Eksklusif Wafda Saifan Lubis: Memaksimalkan Kesempatan dari Musik ke Akting
JAKARTA - Aktor Wafda Saifan Lubis akan kembali menghiasi layar lebar dengan film horror terbarunya berjudul Di Ambang Kematian. Di film ini, Wafda akan berperan sebagai Yoga Dewasa yang nantinya harus melewati banyak teror di dalam rumahnya sendiri karena kesalahan sang ayah yang memilih jalan untuk melakukan pesugihan.
Sudah beberapa kali membintangi film horor tidak membuat Wafda berhenti untuk membuat sesuatu yang baru di setiap filmnya. Ia menjelaskan pendalaman karakter yang ia lakukan untuk membuat perannya semakin nyata dan menyatu dengan penggambaran film tersebut. Demi hal ini, Wafda rela tidak keramas selama proses syuting berlangsung sebagai ide sendiri yang ia berikan.
“Terus apa namanya aku mencoba untuk paling tidak ada satu yang aku korbankan untuk minimal mendekati pengorbanan si Yoga ini. Jadi, aku memilih saat itu untuk nggak keramas, karena situasi di rumah itu tuh memang kurang lebih gini nih maksudnya debu, masih kayak dibangun gitu. Karena kan pesugihannya si bapak itu Kandang Bubrah kan waktu itu, yang memang bangun rumah nggak selesai-selesai, jadi ada darah ibu itu nggak pernah dibersihin, yang gitu-gitu dekat dengan apa jorok ya gitu ya,” ujar Wafda Saifan di Tanah Abang, Jakarta Pusat, 4 September lalu.
Dalam film ini, Wafda menjelaskan bila tantangan terberat yang harus ia jalankan bukan ketika memainkan peran sebagai Yoga. Melainkan kondisi saat syuting yang dilakukan pada saat bulan Ramadhan. Di mana ia harus melawan rasa lemas dan suasana hati yang berubah-ubah.
Tapi hal ini bukan malah menjadi sebuah halangan bagi Wafda untuk melakukan proses syuting. Memiliki kondisi tubuh yang lemas dijadikan sebuah kesempatan bahkan keuntung untuk ia agar nantinya penonton bisa merasakan dengan nyata keputusasaan yang dirasakan oleh sosok Yoga di dalam film ini.
“Sebenarnya lebih apa ya itu tadi dari segi lebih ke stamina kita menjaga mood karena apa namanya situasinya itu lagi puasa, kita gampang naik turun, terus badan kan lemes banget tapi itu aku pakai justru karena memang butuh gitu di adegan yang kita udah mungkin hopeless, udah nggak ada harapan, dia sebenarnya tahu ini kayaknya selesai ini gitu,” lanjutnya.
“Nah bagaimana kita set up itu, artinya situasi-situasi itu kan mendukung sebenarnya pada saat lagi puasa, lemas, mungkin kita ngantuk banget misalnya gitu tapi berusaha harus tetap ‘Oke gua harus jalani ini’, nah itu yang aku coba aplikasikan sih. Maksudnya aku terapkan,” ungkapannya.
Kembali membintangi sebuah film bergenre horor tidak membuat Wafda menganggap enteng pekerjaannya. Bagi pria berusia 33 tahun ini, setiap film horor yang ia mainkan selalu memiliki pengalaman ketakutan tersendiri yang ingin dibagikan. Berperan dari satu karakter ke karakter lainnya dianggap sebagai sebuah wisata karakter oleh Wafda.
Selain itu, setiap cerita yang diangkat dalam sebuah film horor menjadi sebuah pelajaran ajaib bagi Wafda. Untuknya film horor memberikan suasana baru yang tidak pernah ia rasakan di kehidupan sehari-hari yang akhirnya membuat ia tidak pernah bosan untuk bermain di genre ini.
“Nggak juga sih karena memang horor ini menurutku komplit ya artinya ada drama di situ,ada action di situ gitu kan, terus ada sesuatu yang memang ajaib. Katakan kalau misalnya di film action fighting-nya ‘Oh begini begini’ atau kena tembakan atau apa. Nah di horor kan beda lagi nih, kadang suka ajaib, lu dicabik-cabik misalnya sama makhluk itu kan sesuatu yang maksudnya eksperience kita nggak bisa dapat di kehidupan kita gini nih, kan nggak ada itu, gitu,” ucapnya.
また読む:
Mengaku tidak pernah bosan dengan genre horor, Wafda tetap ingin terus mencoba hal baru dalam karirnya di dunia seni peran, khususnya dalam genre film. Sudah memiliki pengalaman di genre aksi dan horor, ia mengaku ingin sekali mencoba untuk terjun ke genre musikal atau komedi. Meski ia sendiri mengaku belum percaya diri untuk bermain di genre itu.
