Polusi Udara Rumah Tangga: Bahaya Besar yang Sering Diabaikan
JAKARTA - Kualitas udara di DKI Jakarta dan sekitarnya sedang dalam status buruk dalam beberapa bulan terakhir. Tak hanya Jabodetabek, hampir seluruh kota di Indonesia memiliki kualitas udara yang tidak sehat. Menurut data pada situs IQAir pada Jumat (18/8/2023), Jakarta menempati peringkat keempat kota di Indonesia dengan kualitas udara terburuk. Jakarta berada di bawah Tangerang Selatan, Kota Tangerang, dan Terentang, Kalimantan Barat.
Kualitas udara di Ibu Kota mencapai 140 AQI (Indeks Kualitas Udara) yang berarti kualitas udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat. Sebagai informasi, kualitas udara dikategorikan baik dan tidak menimbulkan risiko untuk kesehatan berada pada AQI 0 sampai AQI 50.
Polusi udara di Jabodetabek tentunya tak luput dari perhatian para orangtua. Banyak orangtua yang mengeluhkan buah hati mereka mengalami batuk pilek tak kunjung sembuh dan menyebut polusi sebagai penyebabnya.
Hal ini juga dialami artis Dewi Sandra yang turut mengeluhkan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Menurut artis berusia 40 tahun ini, polusi yang kian memburuk sangat berdampak pada kondisi kesehatan anak-anaknya yang rentan diterpa sakit.
“Aduh, iya nih, polusinya parah. Dengan adanya polusi (udara) seperti ini mereka udah ada yang meler, ingusan, padahal enggak ngapa-ngapain,” bebernya.
Membunuh 570 Ribu Balita Per Tahun
Polusi udara merupakan ancaman tak terlihat untuk kesehatan anak-anak. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa polusi udara setiap tahunnya membunuh 570 ribu anak di bawah usia lima tahun. Anak-anak yang terkena polusi dapat memicu berbagai masalah seperti mengurangi fungsi paru-paru dan memicu asma, hingga menghambat perkembangan otak.
Di seluruh dunia polusi memberi dampak negatif, utamanya pada anak-anak. Anak yang sering terpapar polusi akan mudah sakit, mengalami gangguan belajar, sampai stunting. Hal ini karena anak-anak lebih rentan dibandingkan orang dewasa. Untuk jangka panjang, anak yang terbiasa dengan polusi akan mengalami gangguan kemampuan fisik serta kecerdasan.
Tapi sebenarnya polusi udara bukan penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) seperti yang dikeluhkan para orangtua. Dokter Darmawan Budi Setyanto, SpA(K) selaku anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirasi IDAI mengatakan, meluruskan hal tersebut. Menurut dia, polusi tidak serta merta secara langsung menyebabkan selesma atau yang lebih dikenal dengan sebutan batuk pilek.
“Perlu dipahami bahwa polusi udara hanya meningkatkan risiko ISPA, bukan penyebabnya. Batuk pilek yang sering dialami adalah akibat infeksi, yang disebabkan oleh masuknya kuman ke dalam tubuh. Polusi merusak mekanisme pertahanan saluran napas, sehingga kuman penyebab ISPA mudah masuk dan berkembang. Risiko pneumonia dan asma juga meningkat. Tapi, penyebab ISPA adalah infeksi, bukan polusi udara,” tegas Darmawan dalam seminar daring bertajuk Dampak Polusi Udara bagi Kesehatan Anak pada Jumat, 18 Agustus.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebut sekitar 100 ribu warga di Ibu Kota mengalami ISPA setiap bulan karena peralihan cuaca. Dikutip Antara, terdapat peningkatan kasus dari 99.130 di bulan Mei 2023 menjadi 102.475 kasus di bulan Juni.
Darmawan menegaskan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejauh ini belum melakukan penelitian lebih lanjut terkait dugaan peningkatan kasus ISPA pada anak yang disebabkan oleh polusi udara.
“Belum ada data, IDAI akan melakukan survei kepada anggota IDAI apakah kasus batuk pilek meningkat,” kataDarmawan menambahkan.
