Kisah Pilu Vendor Rekanan BUMN

Jakarta - Kisah miris para vendor yang pernah bermitra dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Karya tampaknya masih berlanjut. Banyak dari mereka yang hingga kini terjerat utang bahkan hingga bangkrut akibat keterlambatan pembayaran.

Biasanya, pembayaran kepada para vendor dilakukan berdasarkan progres fisik yang telah dikerjakan. Terdapat tiga termin pembayaran umumnya. Pertama, penagihan saat pembangunan fisik mencapai 50 persen dengan pembayaran 30 persen dari nilai kontrak.

Termin kedua, jika sudah mencapai 80 persen maka akan dibayarkan 50 persen, dan termin terakhir saat pengerjaan proyek sudah selesai. Namun, para vendor sering kali hanya menerima pembayaran sebesar 80 persen dari nilai kontrak. Sementara sisa dua puluh persen biasanya ditahan dengan alasan untuk retensi hasil pengerjaan.

Baru-baru ini, di media sosial (sebelumnya Twitter), beredar sebuah rekaman video yang terkait dengan salah satu anggota BUMN Karya, yaitu PT Waskita Karya, yang banyak vendor yang belum menerima pembayaran. Rekaman ini diunggah oleh akun @brorondm milik Ronald Sinaga dan menceritakan tentang seorang vendor yang telah menerima pembayaran. Namun, pemilik vendor tersebut juga mendapatkan pesan agar tidak membuat keributan.

Pesan tersebut tidak dihiraukan, dan sang pemilik vendor tetap mempublikasikan masalah ini agar vendor lain juga mendapatkan pembayaran. “Kapan vendor-vendor lain akan dibayar? Bukan hanya saya yang harus dibayar. Mereka berpikir bahwa saya hanya berjuang untuk diri saya sendiri, tetapi vendor lain juga harus mendapatkan pembayaran,” ujar sang pemilik vendor dalam rekaman tersebut.

Pemilik vendor ini mengungkapkan alasan tetap berbicara di publik meskipun diminta untuk tetap diam. Dia merasa khawatir masih banyak vendor lain yang menjadi korban BUMN Karya. Dia menjelaskan bahwa pembayaran oleh PT Waskita Karya bahkan yang belum jatuh tempo juga diproses setelah dia mengungkapkan masalah ini ke publik.

Pemilik akun, Ronald Sinaga, juga memperhatikan masalah gagal bayar PT Waskita Karya. Yang mencemaskan adalah bahwa mereka justru mendapatkan kontrak dan proyek baru dari Kementerian PUPR untuk proyek pembangunan jalan tol akses ke Patimban, Jawa Barat.

Kerugian PT Waskita Karya Naik Drastis

Sementara itu, PT Waskita Karya Tbk, salah satu BUMN karya yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham WSKT, menghadapi tantangan serius. Meskipun memiliki tanggung jawab untuk membangun proyek infrastruktur pemerintah, perusahaan ini mengalami kesulitan keuangan yang disebabkan oleh beban utang yang tinggi.

Pada laporan keuangan semester pertama, WSKT mencatatkan kerugian bersih yang meningkat drastis hingga 776 persen, mencapai Rp2,07 triliun dibandingkan dengan semester pertama 2022, ketika kerugian bersihnya masih sekitar Rp236,51 miliar.

Selain itu, total liabilitas perusahaan juga meningkat menjadi Rp84,31 triliun, naik sekitar 9,20 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2022, yang sebelumnya mencapai Rp77,2 triliun. PT Waskita Karya sudah mengajukan permohonan untuk mendapatkan suntikan modal dari pemerintah melalui skema Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp3 triliun, namun permohonan ini ditolak.

Permasalahan terkait PT Waskita Karya mencuat pada bulan Februari 2023. Pada saat itu, perusahaan ini dihadapkan pada gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh dua vendor yang terlibat dalam beberapa proyek pembangunan. Pada awal Januari, CV Bandar Agung Abadi mengajukan gugatan PKPU ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat karena perusahaan konstruksi tersebut belum melunasi utang sebesar Rp2,03 miliar yang terkait dengan proyek Jalan Tol Kayu Agung - Palembang - Betung paket II Seksi I.

Saat masalah ini belum terselesaikan, PT Waskita Karya kembali dihadapkan pada gugatan PKPU yang diajukan oleh PT Megah Bangun Baja Semesta ke PN Jakarta Pusat. Gugatan ini muncul karena perusahaan belum melunasi utang sebesar Rp2,93 miliar. PT Megah Bangun Baja Semesta merupakan salah satu vendor yang terlibat dalam proyek pembangunan Terminal Bandara Internasional Minangkabau, Terminal Bandara Depati Amir Tahap I, dan Renovasi Waskita Rajawali Tower.

Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo mengakui adanya keterlambatan pembayaran oleh PT Waskita Karya yang telah menyebabkan kerugian pada sejumlah vendor. Meskipun tidak menyebutkan secara spesifik jumlah vendor yang terpengaruh, Tiko - panggilan akrabnya - menyatakan bahwa Kementerian BUMN terus berusaha menemukan skema pembayaran terbaik agar PT Waskita Karya dapat memenuhi kewajibannya kepada vendor, serta membayar utang berupa obligasi dan pinjaman perbankan.

“Kami sudah mempertimbangkan ini dengan cermat, termasuk berapa persen yang harus kami perbaiki dalam situasi ini. Kami menghitung kewajiban perbankan, kewajiban obligasi, dan kewajiban kepada vendor,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Selasa (20/6).

Nasib Vendor Rekanan PT Istaka Karya

Nasib buruk para vendor rekanan juga tidak hanya terbatas pada PT Waskita Karya, namun juga dirasakan oleh para vendor yang bermitra dengan PT Istaka Karya. Bambang Susilo, Ketua Persatuan Rakyat Korban BUMN Istaka Karya (Perkobik), berbagi pengalaman bahwa pada tahun 2019, dia bekerja sebagai subkontraktor pemasok batu dan pasir untuk proyek Underpass Kentungan, Yogyakarta, yang dikerjakan oleh PT Istaka Karya. Namun, hingga saat ini, pembayaran atas hasil kerjanya belum diterima.

Sudah empat tahun berlalu, dan Bambang masih belum menerima pembayaran dari Istaka, yang belum kunjung tiba. Pada akhirnya, Bambang menyadari bahwa dia bukanlah satu-satunya yang mengalami nasib malang ini. Teman-temannya di Perkobik juga menghadapi situasi yang lebih buruk, dengan menunggu pembayaran atas hak mereka selama belasan tahun yang belum terpenuhi.

Bambang mengungkapkan bahwa ada beberapa proyek yang menjadi perdebatan para vendor, seperti pembangunan Jalan Tol Sedyatmo Cengkareng di Km 26 dan Km 27 pada tahun 2008, yang kemudian mulai beroperasi pada tahun 2010. Proyek ini dilakukan oleh tiga perusahaan: KADI International, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Istaka Karya.

Selain itu, ada proyek Jalan Tol Ungaran seksi I Semarang-Ungaran sepanjang 73 km yang dimulai pada awal 2009 dan telah beroperasi sejak 11 November 2011. Kontraktor proyek ini adalah PT Istaka Karya, PT Adhi Karya, dan PT Waskita Karya.

Pada saat itu, keuangan Istaka diketahui dalam keadaan yang sulit. Utang mereka menumpuk hingga ratusan miliar rupiah, sehingga pembangunan Jalan Tol Seksi I Semarang-Ungaran sempat terganggu. Bahkan, salah satu vendor atau subkontraktor, yaitu PT Bumi Sentosa Dwi Agung (BSDA), pernah memblokade pintu masuk tol sebagai bentuk protes karena hak-hak mereka belum dibayarkan. Waktu itu, belum banyak vendor yang berani bersuara dan lebih memilih untuk bersabar.

Pada tahun 2011, Mahkamah Agung pernah menyatakan Istaka pailit karena tidak mampu membayar utang sebesar 7,6 juta dolar AS atau sekitar Rp144 miliar. Istaka mengalami kerugian mencapai Rp275 miliar, memiliki ekuitas negatif sebesar Rp656 miliar, serta mengalami kekurangan likuiditas dan dukungan dana.

Pada akhir tahun yang sama, manajemen Istaka menawarkan perjanjian perdamaian (homologasi) kepada para vendor melalui proses pemungutan suara bersama. Melalui proses ini, perusahaan ini berhasil menghindari kebangkrutan.

Namun, para vendor meragukan niatan baik perusahaan dalam mencapai perdamaian, dan mereka menganggap bahwa perdamaian tersebut hanya digunakan oleh Istaka sebagai cara untuk memperpanjang waktu pembayaran. Menurut Bambang, Istaka memiliki utang kepada 160 vendor dengan total nilai mencapai Rp350 miliar.

Pembayaran Utang Diprioritaskan pada Direksi dan Karyawan

Manajemen PT Istaka Karya disebut Bambang telah berjanji untuk membayar utang kepada para vendor dalam bentuk saham, dengan jumlah saham yang akan diberikan bergantung pada besarnya utang masing-masing vendor. Selain opsi konversi saham, manajemen juga menawarkan penjadwalan ulang pembayaran, pemotongan bunga, dan denda.

Namun, saat rapat verifikasi, PT Istaka Karya melaporkan total utang mencapai Rp753 miliar, terdiri dari utang kreditur konkuren sebesar Rp300 miliar, utang kreditur separatis sebesar Rp400 miliar, dan utang kepada karyawan sebesar Rp53 miliar.

