Tim Mawar dan Penculikan Aktivis 1998
JAKARTA - Soeharto dan Orde Baru (Orba) dikenal lihai memanfaatkan kekuatan militer. Ajian itu digunakan untuk memukul mundur lawan politiknya. Unsur militer sebagai ‘tukang pukul’ rezim makin nyata dipertontonkan menjelang Soeharto lengser. Kehadiran Tim Mawar, misalnya.
Sederet perwira Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu memiliki misi khusus: menjaga kekuasaan Soeharto. Barang siapa yang menentang kuasa Orba akan diculik Tim Mawar. Utamanya, mereka yang dianggap radikal. Ada yang dikembalikan, ada juga yang hilang.
Pemerintah Orba pernah dianggap sebagai harapan baru. Mereka dielu-elukan sebagai anti tesis pemerintah Orde Lama yang korup dan represif. Nyatanya, waktu membuktikan bahwa Orba dan Orde Lama tak jauh beda, malahan Orba lebih parah.
Kebebasan berpendapat yang digaungkan di awal kuasa Presiden Soeharto tak lagi terdengar. Orba justru tampil represif. Mereka ogah menerima segala bentuk kritikan. Sebab, satu-satunya yang Orba pahami adalah kekuasaannya harus mulus.
Narasi itu membuat Orba menguatkan tiga pilar pemerintahan. Partai Golkar, birokrasi, dan Militer (ABRI). Kekuatan militer jadi yang paling vital. Mereka dimanfaatkan untuk mengamankan negara dari segala kritik aktivis dan mahasiswa.
Barang siapa yang berani melawan Orba, niscaya akan diamankan. Militer kemudian jadi yang paling berperan sebagai ‘alat’ menggebuk rakyat. Militer dapat memaksa rakyat melepaskan tanahnya untuk pembangunan, dan militer dapat memaksa lawan politiknya jera menjelek-jelekan Soeharto.
Opsi teror itu membuat Soeharto dan Orba dapat merajai setiap penyelenggaraan pemilu sejak 1971. Rakyat dipaksa dan ancam untuk memilih partai berkuasa. Ajian itu membuat Orba berada di atas angin. Sebagai gantinya, banyak petinggi militer diangkat sebagai pejabat negara. Pun hal itu jadi salah satu alasan korupsi merajalela di Indonesia.
“Oleh Karena itu, sejak 1971, Golkar telah menjadi alat penopang kekuasaan pemerintah. Semua kebijakan Orba diciptakan oleh Golkar dan dilaksanakan oleh militer dan birokrat. Selama berpuluh-puluh tahun berkuasa, para kader Golkar menguasai jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, baik pusat maupun di daerah-daerah.”
“Kemenangan Golkar dalam setiap pemilu didukung oleh tindak kekerasan politik dan militer. Kekerasan militer di masa Orba ditujukan untuk mengendalikan dan memobilisasi massa pemilih guna memenangkan Golkar. Rakyat dipaksa dan diancam untuk memilih Golkar. Dengan demikian, para elite Golkar dapat dipastikan terpilih mewakili rakyat dalam menjalankan sistem pemerintahan, termasuk di pemerintahan daerah,” terang Laksamana Sukardi dalam buku Di Balik Reformasi 1998 (2018).
Tim Mawar Culik Aktivis
Kepemimpinan Soeharto dan Orba semakin terancam menjelang Pemilu 1997. Apalagi, masa-masa itu resesi ekonomi mulai melanda Indonesia. Orba tak ingin kehilangan momentum untuk melanggeng kuasanya. Langkah preventif untuk menjaga stabilitas nasional dilanggengkan.
Prabowo Subianto dan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tak mau ketinggalan. Mereka ikut berpartisasi menjaga stabilitas nasional. Prabowo yang notabene menantu Soeharto yang juga Danjen Kopassus memberikan perintah secara lisan kepada jajaran Mayor Bambang Kristiono untuk menyelidiki kelompok aktivis yang menentang pemerintah.
Langkah itu dikerjakan Bambang dengan baik. Ia pun memanggil rekan-rekan yang dipercayanya dan membentuk Tim Mawar yang berdasarkan penuturannya tergerak oleh hati nurani. Sekalipun banyak yang meragukan.
Tim Mawar pun bertugas mendeteksi kelompok radikal dan otak kerusuhan yang ada di dekat pusat kekuasaan. Aktivis yang dianggap radikal dan mengganggu stabiltas nasional mulai diculik dan diamankan. Operasi itu berlangsung dari 1997 hingga 1998.
Operasi Tim Mawar awalnya mulus dilakukan dengan rahasia. Namun, semuanya terbongkar kala salah saorang aktivis, Pius Lustrilanang yang berhasil melarikan diri buka suara dan menyebut Tim Mawar sebagai dalang penculikan aktivis.
Narasi itu kemudian menggemparkan seisi Nusantara. Sebab, aktivis yang diculik tak hanya ditangkap dan ditahan belaka. Beberapa di antara turut disiksa. Dari dipukuli hinggga disetrum. Kekerasan itu dilakukan supaya para aktivis tak lagi mengganggu jalannya kekuasaan.
Beberapa aktivis lalu dibebaskan dan pulang ke rumah masing-masing. Beberapa lainnya pun dinyatakan hilang. Karenanya, kehadiran Tim Mawar jadi salah satu sejarah terburuk dalam praktek politik Indonesia. Sekaligus penegas bahwa militer kerap digunakan Orba untuk ‘menggebuk’ rakyat.
“Semuanya dinyatakan hilang di Jakarta pada periode antara 1997 dan 1998. Yani Afri, simpatisan PDI, bersama seorang kawannya hilang pada April 1997; sedang Dedi Hamdun, simpatisan PPP, beserta dua kawannya hilang pada Mei 1997. Mereka diperkirakan hilang sewaktu kampanye Pemilu 1997. Memasuki tahun 1998, Wiji Thukul, pemuda sastrawan hilang pada bulan Januari. Suyat, mahasiswa aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID), hilang pada bulan Februari. Lalu Herman Hendrawan dan Petrus Bimo Anugerah.”
“Keduanya mahasiswa Universitas Airlangga, hilang pada bulan Maret. Mereka semua aktivis Perhimpunan Rakyat Demokratik (PRD). Ada pula Ucok Munandar Siahaan beserta dua orang lainnya hilang pada waktu Kerusuhan 14 Mei 1998; dan terakhir Hendra Hambali, siswa SMU yang hilang dalam Kerusuhan 15 Mei 1998. Semua korban hilang di Jakarta, kecuali Wiji Thukul, satu-satunya yang hilang di Solo; konon Wiji Thukul ‘menghilang’ sesudah dengan tulisan-tulisannya menyerang PT. Sritex, perusahaan tekstil besar di Solo,” terang Sri Bintang Pamungkas dalam buku Ganti Rezim Ganti Sistim (2014).
Baca juga:
- Memori Hari Ini, 21 Agustus 2015: Atasi Banjir Jakarta, Kampung Pulo Digusur
- K.H. Syukri Ghozali Jabat Ketua Umum MUI Menggantikan Buya Hamka dalam Sejarah Hari Ini, 20 Agustus 1981
- Dari SBY Kita Belajar Jadi Komandan Upacara di Istana Negara Bak Uji Nyali
- Hoegeng Imam Santoso Ogah dimakamkan di TMP Kalibata dalam Memori Hari Ini, 19 Agustus 1993