Harapan Pengungsi Rohingya di Antara Kegentingan Kudeta Myanmar
JAKARTA - Bangladesh menyerukan perdamaian dan stabilitas di Myanmar setelah kudeta militer pada Senin, 1 Februari. Bangladesh berharap Myanmar tetap melakukan upaya tulus memajukan proses pemulangan sukarela pengungsi Muslim Rohingya yang terhenti.
"Kami gigih dalam mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan Myanmar dan telah bekerja dengan Myanmar untuk pemulangan secara sukarela, aman, dan berkelanjutan dari warga Rohingya yang berlindung di Bangladesh," kata Kementerian Luar Negeri Bangladesh dalam sebuah pernyataan kepada Reuters, dikutip Senin, 1 Februari.
Bangladesh, yang berpenduduk mayoritas Muslim telah melindungi satu juta pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar, yang warganya mayoritas beragama Buddha, di mana sebagian besar dari mereka tidak diberi kewarganegaraan.
Proses repatriasi yang didukung PBB telah gagal dijalankan meskipun ada banyak upaya dari Bangladesh, yang kini telah mulai mengirim beberapa pengungsi ke pulau terpencil di Teluk Benggala.
"Kami berharap proses ini terus berlanjut dengan sungguh-sungguh," ujar Kementerian luar Negeri Bangladesh.
Baca juga:
Militer Myanmar merebut kekuasaan pada Senin dalam kudeta melawan pemerintahan Aung San Suu Kyi, yang terpilih secara demokratis. Suu Kyi ditahan bersama dengan para pemimpin lain dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi dalam penggerebekan pada Senin dini hari, 1 Februari.
"Kami berharap proses demokrasi dan pengaturan konstitusional akan ditegakkan di Myanmar. Sebagai tetangga dekat dan ramah, kami ingin melihat perdamaian dan stabilitas di Myanmar," ujar kementerian tersebut.
Reputasi internasional Suu Kyi rusak setelah dia gagal menghentikan pengusiran paksa ratusan ribu warga Rohingya dari Negara Bagian Rakhine barat pada 2017. Meski demikian, pengungsi Rohingya di Bangladesh mengutuk tindakan terhadap politisi di negara asalnya.
"Kami mendesak komunitas global untuk maju dan memulihkan demokrasi dengan cara apa pun," kata pemimpin Rohingya Dil Mohammed kepada Reuters melalui telepon.