Eksklusif, Ketum JDN Tommy Dharmawan Prihatin, 5 sampai 10 Persen Dokter Alami Burnout

Dokter juga manusia, yang memiliki hati dan perasaan. Jadi, mereka juga bisa mengalami burnout. Menurut Ketua Umum Junior Doctors Network (JDN) Indonesia, dr. Tommy Dharmawan, Sp.BTKV, PhD, realitas ini terjadi pada dokter. Secara global, data yang dimilikinya menunjukkan bahwa 5 - 10 persen dokter mengalami burnout. Untuk dokter yang terdampak, mereka siap membantu dan melakukan advokasi.

***

Dilansir dari medicalnewstoday.com, burnout adalah jenis stres yang dialami seseorang dalam pekerjaan atau peran yang membuat mereka merasa lelah, kewalahan, atau tidak berdaya. Hal ini menyebabkan seseorang kehilangan minat terhadap peran mereka, merasa kurang siap untuk melakukan pekerjaan, dan kehilangan tujuan. Dalam banyak kasus, seseorang yang mengalami kelelahan mungkin tidak ingin lagi melakukan pekerjaannya.

Pandemi COVID-19 yang lalu menjadi salah satu penyebab tingginya angka burnout yang dialami dokter. “Prevalensi globalnya sekitar 5 hingga 10 persen. Banyak faktor yang dapat menyebabkan dokter mengalami burnout, seperti kesejahteraan yang rendah, jam kerja yang berat, kurangnya dukungan dari keluarga dan lingkungan. Kami berharap dapat membantu dokter yang mengalami situasi seperti ini,” kata Tommy Dharmawan yang baru dikukuhkan sebagai Ketua Umum JDN Indonesia dalam Silaturahmi Nasional yang berlangsung di Jakarta Juli 2023.

Meski Tommy belum memiliki data terbaru berapa banyak dokter di Indonesia yang mengalami burnout, namun dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tahun 2020, tergambar tingkat prevalensi burnout sedang pada tenaga kesehatan di masa pandemi COVID-19 mencapai 82 persen. Dari 1.414 responden yang berasal dari berbagai profesi, sebanyak 716 responden adalah dokter, 390 responden adalah bidan, dan 151 responden adalah perawat.

Tak hanya mengenai rekan seprofesinya yang mengalami burnout, sebagai pimpinan tertinggi JDN Indonesia, Tommy Dharmawan juga berkoordinasi dengan JDN Internasional dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam melaksanakan kegiatan. Termasuk edukasi kesehatan masyarakat, pemberdayaan dokter, dan permasalahan gaya hidup masyarakat yang memengaruhi kualitas kesehatan. “Sebelum para dokter bergerak untuk membantu menjaga kesehatan masyarakat, tentunya mereka harus sehat terlebih dahulu secara jasmani dan rohani,” katanya kepada Edy Suherli, Savic Rabos, Rifai, dan Dandy Januar dari VOI, yang menemuinya di Gedung Dr. R. Soeharto (PB IDI), Menteng, Jakarta Pusat, belum lama ini. Ini adalah kutipannya.

Tak semua dokter yang mengalami baik, karena itu Ketum JDN Tommy Dharmawan terus memperjuangan nasib dokter yang bertugas di daerah terpencil. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Anda terpilih menjadi Ketua Umum JDN Indonesia, apa program krusial yang ingin direalisasikan dalam masa kepengurusan Anda sebagai Ketua Umum?

Secara garis besar, ada dua hal yang akan kami lakukan, yaitu di dalam dan di luar. Pertama, kami ingin melakukan pemberdayaan teman-teman dokter muda, mulai dari kegiatan yang selama ini belum diakomodir seperti olahraga dan seni. Selanjutnya, kami juga memiliki gerakan untuk melindungi dokter di daerah terpencil. Dokter-dokter yang baru lulus gajinya berkisar 2 jutaan. Itu sangat rendah, bahkan di bawah UMR Jakarta yang sekarang sudah 4,9 juta. Ada juga advokasi untuk teman-teman yang masih sekolah lanjut di jenjang spesialis, diduga ada perundungan dari senior-seniornya. Apakah benar seperti berita yang beredar, kami akan melakukan advokasi terkait hal tersebut.

Untuk JDN Indonesia, apa visi dan misi organisasi ini dalam bergerak?

