Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo didesak membatalkan pengangkatan eks anggota Tim Mawar sebagai pejabat di Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Desakan ini muncul setelah kementerian yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto itu, melakukan perombakan pejabat dan keputusan ini tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 166/TPA Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Dari dan Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kemenhan.

"Menuntut presiden untuk mencopot semua pihak yang tergabung dalam Tim Mawar dalam tindakan penghilangan paksa 1997-1998 dari jabatan publik," kata aktivis Imparsial, Husein Ahmad dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Senin, 28 September.

Dalam Keppres tersebut, ada enam perwira tinggi (Pati) atau Pejabat Eselon I di Kementerian Pertahanan yang mengalami mutasi. Salah satunya adalah Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kemenhan yang semula dijabat oleh Bondan Tiara Sofyan, kini digantikan dengan Brigadir Jenderal TNI Dadang Hendrayudha.

Diketahui, Dadang adalah mantan anggota Tim Mawar yang dibentuk oleh Mayor Bambang Kristiono pada 1997 dan disebut menargetkan aktivis di masa lalu. Tim ini juga diduga bergerak atas perintah Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus saat itu yaitu Prabowo Subianto.

Selain Dadang, Keppres ini juga mengangkat Brigadir Jenderal TNI Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kemenhan yang menggantikan Joko Supriyanto.

Kembali ke Husein, dia menyebut pengangkatan eks anggota Tim Mawar sebagai pejabat di kementerian tersebut bukan kali pertama. Pada 6 Desember, katanya, Prabowo juga mengangkat eks Komandan Tim Mawar Chairawan Kadasryah Nusyirwan sebagai Asisten Khusus Menteri Pertahanan. Pengangkatan ini didasari dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/1869/M/XII/2019.

Dengan peristiwa yang terjadi di masa lalu, yaitu penculikan terhadap 22 aktivis di mana sembilan di antaranya telah kembali dalam keadaan telah mengalami tindak penganiayaan dan 13 orang seperti Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdung, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Widji Thukul, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser belum kembali maka koalisi ini menilai orang-orang tersebut tak selayaknya menduduki jabatan publik.

Meski Pengadilan Militer II Jakarta memang telah menjatuhkan hukuman terhadap mereka yang terlibat dalam Tim Mawar, namun, koalisi yang terdiri dari sejumlah LSM seperti LBH Jakarta hingga Amnesty Internasional dan ICW ini menilai hal itu tidak sesuai dengan tindakan yang telah mereka lakukan.

Koalisi ini secara tegas meminta agar Jokowi segera membatalkan keputusannya itu jika memang dia berkomitmen menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti janji kampanyenya.

"Presiden tidak boleh memberikan tempat bagi siapapun yang mempunyai rekam jejak di masa lalu sebagai pelanggar HAM berat untuk menempati jabatan publik karena hal ini semakin menegaskan bahwa Presiden Jokowi, tidak memiliki komitmen dalam penyelesaian pelanggaran HAM," tegas Husein.

Permintaan yang sama juga datang dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Badan Pekerja Kontras, Fatia Maulidiyanti juga meminta agar Keppres pengangkatan dua eks anggota Tim Mawar tersebut dicabut. 

"Tidak terkecuali juga terhadap pengangkatan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan," tegas Fatia.

Selain itu, Fatia juga meminta agar Jokowi mendorong Jaksa Agung untuk menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM. "Dan menuntut para terduga pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui pengadilan HAM adhoc," katanya.

Hal ini harus dilakukan, karena dengan pengangkatan itu KontraS menyimpulkan ada empat hal. Pertama, keabsahan Keppres itu dipertanyakan karena tak sejalan dengan Pasal 5 UU 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintah yang harus berlandaskan perlindungan hak asasi manusia.

"Kedua, pemerintahan Joko Widodo makin keluar jalur dari agenda reformasi dengan melupakan rekam jejak peristiwa di masa lalu," ungkapnya.

Selanjutnya, pengangkatan tersebut dianggap makin regresifnya kondsi penegakan HAM di Indonesia karena tak diimmbangi dengan penyusunan instrumen dalam menyelesaikan kasus HAM masa lalu. 

"Keempat, hal ini akan makin mempersulit proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ataupun proses pembaruan hukum yang berkaitan dengan isu penghilangan paksa seperti proses ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa," tuturnya.