“Yang aku pengen banget sebenarnya musikal, artinya, mudah-mudahan ya, maksudnya komedi juga aku pengen banget, tapi itu ngeri sih buat aku. Itu syuting pressure-nya dahsyat kan, ada ekspektasi ‘Orang ini lucu nih’, ya kan? Ternyata nggak misalnya, itu mengerikan gitu loh, padahal genrenya komedi ya kan. Komedi juga aku pengen sih gitu sama itu tadi musikal,” tuturnya.
Memaksimalkan Kesempatan dari Musik ke Akting
Wafda Saifan Lubis mengawali karirnya bukan sebagai model atau langsung terjun ke dunia seni peran. Ia mengaku bila pada awalnya memiliki cita-cita sebagai seorang pemain bola yang pernah ia seriuskan hingga duduk di bangku SMA, sampai akhirnya terjadi penolakan dari sang ayah dan menjadi patah hati pertamanya. Mencoba mengikuti keinginan sang ayah malah membawa Wafda ke dunia musik yang pada awalnya hanya ia jalankan untuk mengisi waktu luang saja.
“Awal mulanya banget justru itu cita-cita pengen jadi pemain bola, awal mulanya, ‘Oke latihan terus’ tapi SMA itu ada satu ya perdebatan lah antara gua sama bokap. Bokap tuh mau gua di akademis, nah gua mau jadi atlet itu, berdebat-berdebat, akhirnya gua ngalah, gua ikut bokap. Bokap suruh gua sekolah, kuliah, itu patah hati pertama kali gua tuh. Gua pengen banget jadi pemain bola,” jelasnya.
“Sampai akhirnya ya udah kuliah. Gue tidak menemukan, kayaknya gua nggak di sini gitu, karena gua memilih jurusan itu pun karena bokap dosen akuntansi . Ya udahlah gua masuk akuntansi aja toh kalau nanti gua ada tugas-tugas, ada Bokap gitu kan. Udah kuliah bosen, ‘Ngapain ya?’ Teman ngajak nge-band, akhirnya ya udah gue vokalis, nggak bisa main alat musik, cuman gitar-gitar tongkrongan aja,” ceritanya.
Tak disangka berawal dari iseng bermain musik, Wafda dan bandnya yang bernama Volume masuk hingga ke dapur rekaman hingga diundang untuk mengisi acara-acara musik di televisi. Dari sinilah akhirnya Wafda mendapatkan tawaran untuk terjun ke dunia akting oleh seorang sutradara. Di mana peran pertamanya di sinetron ini sejalan dengan karirnya di dunia musik.
“Sampai akhirnya ternyata ‘Wah serius ya bermusik ini’, gitu. Masuk kita ke music label. Nah di situ, masih acara tv-tv kan dulu sempat acara musik semua gitu kan main di acara musik, habis itu ada satu produser di salah satu stasiun TV itu minta aku untuk, kayak ngajak ngobrol, meeting kita ada program musikal itu yang tadi aku bilang, mau nggak? ‘Aku nggak bisa’, ‘Enggak ini nyanyi-nyanyi kok’, karena perannya dia penyanyi cafe. Terus oh oke oke menarik. Zaman dulu kan ada yang sinetron weekly gitu kan sebelum sekarang kayak series,” jelasnya.
Ternyata perjalanan karir Wafda di dunia seni peran tidak selamanya mulus, karena di tahun 2015 hingga 2017, ia sempat tidak mendapatkan tawaran syuting kembali. Hal ini membuatnya berpikir untuk bekerja di kantor sambil terus membuat karya yang diunggah di akun YouTube dan sampai akhirnya kembali dipanggil untuk bermain di sebuah film.
Pada awalnya, Wafda mengaku tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang aktor. Namun, ia merasa hal ini sudah ditakdirkan bagi ia untuk terjun ke dunia seni peran dilihat dari perjalanan hidupnya yang selalu segaris dengan peran-peran yang didapatkan ketika bermain film.
“Di momen yang 2 tahun aku nggak ngapa-ngapain itu, sinetron pertama kali aku itu Tendangan Si Madun, yang mana, aku main bola jadi aku ngerasa kayak ‘Eh gua main sinetron pertama kali karena bola, gue pertama kali syuting karena musik’. Kebetulan aku juga dari TK itu karate sampai sekarang udah alhamdulillah blackbelt, nah, dapat peran pun action apa segala macam. Kayaknya Tuhan menyiapkan gua komponen-komponen ini untuk berakting deh. Jadi kayak ‘Oke gua pilih ini’ dan selama ini yang menghidupi gua ya seni peran ini,” sambung nya.
