Terima Presiden Diaz-Canel, Xi Jinping Pastikan China Dukung Kuba Mempertahankan Kedaulatannya
JAKARTA - Presiden Xi Jinping pastikan dukungan China terhadap Kuba dalam mempertahankan kedaulatan nasionalnya, menentang campur tangan asing dan blokade ekonomi Amerika Serikat, serta berencana memperluas koordinasi strategis dengan Havana.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Presiden Xi saat bertemu dengan Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel di sela-sela KTT ke-15 BRICS yang digelar di Johannesburg, Afrika Selatan, menurut keterangan Kementerian Luar Negeri China Hari Kamis.
"China sangat menghargai dukungan tegas Kuba yang konsisten untuk China dalam isu-isu yang melibatkan kepentingan inti China, dan akan terus mendukung Kuba dengan tegas dalam mempertahankan kedaulatan nasionalnya, menentang campur tangan asing dan blokade, melakukan yang terbaik untuk memberikan dukungan bagi pembangunan ekonomi dan sosial Kuba," kata Presiden Xi menurut keterangan tersebut, melansir Reuters 24 Agustus.
Selama pembicaraan, Presiden Diaz-Canel menyebut hubungan Kuba-China berada pada "titik tertinggi sepanjang masa"
"Rakyat Kuba sangat mengagumi Presiden Xi Jinping dan dengan tulus berterima kasih kepada China atas pengertian dan dukungannya yang berharga untuk tujuan Kuba," ujar Presiden Diaz-Canel dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Menteri Luar Negeri China Wang Yi.
Pertemuan antara kedua pemimpin ini terjadi beberapa bulan setelah muncul sebuah laporan di media, China telah mencapai kesepakatan rahasia dengan Kuba untuk membangun fasilitas penyadapan elektronik di pulau itu.
Baca juga:
- Di Hadapan Pemimpin BRICS, Presiden Putin: Operasi Militer Khusus Rusia untuk Akhiri Perang yang Dilancarkan Barat di Ukraina
- Roket Pendorong Bermasalah, Korea Utara Kembali Gagal Luncurkan Satelit Mata-mata Terbarunya
- Bos Grup Wagner Prigozhin Dikabarkan Tewas dalam Kecelakaan Pesawat: Kritikus Kremlin Singgung Putin, Biden Tidak Terkejut
- Presiden Zelensky Bersumpah Bebaskan Krimea yang Dicaplok Rusia Tahun 2014
Namun, Pemerintah Amerika Serikat dan Kuba meragukan laporan tersebut. Beijing sendiri mengecam pemerintah dan media AS karena merilis apa yang disebutnya sebagai informasi yang tidak konsisten, menyebut tuduhan itu palsu.