Tak Cuma Bayar Royalti, Ada Etika yang Harus Dipatuhi Band Tribute
JAKARTA - Band T’Koes sedang menjadi perbincangan pecinta musik Indonesia selama sepekan ke belakang. Itu terjadi setelah keluarga besar Koes Plus melarang band tersebut membawakan lagu milik Koes Plus.
“Bahwa terhitung sejak hari ini, keluarga besar Koes Plus melarang dan tidak memberikan izin kepada band T’Koes untuk membawakan karya cipta dari keluarga besar Koes Plus, dan segala sesuatu yang terkait dalam kegiatan bermusik dan atau dalam bentuk apapun baik komersil maupun non komersil,” kata Sari Koeswoyo di Jakarta, Sabtu, 23 September lalu.
Masalah royalti dan etika disebut menjadi penyebab keluarga besar Koes Plus melarang band T’Koes menyanyikan lagu milik band legendaris tersebut.
Keberadaan T’Koes kemudian membuat publik tersadar ternyata, cukup banyak juga band atau musisi yang memang mendedikasikan karier bermusik mereka dengan menyanyikan lagu orang lain, atau yang lebih dikenal dengan band tribute.
Perbedaan Band Tribute dan Cover
T’Koes berdiri pada tahun 2007 oleh seorang penggemar berat Koes Plus bernama Agusta Marzall. Personel T’Koes terdiri dari tiga bersaudara yaitu Fajaru Al Azhari, Galifa Al Baladi, dan Ji Qory Al Ghifari. Ditambah Agusta Marzall yang merupkan ayah dari tiga bersaudara tersebut.
Sepanjang berkarier di dunia musik selama hampir dua dekade, band T’Koes hampir selalu membawakan lagu-lagu yang pernah dipopulerkan Koes Plus. Sehingga bisa dibilang, mereka adalah salah satu band tribute.
Dikutip dari protributebands.com, band tribute adalah mereka hanya fokus menyanyikan musik dari satu band atau artis saja. Saat manggung, artis tribute berfokus sepenuhnya pada menciptakan kembali pengalaman mendengarkan musisi aslinya.
Artis tribute tidak hanya beredar di Indonesia. Di luar negeri pun band tribute bermunculan. Seperti halnya T’Koes yang memberikan ‘penghormatan’ kepada Koes Plus, di luar negeri band tribute yang cukup populer adalah Live Wire yang merupakan band tribute AC/DC atau belakangan ada Hybrid Theory, band tribute Linkin Park.
Nama Hybrid Theory makin dikenal pecinta musik, khususnya penggemar Linkin Park, dalam dua tahun terakhir. Band asal Lagos, Portugal, ini bahkan menggelar tur di Amerika, Eropa, hingga Australia yang disaksikan ribuan fans Linkin Park.
Lain band tribute, lain pula dengan band cover. Meski terdengar mirip, namun dua istilah ini memiliki perbedaan. Jika band tribute hanya berfokus pada satu artis, band cover justru memainkan banyak lagu populer dari artis berbeda, tidak hanya fokus pada satu penampil saja.
“Ketika Anda melihat band cover tampil, Anda bisa mendengar berbagai lagu populer. Band cover juga kurang memperhatikan penampilan atau suara penyanyi aslinya, karena mereka meng-cover banyak artis yang berbeda,” demikian dikutip a1startributes.com.
Menurut pengamat musik Mudya Mustamim, munculnya band-band tribute adalah hal yang wajar. Dengan band berkonsep tribute yang menyanyikan lagu-lagu populer, akan lebih mudah bagi mereka untuk menarik atensi masyarakat.
“Menurut saya ini wajar, karena biasanya para personel band tribute tersebut didasari atas kegemaran mereka terhadap seorang penyanyi atau sebuah band tertentu. Dan biasanya penyanyi atau band yang dijadikan tribute juga mempunyai banyak lagu yang digemari publik,” kata Mudya kepada VOI.
“Selain itu, sebagai band berkonsep tribute, membawakan lagu-lagu yg sudah dikenal banyak orang jauh lebih mudah untuk menarik perhatian, dan lebih berpotensi komersil.”
Etika Band Tribute
Di tengah menjamurnya band cover dan tribute di dunia musik, munculah masalah lain. Izin kepada si pemilik lagu dan pembayaran royalti termasuk di antara topik yang paling sering dipermalahkan ketika band cover atau tribute membawakan lagu milik orang lain.
Hal ini pula yang dialami T’Koes Band usai pelarangan membawakan lagu Koes Plus oleh keluarga besar Koes Plus. Kabarnya, perihal pembayaran royalti dan izin membawakan lagu diabaikan oleh T’Koes, meski hal ini dikatakan keluarga besar Koes Plus tidak sepenuhnya benar.
Menurut Mudya, penerapan aturan soal hak cipta lagu di Indonesia masih sulit terealisasi karena pada dasarnya industri musik sangat kompleks. Namun, ini berbeda dengan yang terjadi di luar negeri.
“Di luar negeri, khususnya di Eropa dan Amerika, setahu saya sebuah band tribute biasanya punya izin khusus atau mendapat restu resmi dari pihak band yang mereka tiru,” Mudya menjelaskan.
“Kalau kita bicara dalam konteks luar negeri, biasanya mereka ada izin khusus. Dan tentunya mereka juga membayar kewajiban “performing rights”. Nah, performing rights itu sendiri adalah hak penggunaan musik yang diperdengarkan di tempat umum, misalnya di kafe, transportasi, radio, konser, dan lain-lain. Jadi lagu yang diputar atau dinyanyikan untuk kepentingan komersil maka harus membayar royalty,” kata Mudya melanjutkan.
Mudya melanjutkan, membawakan lagu tanpa meminta izin kepada si penyanyi asli sebenarnya tidak melanggar hukum, selama band tribute atau cover tersebut memenuhi kewajiban membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Hal ini tertera pada Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 87 ayat (4) UU 28/2014 serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, seseorang boleh membawakan lagu tanpa izin.
Di pasal 23 ayat 5 ditegaskan, bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui LMKN.
Namun sayangnya, diakui Mudya masalah royalti ini masih menjadi kontroversial karena banyak musisi yang mempertanyakan transparansi sistem pemungutan royaltinya. Selain itu, tak sedikit pula yang mempermasalahkan terkait besar kecilnya nominal royalti.
“Jadi apa yg dilakukan T’Koes dengan menyanyikan lagu-lagu Koes Plus tidak melanggar hukum atau tidak ilegal sepanjang memenuhi kewajiban yang disebutkan di ayat tadi,” tegas Mudya.
“Jadi sekali lagi, khususnya yang berkaitan dengan T’Koes dan Koes Plus, sebenarnya tidak perlu meminta izin selama memenuhi aturan hukumnya (membayar royalti tadi). Tapi di negara kita - seperti juga yg dilakukan band Hybrid Theory di AS - etika adalah suatu hal yang juga tidak bisa diabaikan. Dalam hal ini tentunya meminta izin atau restu kepada pihak Koes Plus, disamping membayar royalti,” pungkasnya.
Baca juga:
- Sengkarut Pelanggaran Hak Cipta Lagu di Indonesia
- Kereta Cepat Jakarta Bandung dengan Segala Plus Minusnya adalah Sejarah dan Peradaban Transportasi Indonesia
- Usung Slogan Berpolitik dengan Chill, Bukan Berarti PSI Nggak Serius Terjun ke Dunia Politik
- Waspada Terhadap Parafimosis, Gangguan Penis yang Sering Disebut Sunat Jin