Kita tidak dapat lepas dari JDN International, karena kita merupakan kepanjangan tangan mereka untuk Indonesia. JDN dibentuk oleh Medical Association di tiap negara, atau IDI jika di Indonesia. Visi dan misi kami tidak jauh berbeda dengan JDN International. Visi kami adalah ingin menjadi generasi muda dokter yang produktif, solid, dan bermanfaat untuk publik. Misi kami adalah menciptakan program-program yang solid, konsolidatif, dan bermanfaat untuk generasi muda dokter.

JDN Indonesia sebagai wadah pemberdayaan dokter muda untuk bekerjasama mewujudkan Indonesia yang lebih sehat melalui edukasi, advokasi, serta kolaborasi apa saja yang sedang dan akan dilakukan?

Sebelum menyehatkan masyarakat, hal pertama yang harus dilakukan adalah memastikan dokter-dokternya sehat terlebih dahulu. Kami ingin menjaga kesehatan fisik dan mental dokter-dokter tersebut. Kami mengadakan kompetisi olahraga dan seni untuk para dokter. Selain itu, kami juga meningkatkan keterampilan dan kompetensi dokter-dokter tersebut. Setelah itu, baru dokter-dokter tersebut dapat berusaha untuk menyehatkan masyarakat. Caranya adalah dengan memberikan edukasi kepada masyarakat melalui berbagai sarana dan prasarana yang ada. Pemerintah ingin menjadikan dokter sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

Bagaimana caranya?

Dokter akan memberikan edukasi kepada masyarakat, baik secara langsung maupun melalui media sosial yang mereka miliki. Kami juga akan melaksanakan program seperti sekolah sehat atau pesantren sehat di lembaga-lembaga seperti sekolah dan pesantren. Kami juga memiliki program generasi sehat bebas narkoba. Ini dilakukan oleh JDN yang sudah memiliki perwakilan di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Anggota kami sekarang mencakup 40 persen dari seluruh dokter yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 100.000 dokter. Ini merupakan potensi besar yang harus dioptimalkan. Mereka juga aktif dengan media sosial masing-masing.

Tadi Anda menekankan dokternya harus sehat terlebih dahulu. Apakah ada indikasi yang membuat dokter jadi tidak sehat?

Selama pandemi kemarin, banyak dokter yang mengalami burnout. Dokter juga memiliki patokan untuk tetap sehat secara mental. Oleh karena itu, kami belajar bahwa dokter harus sehat secara fisik, mental, dan rohaniah. Kami memiliki program untuk membantu dokter yang mengalami burnout agar mereka memiliki jalan keluar. Dokter muda harus memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik sehingga dapat membantu menyehatkan masyarakat.

Dokter muda kata  Ketum JDN Tommy Dharmawan harus terus diberdayakan agar mereka bisa memberikan andil dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Berapa banyak dokter yang mengalami burnout?

Kami belum memiliki data spesifik untuk Indonesia, namun prevalensi globalnya sekitar 5 hingga 10 persen. Banyak faktor yang dapat menyebabkan dokter mengalami burnout, seperti kesejahteraan yang rendah, jam kerja yang berat, kurangnya dukungan dari keluarga dan lingkungan. Kami berharap dapat membantu dokter yang mengalami situasi seperti ini.

JDN Indonesia ini adalah bagian dari IDI. Bagaimana sinergi yang dilakukan dengan IDI dan juga organisasi profesi kedokteran lainnya?

Koordinator JDN Internasional, Dr. Uchechukwu Chukwunwike Arum, saat hadir dalam Silatnas JDN Indonesia beberapa waktu lalu, menyatakan bahwa JDN selalu menginduk pada organisasi dokter yang ada, seperti IDI. Oleh karena itu, kami mengikuti aturan dan tata tertib organisasi yang ditetapkan oleh IDI. Kami memiliki rencana untuk melakukan muktamar sendiri sebelum tahun 2025. Kami juga berkolaborasi dengan JDN Internasional dalam program-program mereka yang berfokus pada pemberdayaan generasi muda, penelitian, dan lainnya.

Bicara tentang tingkat kesehatan masyarakat Indonesia saat ini, apakah ada indeks yang mengukur level kesehatan masyarakat? Bagaimana posisi Indonesia di antara negara-negara lain?

