Ancaman Bahaya di Balik Pornografi

JAKARTA – Terungkapnya kasus pesta seks dan rumah produksi film porno yang telah menciptakan dan menyiarkan 120 film porno telah membuat masyarakat semakin sadar akan bahaya pornografi. Namun, masih ada banyak orang yang belum sepenuhnya menyadari potensi bahaya dari pornografi terhadap kesehatan kita.

Sebagai contoh, pesta seks orgy yang diadakan di kawasan Jakarta Selatan. Pesta seks yang melibatkan banyak orang atau pasangan sering kali dianggap sebagai bentuk penyimpangan seksual. Istilah "orgy" sendiri berasal dari bahasa Yunani "orgion," yang berarti pesta. Pada tahun 1560, istilah "orgion" dalam bahasa Inggris menjadi "orgy," yang berarti "pesta pora yang tidak senonoh."

Saat ini, pesta seks sering kali diartikan sebagai pertemuan seksual terbuka dan tanpa kendali antara sejumlah orang. Namun, pada awalnya, istilah "orgy" merujuk pada ritual rahasia dalam kultus Yunani Kuno, seperti Misteri Dionysian dan Kultus Cybele, yang berkaitan dengan persatuan luar biasa dengan yang ilahi.

Dionysus adalah dewa anggur, regenerasi, kesuburan, teater, dan ekstasi keagamaan. Ia adalah dewa penting yang dirayakan meriah pada saat ekuinoks musim semi.

Prosesi dimulai saat matahari terbenam, dipimpin oleh pembawa obor yang diikuti oleh pembawa anggur dan buah-buahan, musisi, dan kerumunan yang mengenakan topeng. Di bagian belakang, ada lingga raksasa yang melambangkan kebangkitan dewa yang lahir kembali.

Semua orang bergembira dengan bernyanyi, menari, meneriakkan nama dewa yang dicampur dengan kata-kata kotor dan terlibat dalam hubungan seks yang bebas di hutan. Hewan yang melambangkan dewa diberburu, dicabik-cabik dengan tangan kosong, dan dimakan mentah dengan darah yang masih segar.

Dorongan Dionysian terhadap ketidakrasionalan dan kekacauan ini dapat diinterpretasikan sebagai bentuk pelepasan alami dari tatanan dan penindasan Apollonian yang biasa dilakukan oleh negara dan agama.

Pesta seks memungkinkan orang untuk melarikan diri dari peran sosial artifisial yang terbatas dan kembali ke keadaan alami yang lebih otentik, yang dalam psikologi modern dikaitkan dengan ketidaksadaran Freudian.

Hal ini terutama menarik bagi kelompok marjinal, karena mengabaikan hierarki yang melibatkan dominasi laki-laki atas perempuan, tuan atas budak, bangsawan atas rakyat jelata, kaya atas miskin, dan warga negara atas orang asing.

Terlibat dalam pesta seks ini berarti melakukan hubungan intim dengan banyak orang yang berbeda secara bergantian. Hal ini tentu saja memiliki dampak negatif pada kesehatan seperti di bawah ini seperti dilansir dari Times of India (12/9);

1. Penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) Dampak paling utama dari seks orgy adalah risiko tinggi terkena penyakit menular seksual. Sesuai dengan namanya, PMS dapat menular melalui kontak seksual atau hubungan intim. Beberapa contoh PMS termasuk sifilis, klamidia, gonore, HIV/AIDS.

2. Risiko Kehamilan di Luar Nikah Partisipasi dalam pesta orgy dapat meningkatkan risiko kehamilan di luar nikah, terutama bagi wanita. Kehamilan di luar nikah, meskipun bukan ancaman langsung terhadap kesehatan, dapat melibatkan tindakan ilegal dan bahkan berpotensi membahayakan kesehatan fisik wanita yang terlibat. Aborsi ilegal, sebagai contoh, dapat menjadi risiko serius dan bahkan mengakibatkan kematian.

3. Dampak pada Kesehatan Mental Selain dampak fisik, pesta seks orgy juga dapat mengganggu kesehatan mental para pesertanya. Mereka yang terlibat dapat mengalami gangguan kecemasan, perasaan bersalah, dan bahkan depresi. Ini terutama berlaku jika mereka terkena PMS atau mengalami kehamilan di luar nikah, yang dapat menyebabkan perasaan malu dan tekanan yang berdampak pada kesehatan mental.

Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa pornografi adalah "Narkolema" (Narkoba Lewat Mata). Narkolema adalah pornografi yang dikonsumsi dengan efek kecanduan dan efek merusak yang sama dengan penggunaan narkotika. Pornografi dianggap sebagai bentuk narkoba di era milenium baru, yang menghadirkan ancaman serius bagi masyarakat.

