Luluk Nuril, Seleb Medsos Probolinggo yang Norak Sampai Lupa Diri Jika Bersuami Bintara Polisi
JAKARTA - Video yang menampilkan seorang seleb TikTok Probolinggo marah-marah kepada siswi magang di sebuah swalayan viral sejak kemarin. Alasannya sepele, Si Seleb TikTok bernama Luluk Sofiatun Jannah atau Luluk Nuril merasa tersinggung ditegur siswi magang karena belanjaan yang batal dibelinya ditaruh sembarangan.
Aksi marah-marah Luluk Nuril itu direkam oleh tim content creator, lalu videonya diviralkan sampai akhirnya menjadi perhatian warganet. Hal ini membuat sang siswi menjadi trauma.
Kolom komentar media sosial Luluk Nuril langsung dibanjiri hujatan. Tak sampai di situ, kekuatan warganet juga berhasil membongkar gaya hidup hedon dan flexing dari Si Seleb. Padahal, dia adalah istri Bripda Muhammad Nuril Huda yang bertugas di Polsek Tiris selama delapan tahun terakhir. Gara-gara aksi istrinya, jabatan sebagai Kanit Binmas Polres Tiris yang baru diduduki tiga bulan hilang.
Pamer Status Sosial
Flexing culture ramai dibahas dalam beberapa tahun terakhir. Namun sebenarnya kata flexing sudah digunakan dalam buku berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institution pada tahun 1899 karya Thorstein Veblen. Buku tersebut adalah sebuah risalah ekonomi dan sosiologi, dan kritik terhadap konsumsi yang mencolok.
Luluk Nuril mungkin hanya satu dari sederet seleb medsos atau istri yang gemar flexing di media sosial. Budaya pamer biasanya diasosiasikan dengan menunjukkan barang-barang mewah atau aktivitas mewah dengan tujuan mendapatkan validasi dari komunitasnya. Sederhananya, flexing adalah pamer.
Budaya flexing ini makin populer seiring makin meningkatnya pengguna media sosial di seluruh dunia. Contoh budaya flexing lainnya adalah ketika seseorang sering mamerkan liburan mewahnya ke luar negeri. Tujuan utamanya adalah membuat para pengikut mereka kagum dan muncul perasaan prestise dari kegiatan liburan mewah ini.
Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dewi Ilma Antawati mengungkapkan penyebab seseorang melakukan flexing di media sosial. Dewi Ilma menjelaskan, perilaku flexing merupakan perilaku instingtif dalam menjalin relasi. Dia pun memberi perumpamaan seekor merak yang memamerkan ekor indahnya untuk menarik perhatian lawan jenis.
“Dalam ilmu psikologi sosial menyebutkan bahwa memamerkan sesuatu yang dimiliki dilakukan untuk menunjukkan status sosial seseorang, dengan harapan lebih menarik di mata orang lain sehingga dapat memperluas pergaulan,” ujar Dewi Ilma.
Sementara itu, dalam psikologi klinis perilaku flexing dikaitkan dengan rasa tidak aman (insecurity) yang dimiliki seseorang, sehingga ada dorongan untuk memamerkan apa yang menurutnya unggul dibandingkan orang lain.
“Itu sebabnya ada orang yang merasa tidak percaya diri datang ke pesta atau acara tertentu jika tidak mengenakan barang mermerek, dan lebih nyaman jika datang mengenakan barang bermerek, karena ada kekhawatiran tidak diterima atau dianggap rendah oleh orang lain,” imbuhnya.
Sejumlah penelitian menunjukkan ketika seseorang merasa sedih, insecure, atau butuh pengakuan, mereka cenderung impulsif membeli barang branded untuk mengatasi perasaan tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Martin Lindstrom dalam bukunya Brandwashed.
Flexing Menurunkan Harga Diri
Hobi flexing atau pamer memiliki beberapa dampak negatif, terutama bagi diri sendiri. Jika seseorang tidak bisa berdamai dengan dirinya sendiri, maka orang tersebut akan terus merasa cemas, merasa minder, dan rendah hati. Jika hal ini terus menumpuk, akan menimbulkan masalah psikologis.
Meski seseorang melakukan flexing untuk meningkatkan value diri, namun budaya pamer ternyata justru dapat menurunkan selfesteem atau harga diri seseorang.
Dampak lainnya dari flexing adalah mendorong seseorang berperilaku konsumtif. Demi menuruti gengsi dan mendapatkan validasi, seseorang harus terus menggunakan uang untuk membeli barang mewah. Padahal belum tentu barang tersebut berguna atau sesuai dengan kebutuhan.
Jurnal Social Psychology and Personality Science menyebutkan bahwa orang-orang cenderung lebih memilih teman dengan tampilan biasa daripada mewah. Orang yang suka flexing umumnya mendapat stereotip buruk, yaitu kurang empati. Hasilnya, mereka sulit mendapatkan teman karena biasanya orang lebih memilih bergaul dengan pribadi yang sederhana.
Supaya tidak terjebak dalam perilaku flexing, pakar psikologi sosial dari Universitas Indonesia Dicky C. Pelupessy, Ph.D. mengatakan ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu menerapkan counterthinking dan berpikir sejenak sebelum mengambil tindakan.
Pertama, dengan memposisikan diri sendiri sendiri pada orang yang melihat perilaku flexing dan kedua mencari cara lain yang mungkin bisa dilakukan untuk meningkatkan harga diri selain melakukan flexing.
“Coba pikirkan sebenarnya bagaimana reaksi orang-orang saat melihat saya melakukan flexing. Apakah mereka benar-benar akan memuji atau justru tidak memuji,” kata Dicky, dikutip Antara.
Baca juga:
- Penyebutan Presiden Sebagai Petugas Partai Menyalahi Prinsip Demokrasi
- Masalah Perpanjangan SIM Menjadi Polemik karena Kepolisian Tidak Konsisten Soal Peraturan
- Menjadikan Wulan Guritno Sebagai Duta Antijudi Online adalah Ngawur dan Kontra Produktif
- Menelisik Makna Pernyataan Yahya Cholil Staquf Soal Larangan NU Berpolitik Praktis