Hal ini yang akhirnya membuat sosok Wafda semakin merasakan kenyamanan di dunia seni peran. Karena bagi ia, dunia seni peran seakan mengajarkan mengenai kehidupan orang lain yang belum pernah diketahui sebelumnya. Bahkan, ia mengakui bila dunia seni peran yang membuat ia menjadi lebih mengenal hidup, menghargai dirinya sendiri sampai tertata dengan lebih baik.
“(Lebih memilih) akting, karena selama ini akting yang menghidupiku. Artinya aku bisa jadi kenal hidup itu karena seni peran. Tadinya Wafda ini orang yang mungkin bodo amat, nggak peduli. Semakin ke sini, gua jadi kayak punya empati, tahu yang namanya, ‘Gila jadi dia Ini enggak gampang loh’, jadi tukang nasi goreng nih yang mungkin satu porsi itu dia hanya untung dua, tiga ribu perak, tapi dia bisa masaknya itu wah semangat, ngelap keringatnya, karena ada yang menanti 3000 itu di rumah jadi ke situ berpikirnya sekarang,” lanjutnya,
“Artinya kita enggak bisa judge orang dari apa yang kita lihat. Hasilnya orang beda-beda, ada yang mungkin dia berhasil ‘Untung gua dulu nggak milih ini ya’, ‘Untung gua dulu gini’,itu kan suatu keberhasilan sebenarnya, bukan dilihat dari udah punya ini sekarang, punya ini, nggak. Tapi kalau dulu salah pilih kayaknya ‘Lu hancur deh, lu nggak di sini hari ini’, yang gitu-gitu loh. Itu suatu keberhasilan lebih kayak jadi aku menghargai diriku, yang tadinya mungkin nggak terima keadaan segala macam, banyak protes, nah begitu aku masuk ke dunia seni peran ini, aku jadi kenal itu, jadi ya alhamdulillah tertata hidupku,” jelasnya.
12 tahun berkarya di dunia seni peran, sosok Wafda masih belum puas untuk berkarya. Namun kali ini ia mengaku tidak ingin selama nya berkarya di dunia seni peran karena ia sudah mengatakan kepada para sahabat, istri dan keluarga bila di usia 40 tahun ia akan mencoba sebuah profesi baru sebagai seorang developer. Hal ini sudah menjadi bayangan Wafda sejak lama sehingga ia sudah mulai menabung untuk mewujudkan impiannya itu.
“Aku sih selalu bilang gitu ya kayak sama teman, atau sama istri di rumah, sama nyokap, umur 40 sih kayaknya gue mau jadi developer. Maksudnya, iya jual beli properti. Kayak gue selalu bilang membayangkan kayak gue pengen kayak Pak haji-pak haji yang di rumah tuh sarungan aja gitu, terus ‘Weh mana?’ ‘Oh iya ada tanah nih di sini’, ya pengennya gitu. Jadi sekarang ya kita coba menuju ke sana tahapnya nabung, kumpulin, ada aset yang bisa dibeli, beli,” tuturnya.
Tetapi Wafda menjelaskan bila ia tidak akan meninggalkan dunia seni peran yang sudah membesarkan namanya itu. Malahan ia merasa akan lebih merdeka untuk berkarya karena sudah tidak ada beban yang harus dipikirkan selain itu ia merasa akan lebih baik jika ada unsur lain yang bisa membantunya menopangnya selain berkarya di dunia seni peran.
“Justru semakin merdeka kita bermain. Kalau buat aku ini penting buat seniman, nggak tahu ya maksudnya, maaf kalau salah. Cuman menurutku kayaknya kalau kita berkesenian itu masih ada yang mengganggu pikiran kita, soal dapur, apa segala macam kayaknya tuh nggak akan merdeka deh kalau main, nggak akan lepas deh. Katakan misalnya pelukis, kalau bisa lu di ruangan itu berhari-hari, mungkin berbulan-bulan, tanpa lu mikirin ‘Aduh anak belum makan’, ‘Aduh besok bayar cicilan’. Kayaknya itu akan mengganggu si karya itu gitu,” katanya.
“Nah justru kenapa aku pengen cari sesuatu yang bisa aku pikirin, aku sibukin di luar seni peran ini ya untuk menopang aku berakting ini. Artinya aku main bisa lepas, aku bisa cari project-project yang mungkin dari segi pembayaran misalnya nggak sesuai rate, misalnya, nggak apa-apa tapi ceritanya, misinya apa segala macam gua bisa sampaikan, misinya bagus banget, ya itu sih,” tutupnya.