Kerusakan yang diakibatkan oleh kecanduan pornografi terletak pada merosotnya bagian otak yang disebut korteks prefrontal (PFC). PFC berfungsi sebagai pusat pertimbangan, pengambilan keputusan, dan pembentukan kepribadian seseorang.

PFC orang yang kecanduan pornografi akan mengalami kerusakan dan pengecilan. Dampak yang biasanya terlihat termasuk kesulitan berkonsentrasi, kesulitan membedakan benar dan salah, penurunan kemampuan pengambilan keputusan, dan kecenderungan menjadi malas.

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengalami Narkolema, mulai dari kurangnya kendali diri pada remaja, karakteristik individu, hingga pengawasan yang kurang dari orang tua. Lemahnya pengawasan orang tua dapat memfasilitasi akses anak-anak ke konten pornografi. Selain itu, pengaruh teman sebaya juga dapat menjadi penyebab seseorang mengalami Narkolema.

Narkolema memiliki beragam dampak negatif terhadap kesehatan, baik secara mental maupun fisik. Kecanduan pornografi dapat berkontribusi pada kegagalan adaptasi sosial dan merusak fungsi otak serta struktur otak. Kerusakan ini serupa dengan gejala fisiologis yang dialami oleh pengguna alkohol dan narkoba.

Selain itu, dampak negatif pornografi juga mencakup peningkatan kasus penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS dan mendorong perilaku seksual yang tidak sehat. Pada remaja, Narkolema dapat memicu peningkatan perilaku seksual tanpa batas sebelum menikah.

Keseringan mengonsumsi pornografi tidak hanya merusak korteks prefrontal, tetapi juga membawa bahaya lain bagi otak. Berdasarkan hasil riset dari Kemenkes di tahun 2017 beberapa bahaya lainnya pornografi termasuk:

1. Penyusutan Otak: Kondisi ini melibatkan hilangnya neuron (sel-sel saraf) di otak dan kerusakan pada hubungan antar sel-sel tersebut.

2. Kecanduan Dopamin: Kecanduan pornografi memicu pelepasan dopamin, hormon kebahagiaan, yang dapat menyebabkan kecanduan, mirip dengan kecanduan narkoba.

3. Masalah Kesehatan Mental: Kecanduan pornografi dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, perasaan negatif terhadap diri sendiri, dan lainnya.

4. Gangguan Kognitif: Kecanduan pornografi dapat mengganggu fungsi kognitif seperti fokus, kemampuan menghafal, dan daya ingat.

5. Kecanduan Stimulasi Berlebihan: Orang yang kecanduan pornografi cenderung mencari rangsangan berlebihan jika mereka belum merasa puas.

Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Nahar, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah kecanduan konten pornografi.

Menurut Nahar, saat seseorang mengalami kecanduan konten pornografi, mereka akan rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual. Bahkan, mereka dapat menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lainnya.

"Kasusnya cenderung meningkat tiap tahun. Hal ini harus menjadi perhatian orang tua. Awasilah penggunaan gadget anak agar mereka tidak sampai mengalami kecanduan konten pornografi, karena dampaknya jangka panjang," ujarnya.

Menurut Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS tahun 2020, 25,8 persen pengguna internet adalah anak-anak. Mayoritas anak-anak Indonesia, yang berusia lima tahun ke atas, sudah mengakses internet, terutama untuk media sosial.

Hal ini mengkhawatirkan karena kejahatan seksual terhadap anak-anak sering kali terjadi secara daring. Selain itu, banyak orang tua yang kurang memantau dan membatasi konten yang diakses oleh anak-anak mereka ketika menggunakan perangkat elektronik.

Berdasarkan data KPPPA, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada tahun 2022, meningkat dari 4.162 kasus pada tahun sebelumnya.

“Jadi memang, penanganan pornografi ini tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah saja, orang tua sebagai pihak yang paling dekat dengan anak memang harus aktif mengawasi dan memahami konten apa saja yang diakses oleh anak,” terang Nahar.

Dia menyatakan, konten yang beredar bebas saat ini bisa memberikan dampak yang tidak baik, apabila dikonsumsi secara terus menerus. Terlebih kondisi ini didukung dengan kondisi anak-anak yang belum matang secara psikologis dalam mengelola emosi atau apa yang dirasakan di dalam dirinya.

Karena itu, pengawasan dan pemantauan dari orang tua menjadi poin penting dalam pengasuhan di era digital. Orang tua harus aktif memantau dan memahami konten yang diakses oleh anak-anak mereka saat menggunakan teknologi. Selain itu, penting untuk membangun dialog dengan anak-anak tentang potensi bahaya yang mungkin mereka hadapi saat menggunakan media sosial secara tidak benar.

Orang tua juga harus memperhatikan sikap dan perilaku anak serta lingkungan agar dapat mendeteksi adanya perubahan pada anak. Pengawasan dan pemantauan aktif dapat membantu melindungi anak-anak dari risiko kekerasan dalam ranah siber.