan.
Pertama adalah dari fasilitas kesehatannya sendiri. Ketika membangun fasilitas kesehatan mungkin tidak disertai dengan adanya rencana bagaimana mengolah limbah. Atau bisa saja sudah menyusun rencana pengolahan limbahnya namun tidak dilakukan.
"Biasanya orang yang bangun fasilitas kesehatan itu sudah pasti cara pengolahan limbahnya sudah dilampirkan, apakah diolah sendiri atau diolah pihak lain. Pihak lain maksudnya pihak ketiga, contohnya diolah di rumah sakit terdekat itu bisa," ujar Tubagus.
Kedua adalah kurangnya pengawasan pemerintah, dinilai juga menjadi faktor mengapa kurangnya pengolahan limbah medis. Melihat dari kasus terhamparnya limbah medis di Sungai Cisadane, menunjukkan bahwa kurangnya pengawasan yang membuat terbuangnya limbah medis di sungai.
Bukan cuma kepada manusia, limbah ini juga berbahaya untuk lingkungan. Jika dibuang sembarang limbah bakal mencemari berbagai area seperti sungai atau tanah. Selain itu, ada juga kemungkinan pelanggaran yang bisa terjadi seperti pendaur ulang ilegal APD atau masker oleh orang tidak bertanggung jawab.
Tubagus mengatakan, sebenarnya Kementerian KLHK telah mengeluarkan imbauan kepada masyarakat jika limbah yang digunakan untuk isolasi mandiri diperlakukan seperti limbah B3. Sementara untuk limbah medis dari rumah tangga, disediakan boks atau kotak untuk sampah masker, yang disediakan di ruang publik. Namun imbauan itu belum diindahkan masyarakat.