Revisi RUU Perkoperasian Diharapkan buat Koperasi Lebih Adaptif
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) tengah menggodok revisi Rancangan Undang-undang atau RUU Perkoperasian. Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop UKM Ahmad Zabadi menyakini bahwa revisi RUU Perkoperasian akan membuat koperasi lebih adaptif.
"Koperasi secara kelembagaan lebih tangkas, agile, dan adaptif dalam menjalankan berbagai jenis usaha hingga puluhan tahun ke depan," kata Zabadi melalui keterangan resminya, dikutip Jumat, 18 Agustus.
Kemenkop UKM diketahui menargetkan perubahan RUU Perkoperasian rampung 2023 ini. Zabadi menjelaskan, tujuan dari perubahan aturan ini adalah mendorong koperasi menjadi lebih sehat, kuat, mandiri, dan tangguh.
Dia juga menyebut, terdapat lima upaya yang dilakukan pemerintah dalam revisi RUU Perkoperasian. Upaya pertama adalah membuka kesempatan dan mendorong koperasi dapat menyelenggarakan usaha atau bisnis di seluruh lapangan usaha.
Kedua, meningkatkan perlindungan kepada anggota dan badan hukum koperasi dari berbagai potensi penyimpangan atau tindak pidana yang terjadi.
Untuk upaya ketiga adalah meningkatkan standar kepatuhan dan tata kelola yang baik sesuai dengan jati diri/identitas koperasi. Keempat, memodernisasi kelembagaan koperasi sehingga lebih tangkas dan kompatibel dengan tantangan zaman.
Upaya terakhir adalah memperkuat ekosistem perkoperasian pada umumnya dan simpan pinjam pada khususnya (dengan adanya Otoritas Pengawas Koperasi dan Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi).
Zabadi pun menggarisbawahi bahwa revisi RUU tersebut akan memodernisasi koperasi di masa mendatang. Berbagai ketentuan diperbarui seperti keanggotaan, permodalan, dan tata kelola.
Pada sisi modal, kata Zabadi, akan diperkenalkan istilah modal anggota sebagai modal yang bersumber dari anggota dengan karakteristik dapat dinyatakan dalam satuan tertentu.
"Tujuannya untuk memotivasi anggota, meningkatkan partisipasi modalnya. Kemudian, dalam tata kelola diadopsi dua model, yakni jenjang dua dan jenjang tunggal, yang mana masyarakat dapat memilih salah satunya," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Komite Indonesian Consortium For Cooperative Innovation (ICCI) Firdaus Putra mengatakan, banyak koperasi yang sedari awal pendirian tidak merumuskan model dan prospektus bisnisnya dengan baik. Sehingga, koperasi cenderung dikelola sebagai aktivitas sambilan, bukan selayaknya perusahaan profesional.
Baca juga:
"Alhasil, banyak pengurus koperasi yang tidak memperoleh honor," ucapnya.
ICCI pun melakukan survei soal ini dengan responden 614 koperasi pada Juli 2022. Hasilnya, sebanyak 40,5 persen pengurus dan 49,8 persen pengawas tidak menerima honorarium sama sekali.
Kemudian, sebagian besar menerima honor hanya di bawah dua juta rupiah, pengurus sebesar 44,3 persen, dan pengawas sebanyak, 42,4 persen.
Dalam survei itu juga ditemukan fakta bahwa 70,1 persen koperasi tidak memiliki manajer atau kepala operasional. Sehingga, sulit membayangkan koperasi dikelola dengan serius dan sungguh-sungguh bila SDM kuncinya saja tidak memperoleh remunerasi yang layak.
"Hal itu yang harus diubah di masa mendatang melalui revisi RUU Perkoperasian," ungkapnya.