Terdapat banyak pemeringkatan yang mengukur indeks kesehatan masyarakat. Salah satunya adalah Global Health Security Index (GHSI). Saat ini, Indonesia berada di peringkat keempat di ASEAN dalam hal indeks kesehatan masyarakat. Thailand berada di peringkat pertama, diikuti oleh Singapura dan Malaysia. Setelah itu, Indonesia berada di posisi keempat, diikuti oleh Filipina dan negara-negara lainnya. Dari indeks ini, dapat disimpulkan bahwa upaya meningkatkan kesehatan masyarakat sangat diperlukan.

Apa langkah konkret yang perlu dilakukan pemerintah untuk meningkatkan indeks kesehatan masyarakat?

Meskipun pandemi COVID-19 sudah melandai, pemerintah perlu menghadapi tiga beban utama. Pertama adalah pandemi COVID-19, kedua adalah meningkatnya insiden penyakit menular (misalnya, TB), dan ketiga adalah meningkatnya angka penyakit tidak menular. Pemerintah harus bekerja sama dengan JDN untuk melakukan edukasi, terutama dengan generasi muda yang aktif di media sosial.

Budaya pencegahan lebih baik daripada pengobatan, apakah hal ini sudah tertanam di masyarakat kita? Jika belum, apa yang dapat dilakukan untuk menjadikannya sebagai budaya?

Kita masih belum memiliki budaya pencegahan yang kuat. Sebagai contoh, dalam BPJS dan anggaran kesehatan, masih terjadi keseimbangan yang tinggi pada sisi kuratif. Saya pernah menulis di media tentang pentingnya pencegahan. Maka, ketika kita menggalakkan pencegahan, seharusnya anggaran untuk pengobatan kuratif dapat dikurangi. Namun, hal ini memerlukan waktu yang panjang. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendukung upaya ini.

Banyak penyakit yang timbul dari gaya hidup yang buruk seperti kanker, diabetes, dan penyakit jantung. Apa saran Anda untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap hal ini?

Ada banyak yang ditimbukan dari gaya hidup yang tak sehat, Dalam hal merokok, ada banyak upaya yang dapat dilakukan, salah satunya adalah pemerintah menaikkan cukai rokok. Begitu juga dengan minuman berpemanis, saya setuju dengan rencana pemerintah untuk memberlakukan cukai pada minuman berpemanis. Selama saya belajar di Jepang, saya melihat bagaimana pemerintah edukasi masyarakat mengenai kadar gula yang tinggi dalam minuman berpemanis, yang tidak sehat. Namun, di Indonesia belum ada kampanye serupa. Akhirnya, beban tiga faktor tersebut timbul, termasuk diabetes.

Apa langkah konkret untuk mendorong agar masyarakat lebih sadar akan gaya hidup sehat?

Selain itu, aktivitas olahraga harus ditingkatkan baik secara individu maupun kolektif, misalnya di tempat kerja. Selain itu, gaya hidup sehat bisa ditekankan dengan memberikan sanksi kepada karyawan yang memiliki berat badan berlebih. Gaya hidup berhubungan erat dengan penyakit tidak menular.

Apakah semua tujuan dan kegiatan yang diusulkan sudah tercakup dalam undang-undang atau regulasi yang ada?

Tidak semua hal dapat diatur dalam undang-undang. Pemerintah perlu berdiskusi dengan organisasi profesi dan pihak-pihak terkait untuk mewujudkan upaya-upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Namun, hal yang kurang adalah pengalokasian anggaran yang diwajibkan. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan alokasi anggaran ini. Walaupun ada beberapa negara yang memiliki alokasi anggaran yang kurang di bidang ini namun tetap sehat, hal ini perlu dilihat dalam konteksnya.

Apakah upaya untuk mengusulkan perubahan pada hal tersebut sudah dilakukan?

Undang-undang Kesehatan Ombudsman memang dirancang dengan cakupan yang luas. Oleh karena itu, akan ada peraturan turunan yang akan diterapkan. Kami berencana untuk merancang peraturan turunan ini bersama, dan meskipun ada beberapa rekan yang akan mengajukan judicial review terhadap undang-undang ini, kami lebih berfokus pada pengembangan peraturan turunan tersebut.