Bambang, mengungkapkan bahwa masalah utama terletak pada minimnya aset yang dimiliki oleh Istaka Karys, di mana total utangnya mencapai 4-5 kali lipat dari nilai asetnya. Prioritas pembayaran justru diberikan kepada karyawan dan direksi perusahaan, sehingga vendor-vendor kemungkinan besar tidak akan mendapatkan bagian dari pembayaran.

Putusan mengenai konversi saham kepada para kreditur Istaka Karya didasarkan pada Putusan Pengesahan Perdamaian (Homologasi) Nomor 23/PKPU/2012/PN.NIAGA.JKT.PST. tanggal 22 Januari 2013 dan laporan auditor independen tahun buku 2012.

Dalam upaya mencari modal antara tahun 2013 hingga 2017, manajemen Istaka Karya menerima penugasan proyek-proyek negara. Pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan restrukturisasi Istaka Karya dengan menyuntikkan modal negara melalui penerbitan saham yang belum diterbitkan. Pada 17 September 2018, Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2018 tentang Perubahan Struktur Kepemilikan Saham Negara Melalui Penerbitan Saham Baru pada Perusahaan Perseroan PT Istaka Karya.

Namun, meskipun PP 44/2018 telah diterbitkan, para vendor masih belum menerima saham mereka. Bahkan, posisi mereka semakin sulit karena porsi saham yang dimiliki oleh kreditur bersifat sementara, dan pemerintah berencana untuk membeli kembali saham-saham tersebut sesuai dengan regulasi setelah sembilan tahun. Selain itu, para vendor tidak diberi hak atas dividen atau hak suara dalam rapat umum pemegang saham (RUPS).

Pada tahun 2020, Menteri BUMN Erick Thohir menugaskan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) melalui Surat Kuasa Khusus (SKK) untuk menyembuhkan sejumlah BUMN yang mengalami masalah keuangan, termasuk PT Istaka Karya. PPA berperan sebagai instrumen strategis pemerintah dalam meningkatkan nilai BUMN melalui restrukturisasi, revitalisasi, pengelolaan risiko kredit bermasalah, dan dana khusus untuk situasi khusus (special situations fund, SSF).

PT Istaka Karya Dipailitkan

PT Istaka Karya, yang mengalami masalah keuangan, aset yang terkikis, dan utang yang menumpuk, menjadi perhatian PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Upaya untuk menangani situasi ini termasuk mengalihkan karyawan Istaka Karya ke PT Nindya Karya. Namun, menurut Bambang Susilo, Ketua Persatuan Rakyat Korban BUMN Istaka Karya (Perkobik), upaya ini malah menghadirkan dampak buruk, di mana Istaka Karya menjadi percobaan. Akhirnya, pada 12 Juli 2022, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan Istaka Karya pailit.

Pailitnya Istaka Karya terjadi setelah perusahaan ini tidak mampu memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo pada akhir tahun 2021 sesuai dengan Putusan Perdamaian Nomor 23/PKPU/2012/PN Niaga Jakarta Pusat tanggal 22 Januari 2013.

Penetapan pailit Istaka Karya memaksa para vendor untuk melakukan berbagai upaya guna memperjuangkan hak mereka. Mereka telah menyurat kepada DPR, Komnas HAM, dan Kementerian BUMN, namun belum mendapatkan tanggapan yang memuaskan.

Situasi semakin memburuk bagi para vendor. Salah satu contohnya adalah Bambang, yang menghadapi ancaman kehilangan rumah karena alasan kredit macet. Lebih tragis lagi, seorang rekan vendor mengalami depresi hingga bunuh diri. Bambang menggambarkan, "Yang bunuh diri itu supplier di Brebes. Jadi ini sudah menyangkut hak asasi."

Beberapa pekan sebelum Presiden Joko Widodo secara resmi membubarkan PT Istaka Karya pada 17 Maret 2023, Bambang dan sesama vendor mengadakan demonstrasi di depan kantor Kementerian BUMN, Jakarta Pusat. Namun, demonstrasi ini tidak mendapat respons yang memuaskan. Akhirnya, pada 17 Maret 2023, PT Istaka Karya resmi dibubarkan, seiring dengan bubarnya PT Industri Sandang.

Keputusan pembubaran Istaka Karya ini didasarkan pada putusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat setahun sebelumnya. Akibat putusan ini, aset Istaka Karya berada dalam keadaan insolvensi, yang mengacu pada situasi di mana perusahaan tidak mampu membayar utang atau kewajiban keuangan tepat waktu.

Bambang mengemukakan dugaannya bahwa BUMN Karya lain yang menghadapi masalah serupa dengan Istaka Karya juga mungkin akan mengalami pailit. Dia menggambarkan situasi ini sebagai upaya untuk memanfaatkan hukum kepailitan guna mengesahkan perusahaan agar tidak membayar utang yang jumlahnya besar.