Asap Kendaraan Penyumbang Terbesar
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Reliantoro merinci sektor-sektor yang menyumbang polusi di Jakarta. Menurut kajian yang dilakukan oleh pihaknya, transportasi menyumbang emisi sekitar 44 persen, industri 31 persen, industri energi manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen dan komersal 1 persen.
Beralih dari kendaraan konvensional berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik disebut menjadi hal yang esensial bagi penduduk di Jakarta. Masyarakat juga diharapkan mau beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.
Asap kendaraan merupakan salah satu penyumbang polusi terbesar memang tak terbantahkan lagi. Namun, kebanyakan orang agaknya tidak menyadari bahwa polusi juga bisa berasal dari pencemaran lingkungan dan rumah tangga.
WHO menyebut sekitar 2,4 miliar orang di seluruh dunia atau sekitar sepertiga dari populasi global, memasak menggunakan api terbuka atau kompor yang tidak efisien berbahan bakar minyak tanah, kayu, kotoran hewan, limbah tanaman dan batu bara yang menghasilkan polusi udara rumah tangga yang berbahaya.
Masih dari sumber yang sama, polusi udara rumah tangga bertanggung sekitar 3,2 miliar kematian per tahun pada 2020, termasuk lebih dari 237 ribu anak di bawah usia lima tahun. Kombinasi pencemaran lingkungan dan polusi udara rumah tangga menyebabkan 6,7 juta orang meninggal dunia lebih awal.
“Mengendalikan polusi tugas siapa? Ya tugas kita semua, dimulai dari rumah tangga, di klinik, pemerintah, dan masyarakat global. Di desa-desa masih banyak yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar, padahal itu berbahaya,” tegas Darmawan lagi.
Sementara itu, Pelaksa Tugas (Plt) Kepala Dinkes DKI Jakarta Ani Ruspitawati menegaskan pihaknya terus menerapkan langkah preventif promotif untuk mengendalikan penyakit ISPA. Ani menjelaskan Dinkes Jakarta akan terus mengedukasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) kepada masyarakat. Baik di sekolah, lingkungan, dan tempat kerja.
“PHBS yang dimaksud seperti tidak merokok, melakukan aktivitas fisik, makan-makanan sehat dan bergizi untuk meningkatkan kekebalan tubuh sehingga tidak mudah sakit,” Ani menjelaskan.
Sejak isu polusi udara marak dibicarakan, wacana Working From Home (WFH) kembali mencuat. WFH diyakini akan membantu mengurangi polusi udara di Jakarta karena asap yang dihasilkan dari kendaraan otomatis berkurang. Wacana WFH tentu saja beriringan dengan seruan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) untuk anak sekolah.
Kedua cara tersebut pernah dilakukan Indonesia dan negara lainnya di dunia saat pandemi COVID-19 menerjang. Darmawan mengatakan untuk saat ini IDAI masih mengkaji kemungkinan penerapan PJJ.
“Polusi sebenarnya bukan masalah baru dan belum diketahui apakah polusi jadi penyebab utama meningkatnya kasus ISPA pada anak. Kita tidak boleh buru-buru menyimpulkan, perlu studi lebih mendalam lagi, penilaian lebih matang,” jelas Darmawan.
Baca juga:
“Yang terjadi kan ketika selesma dan anak-anak tetap sekolah, itu akan menularkan kepada teman-temannya karena virus cepat menyebar. Terlalu dini menyimpulkan bahwa batuk pilek hanya karena polusi, masih perlu kajian lebih lanjut,” katanya lagi.
Dr. Darmawan Budi Setyanto kemudian mendorong semua pihak untuk terlibat menanggulangi polusi di Indonesia. Kepada pemerintah dia berharap dapat menyediakan transportasi publik yang layak sehingga masyarakat merasa nyaman menggunakannya.
“Kami berharap pihak-pihak yang berwenang memberikan fasilitas yang baik untuk anak, kemudian memberikan edukasi kepada masyarakat tentang tata cara hidup sehat termasuk tidak merokok, dan terpenting transportasi publik yang terpadu serta nyaman,” pungkasnya.