Tommy Dharmawan Beruntung Punya Ibu yang Tegas Bagai Singa

Tommy Dharmawan mengakui kerasnya didikan mendiang ibunya, namun semuanya terasa manfaatnya saat kuliah dan dalam kariernya sebagai dokter bedah. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Semua ibu ingin anaknya sukses dalam studi dan juga karier. dr. Tommy Dharmawan, Sp.BTKV, PhD amat beruntung punya ibu yang tegas dalam mendidik dan mengarahkannya. Dalam istilah Tommy, ibunya seperti singa atau tiger mom, saking tegasnya. Namun karena ketegasan itu yang jadi pangkal kesuksesan dalam berkarier sebagai seorang dokter Ahli Bedah Jantung dan Pembuluh Darah yang kini dipercaya sebagai Ketua Umum JDN (Junior Doctors Network) Indonesia, sebuah organisasi dokter berusia di bawah 40 tahun.

Sejak kecil diakui Tommy, dia sama sekali tidak punya cita-cita menjadi seorang dokter. “Saya enggak pernah terlintas untuk menjadi seorang dokter. Soalnya orang tua saya bukan dokter, dan tak ada juga anggota keluarga dekat saya yang jadi dokter,” akunya.

Muncul keinginan dan rasa percaya diri untuk masuk Fakultas Kedokteran (FK) itu saat duduk di bangku SMA. “Ketika duduk di SMA, setelah ujian akhir, saya baru muncul keinginan untuk mencoba mendaftar di fakultas kedokteran kalau nilainya bagus dan bisa memenuhi persyaratan,” lanjut putra dari pasangan Tien Yososuwito dan Imam Wiryosumarto ini.

Dan setelah mencoba, Tommy terkejut. Ia ternyata diterima di FK Universitas Indonesia (UI) yang banyak diincar para siswa SMA yang ingin mewujudkan cita-cita menjadi seorang dokter. “Alhamdulillah setelah mengikuti tes masuk, saya diterima di FK UI,” ungkap Tommy yang menyelesaikan studi di FK UI pada 2008.

Setelah ditelisik, apa yang bisa diraih Tommy ini ternyata ada andil besar dari ibunya yang berpulang ke rahmatullah saat pandemi COVID-19 yang lalu. “Ibu saya itu keras sekali dalam mendidik, saat SD nilai matematika saya turun, dia langsung kasih hukuman dengan mencubit,” kata dia yang menyelesaikan Spesialis Bedah Toraks Kardiovaskular di UI pada 2015.

Tak hanya menunggu hasil akhir, ketika prosesnya pun sang ibu ikut mengawasi. “Kalau sudah waktunya les, saya belum berangkat, dia akan keliling komplek perumahan saya. Dia akan mencari saya. Dan kalau sudah ketemu saya, dia juga memastikan kalau saya berangkat les Bahasa Inggris. Soalnya saya kalau sudah main, suka lupa waktu, hehehe,” akunya.

Setelah dewasa, ia baru mengerti mengapa ibunya begitu keras. “Ibu saya memang keras dalam mendidik saya, agar saya bisa belajar dengan tekun. Dia ingin hasil yang terbaik. Akhirnya saya juga yang menikmati,” ujar terang Tommy yang meraih gelar PhD, Gunma University Graduate School of Medicine - Japan (2019), dan sejumlah training dan beasiswa baik dari dalam maupun mancanegara.

“Terasa sekali sekarang saya menjadi seorang dokter spesialis bedah. Itu tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Kedisiplinan yang diajarkan dan diterapkan oleh ibu saya, amat terasa manfaatnya,” katanya, sembari menambahkan sang bunda selalu menekankan saat mengerjakan sesuatu harus benar, tepat, dan tekun.

Satu-satunya Dokter di Keluarga

Salah satu kebanggan Tommy Dharmawan sebagai seorang dokter adalah saat penelitiannya dibaca dan disitasi oleh peneliti lainnya. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Beban untuk menuntaskan pendidikan di FK UI sudah terasa saat diterima menjadi korps mahasiswa berjaket kuning. Soalnya di lingkungan keluarganya belum ada yang menjadi dokter. “Saya sadar harapan untuk menjadi dokter itu bukan hanya ada dari dalam diri saya, tapi keluarga terutama ibu dan ayah saya serta keluarga besar mengharapkan saya bisa menuntaskan pendidikan. Dan itu benar-benar saya jaga, jangan sampai mengecewakan,” ujar Tommy Dharmawan yang kini berkarya di RS UI dan beberapa RS Swasta di Jakarta.

