Kemenperin Respons Kritik Ekonom Faisal Basri soal Deindustrialisasi: Butuh Riset Publik untuk Itu

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merespons soal pernyataan Ekonom Senior Faisal Basri yang menyebut Indonesia mengalami penurunan produktivitas industri manufaktur ke perekonomian alias deindustrialisasi.

Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Ignatius Warsito mengatakan, hal tersebut tidak benar dan justru Indonesia sedang menuju industrialisasi.

"Butuh suatu riset publik yang komprehensif untuk menyatakan deindustrialisasi. Jadi, pandangan-pandangan pakar termasuk kemarin ada kritikan terhadap pemerintah dari Faisal Basri ini, ya, kami harus sikapi secara positif bahwa melihat dari hilirisasi belum selesai, harusnya ada industrialisasi," kata Warsito dalam media briefing, Senin, 28 Agustus.

Warsito mengatakan, pihaknya tidak menampik bahwa telah terjadi penurunan kinerja industri manufaktur atau pengolahan. Namun, hal tersebut merupakan dampak dari pandemi COVID-19 yang belum selesai sepenuhnya.

"Jadi, deindustrialisasi itu hanya suatu pandangan yang mana kami sendiri melihatnya sebagai introspeksi bahwa penurunan kinerja industri maupun bagaimana kami mencapai target-target kontribusi industri terhadap PDB, ekspor, investasi, tenaga kerja. Ini merupakan suatu upaya dari masa ke masa," ujarnya.

Meski begitu, Warsito menilai, penurunan kinerja industri manufaktur yang saat ini begitu menantang akan kembali membaik.

Sebab, pemerintah terus bekerja sama untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang selama COVID-19 kemarin menjadi penghalang.

"Nah, itu komunikasi yang baik kepada pelaku industri sehingga apa yang menjadi posisi kemampuan industri saat ini bisa kami refleksikan sebagai suatu peningkatan kinerja industri sekarang ke depan," ucap dia.

Pada kesempatan sama, Direktur Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam Wiwik Pudjiastuti mengatakan, jika dilihat dari sektor industri nonlogam, deindustrialisasi tidak tepat. Pasalnya, sepanjang 2022, sektor tersebut investasinya tumbuh hingga 25 persen dibandingkan 2021 (yoy).

"(Pertumbuhan sektor industri nonlogam) di angka 24,6 persen dibandingkan 2021. Itu untuk 2022. Selanjutnya, di semester I-2023 ini investasi baru kami itu tercatat Rp7,3 triliun atau kalau kami persentasenya tumbuh itu sebesar 26,2 persen," ungkapnya.

Oleh karena itu, lanjut Wiwik, penyebutan deindustrialisasi sangat tidak tepat untuk saat ini.

"Tentunya, kalau bicara dari data pun kami juga tidak bisa melihat bahwa di sini tidak ada deindustrialisasi, khususnya di sektor mineral logam," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menyebut kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia hanya menguntungkan China. Dia mengatakan, jika strategi yang dilakukan indonesia hanya hilirisasi dan bukan industrialisasi.

"Sayangnya tidak ada strategi industrialisasi, yang ada adalah kebijakan hilirisasi. Beda," ujar Faisal dalam Seminar KTT INDEF 2023, Selasa 8 Agustus.

Faisal pun menjelaskan perbedaan antara industrialisasi dan hilirisasi.

Menurutnya, industrialisasi memperkuat struktur perekonomian, struktur industri, dan meningkatkan nilai tambah dalam negeri.

Sementara untuk hilirisasi hanya sekadar mengubah dari bijih nikel menjadi Nickel Pig Iron (NPI) atau feronikel.