Seluruh Pasukan Prancis Keluar dari Niger Akhir Tahun Ini, Presiden Macron: Mereka Tidak Ingin Memerangi Terorisme Lagi
JAKARTA - Presiden Emmanuel Macron pada Hari Minggu memastikan seluruh militer Prancis ditarik dari Niger paling lambat akhir tahun ini, perkembangan terbaru di tengah menegangnya hubungan kedua negara, seiring dengan mulai berkuasanya junta militer Juli lalu.
"Kami mengakhiri kerja sama militer kami dengan otoritas de facto Niger, karena mereka tidak ingin memerangi terorisme lagi," kata Presiden Macron mengenai para pemimpin militer yang mengambil alih kekuasaan di Niger, melansir CNN 25 September.
Sejauh ini, Prancis belum mengakui otoritas militer Niger, bersikeras Presiden Mohamed Bazoum yang digulingkan dalam kudeta, tetap menjadi satu-satunya presiden yang sah di negara itu.
"Kami berada di sana bukan untuk berurusan dengan politik dalam negeri dan menjadi sandera para pemberontak,” kata Presiden Macron mengenai keputusan untuk mengakhiri kerja sama, merujuk pada kelompok militer.
Diterangkan oleh Presiden Macron, proses penarikan militer Prancis akan mulai dilakukan beberapa minggu mendatang.
"Mereka akan kembali secara tertib dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, dan untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan para pemberontak karena kami ingin hal ini terjadi dengan tenang," ungkap Presiden Macron.
Menanggapi pertanyaan tentang jadwal pasti penarikan militernya, Presiden Macron mengatakan tidak akan ada tentara Prancis di Niger pada akhir tahun 2023.
Tak hanya militer, Presiden Macron juga memutuskan untuk memulangkan duta besarnya untuk Niger Sylvain Itte ke Prancis.
"Prancis telah memutuskan untuk memulangkan duta besarnya. Dalam beberapa jam mendatang, duta besar kami bersama beberapa diplomat akan kembali ke Prancis," ujar Presiden Macron.
Pengumuman itu muncul seminggu setelah Presiden Macron mengatakan duta besarnya "benar-benar disandera di kedutaan Prancis dan makanan dilarang dikirim ke kedutaan Prancis".
Usai kudeta, junta militer Niger memerintahkan Itte meninggalkan negara tersebut, mencabut visa dan memerintahkan polisi untuk mengusirnya.
Sementara itu, militer yang berkuasa di Niger mengatakan, mereka menyambut baik keputusan Prancis untuk menarik pasukannya dari negara itu, menurut sebuah pernyataan yang kirim ke televisi Pemerintah Niger, Tele Sahel.
"Minggu ini, kami merayakan langkah lain menuju kedaulatan Niger. Pasukan Prancis dan Duta besar Prancis akan meninggalkan Niger pada akhir tahun ini," sebut pernyataan itu.
Baca juga:
- Kecam Kritik Presiden Korsel Soal Kerja Sama dengan Rusia, Korut: Wajar dan Normal sebagai Tetangga
- Menlu Amirabdollahian Sebut Iran Siap Kembali ke Kesepakatan Nuklir 2015
- Presiden Iran Raisi Sebut Kesepakatan Normalisasi Israel akan Gagal
- Iran Klaim Gagalkan 30 Rencana Serangan Teroris, Tangkap 28 Orang Terkait ISIS
"Kekuatan imperialis dan neo-kolonialis tidak lagi diterima di wilayah nasional kita," lanjut pernyataan itu.
"Setiap orang, lembaga atau struktur yang kehadirannya mengancam kepentingan dan pandangan negara kita harus meninggalkan tanah leluhur kita, suka atau tidak suka. Perlawanan kami tidak akan tergoyahkan, dan kami akan menghadapi institusi atau struktur apa pun yang mencoba menantang kepentingan yang lebih tinggi dari negara kami," tegas pernyataan itu.
Prancis telah menempatkan pasukan militer di negara tersebut, banyak di antaranya berada di sana untuk membantu misi kontraterorisme, atas dasar bahwa Niger adalah negara demokrasi yang relatif stabil di wilayah yang penuh dengan pergolakan politik, terorisme dan pemberontakan keagamaan.