Pemda DIY Minta Warga Tak Risau Soal Rekomendasi UNESCO Relokasi Permukiman Informal Kawasan Sumbu Filosofi
YOGYAKARTA - Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta meminta masyarakat tidak merisaukan rekomendasi UNESCO terkait relokasi pemukiman informal di dalam kawasan Sumbu Filosofi yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi Pratiwi menyatakan relokasi akan selalu didahului dengan kajian dan komunikasi yang lama dengan berbagai pihak.
"Tidak perlu khawatir semua itu bagian dari komunikasi, enggak mungkin ujug-ujug (mendadak). Seperti itu butuh kajian lama, komunikasi lama dan kami akan mempertimbangkan banyak hal," kata dia dilansir ANTARA, Senin, 2 Oktober.
Rekomendasi relokasi tertuang dalam poin keempat dari tujuh rekomendasi UNESCO yang berbunyi: Melanjutkan penerapan proses relokasi sukarela permukiman informal di dalam kawasan dengan memastikan hak dan kebutuhan masyarakat tetap terlindungi.
"Sebenarnya itu terkait dengan atribut (Sumbu Filosofi) yang kemudian mengalami kerusakan, karena intervensi-intervensi bangunan yang sebenarnya tidak ada di situ," kata Dian.
Menurut dia, ketentuan itu pada dasarnya tidak saklek atau kaku karena bukan rekomendasi perbaikan, melainkan saran untuk menguatkan Pemda DIY dalam mengelola kawasan Sumbu Filosofi.
"Itu saran untuk menguatkan. Kalau perbaikan beda lagi, kebetulan Indonesia dipandang oleh UNESCO sudah mampu menangani. Jadi, itu adalah penguatan supaya kita punya upaya yang kemudian lebih sesuai standar internasional," kata dia.
Terkait relokasi di Sumbu Filosofi, kata Dian, sebetlunya bukan hal baru. Jauh sebelum sidang penetapan warisan dunia, Pemda DIY telah memulai dengan merelokasi para pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Malioboro ke Teras Malioboro (TM) 1 dan TM 2.
Beberapa waktu terakhir, juga dilakukan pengosongan permukiman warga yang mengindung atau menempel pada sisi dalam tembok Benteng Keraton Yogyakarta secara ilegal.
Pengosongan pemukiman informal terkait revitalisasi Benteng Keraton itu, kata Dian, disertai dengan pemenuhan hak masyarakat berupa uang bebungah atau hadiah uang untuk pindah dari kawasan tersebut.
"Itu, bahkan kajiannya sudah sejak dari 2015. Jadi, sebenarnya mengapa penetapan Warisan Dunia kemarin sidangnya mulus, karena sudah ada bukti-buktinya," kata dia.
Sementara itu, lanjut Dian, untuk revitalisasi Benteng Keraton pada sisi luar belum ada arahan lebih lanjut terkait pengosongan bangunan.
Selain ilegal, pemukiman yang berpotensi menjadi sasaran relokasi adalah yang menempati Sultan Ground (SG) atau Tanah Kasultanan.
"Yang jelas-jelas itu masuk di kagungan (milik) Dalem atau SG dan berdasarkan perjanjian dulu kalau dibutuhkan kan memang bersedia untuk diminta kembali," ujar dia.
Baca juga:
- Kejagung Bakal Jemput Paksa Nistra Yohan dan Sadikin, Penerima Aliran Dana BTS ke Komisi I dan BPK
- Polres Aceh Besar Selidiki Temuan Kerangka Manusia dalam Drum
- Honorer Pemprov Kepri Pembunuh WN Singapura Ditangkap, Pelaku Kesal Tak Jadi Dipinjamkan Uang
- KPK Ungkap Upaya Hilangkan Bukti Dokumen di Kantor Kementan: Disobek, Dihancurkan
Sebelumnya, UNESCO menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai salah satu warisan dunia dari Indonesia pada sidang ke-45 Komite Warisan Dunia atau WHC di Riyadh, Arab Saudi, Senin (18/9).
Sumbu Filosofi Yogyakarta yang dalam daftar Warisan Dunia UNESCO bertajuk lengkap "The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks" diakui sebagai warisan dunia, karena dinilai memiliki arti penting secara universal.
Konsep tata ruang yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta ini dicetuskan pertama kali oleh Raja Pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada abad ke-18.
Konsep tata ruang ini dibuat berdasarkan konsepsi Jawa dan berbentuk struktur jalan lurus yang membentang antara Panggung Krapyak di sebelah selatan, Kraton Yogyakarta dan Tugu Yogyakarta di sebelah utara.