Menurut Tommy, tantangan terbesar dalam menyelesaikan studi di FK adalah tidak boleh menunda-nunda tugas. “Jadi tak boleh menunda dan harus tekun, setelah dia bisa mengatasi hal ini jalannya untuk menjadi seorang dokter menjadi lebih lancar,” katanya.

Setelah menyelesaikan studi dokter umum, ia belum puas. Ia melanjutkan ke jenjang spesialis dalam bidang bedah. “Saya tertarik karena lebih suka pada pekerjaan dengan menggunakan tangan, bedah itu kan harus dengan tangan meski dibantu dengan alat juga. Dan berikutnya, hasil tindakan yang saya lakukan bersama tim bisa langsung dilihat hasilnya oleh pasien dan keluarganya,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal Persatuan Bedah Kardiovaskular dan Toraks Indonesia 2021-2023.

Meski sekarang kemajuan ilmu dan teknologi begitu pesat, termasuk dalam bidang bedah kedokteran. Ada artificial intelligence (AI) yang membuat proses pembedahan bisa dibantu dan digantikan oleh robot. Namun Tommy tetap optimis robot tak bisa menggantikan sisi humanis seorang dokter.

“Dalam dunia kedokteran, memang sudah ada robotic surgery. Pasti pekerjaan seorang dokter bedah pasti akan tersaingi dengan hadirnya ilmu pengetahuan yang begitu canggih. Namun ada beberapa operasi yang tetap harus menggunakan manusia, masih memerlukan dokter bedah karena robot tidak bisa melakukan,” akunya.

Tommy punya trik sendiri agar bisa bersaing dengan robot. “Sisi manusiawi yang tak bisa hilang dan tak bisa digantikan oleh secanggih apa pun robot yang diciptakan. Pendekatan dan sikap seorang dokter tidak bisa digantikan oleh robot. Jadi bagaimana menjadi dokter yang humanis namun tetap menyadari perkembangan sains dan teknologi kedokteran,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FK UI 2004 - 2025.

 

Penelitian yang Berkesan

Sebagai dokter bedah Tommy Dharmawan tak takut tersaingi oleh robot dan teknologi AI, karena ada sisi humanis yang tak bisa tergantikan. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Sebagai seorang dokter, Tommy terbilang rajin melakukan penelitian. Sejumlah riset pernah ia lakukan dan dipublikasikan di jurnal internasional. Dan itu merupakan kebanggaan tersendiri baginya. “Salah satu kebanggan seorang peneliti itu kalau hasil risetnya dibaca oleh orang dan akan lebih senang lagi kalau disitasi oleh peneliti lainnya,” akunya.

Dan sebagai seorang dokter, idealnya, lanjut Tommy harus melakukan riset. Karena harus setiap memeriksa pasien yang dilakukannya adalah melakukan riset.

Ia menyarankan kepada dokter, terutama yang lebih muda dari dia, harus lebih tekun. “Kepada dokter-dokter harus lebih tekun lagi dalam belajar. Harus menyadari perkembangan teknologi yang begitu pesat, dan mempelajarinya. Harus bisa mengedukasi masyarakat,” saran peraih Dean’s Awards, Gunma University Japan (2019), dan Social Contribution Awards, Gunma University Japan (2019).

Tantangan dalam dunia kedokteran hari ini dan nanti memang besar sekali, namun di balik itu juga ada peluang yang amat besar dan sayang kalau disia-siakan. “Itulah yang harus diraih oleh para dokter, terutama yang muda,” tegas Tommy Dharmawan yang juga meraih Best in Show Case Reports, Heart Rhythm Society, Boston USA, Mei 2018 serta sejumlah penghargaan lainnya.

"Prevalensi globalnya dokter terkena burnout sekitar 5 hingga 10 persen. Banyak faktor yang dapat menyebabkan dokter mengalami burnout, seperti kesejahteraan yang rendah, jam kerja yang berat, kurangnya dukungan dari keluarga dan lingkungan. Kami berharap dapat membantu dokter yang mengalami situasi seperti ini,"

Tommy Dharmawan