Kekerasan Seksual oleh Pemuka Agama Bukan Sebuah Kebetulan, Namun Kejahatan yang Direncanakan
JAKARTA - Pemuka agama adalah orang yang karena kualitas pribadinya dipercaya dan diberi tugas khusus untuk memimpin umat beragama. Karena dianggap memiliki ilmu yang lebih tinggi, pemuka agama ini begitu dihormati oleh banyak orang.
Tapi sayangnya rasa hormat kepada para pemuka agama justru kerap dimanfaatkan ke arah yang salah. Sudah tak terhitung jumlahnya berapa banyak kasus kekerasan seksual yang pelakunya justru adalah pemuka agama, orang yang dipandang memiliki integritas tinggi.
Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru maupun pemuka agama seringkali sulit terungkap. Bahkan tak jarang kasus kekerasan seksual terjadi selama bertahun-tahun. Si korban bungkam, sehingga si pelaku bisa melakukan perbuatannya berulang-ulang tanpa takut dosa.
Dogma Agama yang Sering Dimanfaatkan
Bicara kekerasan seksual di lingkungan pendidikan memang tak ada habisnya. Federasi Serikat Guru Indnonesia (FSGI) merilis data kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang Januari sampai April 2023. Beradasarkan data tersebut diketahui terdapat 15 kasus kekerasan seksual baik di sekolah maupun pondok pesantren.
FSGI menemukan sebanyak 46,67% kasus kekerasan seksual sepanjang Januari-April 2023 terjadi di jenjang SD/MI, 13,33% di tingkat SMP, 7,67% terjadi di SMK. Yang mengejutkan pondok pesantren menjadi tempat kekerasan seksual tertinggi yaitu dengan 33,33%. Dari 15 kasus tersebut, 46,67% satuan pendidikan berada di bawah kewenangan Kementerian Agama dan 53,33% di bawah kewenangan Kemendikbudristek.
“Pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan 15 orang, semuanya laki-laki. Adapun status pelaku, yaitu pimpinan dan pengasuh ponpes ada 33,33%; guru atau ustad ada 40%; kepala sekolah sebanyak 20% dan penjaga sekolah hanya 6,67%. Total korban sebanyak 124 anak, baik laki-laki maupun perempuan,” kata Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI dalam keterangan resmi pada 2 Mei lalu.
Belum lama ini, jajaran Sat Reskrim Polres Cianjur menangkap MI pemilik salah satu pondok pesantren (ponpes) ke Kecamatan Takokak, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada pertengahan Agustus lalu. MI diduga melakukan pelecehan terhadap sejumlah santriwati di bawah umur. Kasus pelecehan dilakukan pimpinan ponpes di Cianjur dengan dalih pengobatan dan transfer ilmu.
Kasus pencabulan di ponpes juga terjadi di Lombok Timur, Nusa Tenggara Timur. Pimpinan ponpes berinisial LM juga memperdaya para santri agar mau melayaninya. LM meyakinkan korban akan masuk surga dan mengatakan perbuatan itu dilakukan atas restu nabi.
Dari dua kasus di atas, dapat ditarik benang merah bahwa si pelaku yang notabene seorang guru atau pemuka agama yang sangat dihormati mengiming-imingi korbannya dengan hal yang sama: transfer ilmu dan surga. Pokoknya, menolak ajakan sang guru dianggap melakukan dosa besar.
Kecenderungan menggunakan dogma agama demi memenuhi kepuasan guru atau pemuka agama sepertinya sudah jamak terjadi di Indonesia. Dogma adalah pokok ajaran agama yang harus diterima dan tidak boleh dibantah ataupun diragukan.
Salah satu dogma yang sering dimanfaatkan adalah perintah menaati orang yang lebih tua, terutama guru. Bahkan tidak jarang guru atau pemuka agama digambarkan sebagai kepanjangan tangan Tuhan. Tidak jarang oknum menggunaka dogma agama sebagai legitimasi supaya anak nurut.
Kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lingkungan pondok pesantren. Pada Februari 2023, Komisi Independen untuk Studi Pelecehan Seksual Anak di Gereja Katolik di Portugal merilis laporan akhir yang mengesahkan kesaksian kasus pelecehan seksual antara tahun 1950 dan 2022, menyoroti lebih dari 4.800 korban.
Baca juga:
Dikutip Qualitative Criminology, pelecehan seksual dalam lingkungan keagaman telah menjadi fokus liputan berbagai media selama hampir 50 tahun. Namun, topik ini mendapat perhatian baru selama dua dekade terakhir dengan adanya laporan mengejutkan tentang pelecehan seksual yang meluas dan upaya menutup-nutupi di dalam Gereja Katolik Roma, seperti yang dijelaskan secara rinci oleh The Boston Globe.
Cerita laporan berita inovatif ini kemudian menjadi fokus film Spotlight pada 2015 yang menenangkan kategori film terbaik Academy Award. Berdasarkan investigasi yang dilakukan, ditemukan sekitar 16.000 korban yang melibatkan 3.700 pemuka agama Katolik Roma. Gereja Katolik Roma juga dilaporkan telah membayar lebih dari 3 miliar dolar AS untuk kompenasi korban.
Narsisme Butakan Para Pemuka Agama
Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pemuka agama sulit terungkap. Korbannya dipaksa bungkam, padahal kejadian tersebut dilakukan sejak lama. Salah satu faktor penyebabnya adalah posisi pemuka agama yang begitu disakralkan dan dihormati masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Sosiolog Universitas Airlangga Bagong Suyanto saat menanggapi kasus kekerasan seksual yang dilakukan pemuka agama.
“Posisi pemuka agama yang disakralkan membuat orang tidak curiga. Mereka kan sosok-sosok yang dihormati. Status sosialnya sebagai sosok yang dihormati menjadi kamuflase untuk menutupi perilakunya,” kata Bagong.
Lebih jauh lagi, pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang pemimpin gereja bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Sebaliknya, dalam banyak kasus hal ini direncanakan atau dipikirkan dengan matang dan progresif, seperti dikutip Inspired Walk.
Masih dari sumber yang sama, salah satu alasan mengapa kekerasan seksual dilakukan oleh pemuka agama, dalam hal ini pendeta, karena adanya rasa bangga dalam dirinya. Ketika seseorang mempelajari kehidupan atau perilaku banyak pemimpin gereja sebelum terungkapnya pelanggaran seksual, selalu ada jejak arogansi dan kesombongan yang mendahului terungkapnya dosa-dosa pemimpin tersebut.
“Narsisme dan kesombongan adalah salah satu jerat terbesar para pemimpin gereja dan hal ini pada akhirnya membutakan seorang pemimpin untuk percaya bahwa dirinya berada di atas hukum moral Tuhan,” tulis Inspired Walk.