Aung San Suu Kyi "Dibunuh" Berkali-Kali Demi Demokrasi di Myanmar
JAKARTA - Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditahan oleh militer Myanmar karena dianggap telah melakukan kudeta. Ini merupakan babak baru bagi seorang yang memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, yang sudah berkali-kali menjadi tahanan militer Myanmar sejak akhir 90-an.
Aung San Suu Kyi atau Daw Aung San Suu Kyi lahir pada 19 Juni 1945 di Rangoon, Myanmar. Suu Kyi merupakan putri dari pahlawan kemerdekaan Aung San.
Suu Kyi mungkin sudah akrab dengan kesusahan sejak kecil. Di umur dua tahun, ia mengetahui ayahnya telah dibunuh ketika menjadi perdana menteri secara de facto Burma di masa kemerdekaan.
Ia mengenyam pendidikan di Burma sampai 1960, ketika ibunya ditunjuk sebagai duta besar Burma untuk India. Setelah menamatkan pendidikan menengah di India, ia diterima kuliah di Universitas Oxford. Di kampus itu dirinya bertemu dengan calon suaminya, sarjana Inggris, Michael Aris.
Mereka dikaruniai dua anak dan menjalani kehidupan yang agak tenang. Pada 1988 Suu Kyi kembali ke Burma untuk merawat ibunya yang sakit keras, meninggalkan suami dan anak-anaknya di Inggris.
Saat itu terjadi pembantaian massal para pengunjuk rasa melawan pemerintahan brutal dan tidak responsif dari kalangan militer, U Ne Win. Hal itu memicu Suu Kyi melakukan perlawanan dan memulai perjuangan tanpa kekerasan untuk menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia di negara tersebut.
Di tahun itu seperti dirangkum Britannica, salah satu aksi protes besar-besaran terjadi pada 8 Agustus 1988, atau yang sering disebut gerakan 8888. Dalam peristiwa itu sekitar 3.000 orang tewas dalam enam minggu.
Akibatnya, Ne Win lengser dari kepemimpinan dan militer kembali mengambil alih pemerintahan di bawah nama Dewan Hukum Negara dan Perintah Restorasi, atau SLORC, yang dipimpin oleh Kepala Angkatan Darat, Jenderal Saw Maung. Lembaga tersebut lalu membuat undang-undang baru dan menjanjikan digelarnya pemilu parlemen pada Mei 1989. Mereka juga mengganti nama resmi negara dari Burma menjadi The Union of Myanmar pada 19 Juni 1989.
Saat itulah, Aung San Suu Kyi sebagai tokoh oposisi membentuk partai baru Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Merasa terancam dengan popularitas Suu Kyi, SLORC mengkriminalisasi Suu Kyi dengan tuduhan "membahayakan negara" sehingga dirinya ditetapkan sebagai tahanan rumah.
Jadi tahanan rumah
Status "tahanan rumah" yang disandang Suu Kyi ternyata tak mampu membendung popularitas NLD yang berhasil mengamankan 392 kursi dari 485 kursi yang tersedia, mengalahkan Partai Program Sosialis Burma yang berubah nama menjadi Partai Persatuan Nasional (NUP). Tak bersedia melepas kekuasaan, pada 19 Juni 1990, pemimpin SLORC, Saw Maung, menganulir hasil pemilu, dan menyatakan bahwa konstitusi baru lebih diperlukan untuk membangun Myanmar.
Pemerintah militer Myanmar kemudian menggelar referendum pada 2008 dan mengulang kembali pemilu pada 2010. Salah satu hasil referendum menyatakan seorang yang memiliki pasangan dan keturunan warga negara asing dilarang mencalonkan diri sebagai presiden. Peraturan ini sengaja dibuat untuk menjegal Suu Kyi pada pemilu selanjutnya.
Seperti dilansir Channel News Asia, Aung San Suu Kyi mendapat Penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991 berkat perjuangan mengampanyekan demokrasi. Kabar Suu Kyi mendapat Nobel memicu fitnah yang intens terhadapnya oleh pemerintah. Sementara dia masih ditahan, putranya, Alexander Aris, menggantikan Suu Kyi menerima penghargaan tersebut.
Sampai pada Juli 1995, akhirnya Suu Kyi dilepaskan dari tahanan rumah. Namun, Suu Kyi masih menjadi tahanan kota. Ia tak diperkenankan pergi ke luar Yangon.
"Dibunuh" berkali-kali
Pemerintah junta militer lagi-lagi menetapakan Suu Kyi sebagai tahanan rumah pada September 2000 sampai Mei 2002. Sebab, Suu Kyi dituduh sudah melanggar batas karena mencoba melakukan perjalanan ke luar Yangon.
Seruan atas pembebasan Suu Kyi kemudian menyeruak sampai ke komunitas internasional. Sehingga pada 2009 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan penahan Suu Kyi merupakan perbuatan ilegal.
Menjelang selesainya hukuman, pada Mei 2009, Suu Kyi sekali lagi ditangkap dan didakwa telah melanggar persyaratan tahanan rumahnya setelah ada seorang warga Amerika Serikat (AS) berkunjung ke rumahnya. Pada bulan Agustus dia dihukum dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, meskipun hukuman segera dikurangi menjadi 18 bulan, dan dia diizinkan untuk menjalani hukuman tersebut sambil tetap berada dalam tahanan rumah.
Hukuman beruntun terhadap Suu Kyi ternyata menjadi bumerang bagi pemerintah junta militer. Keyakinan bahwa hukuman itu dirancang untuk membungkam tokoh demokratis tersebut menyebar luas.
Anggapan itu menguat ketika pada Maret 2010 lahir undang-undang pemilu baru. Beleid itu melarang individu untuk berpartisipasi dalam pemilu jika dirinya pernah dihukum karena melakukan kejahatan, dan mendiskualifikasi siapa pun kandidat yang pernah atau telah menikah dengan warga negara asing.
Namun partai NLD mendukung Suu Kyi dengan menolak untuk mendaftar Pemilu di bawah undang-undang baru itu. Dan pada 7 November 2010 partai-partai pemerintah memenangi kursi legislatif dengan telak di tengah meluasnya tuduhan penipuan pemilih.
Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah enam hari setelah pemilihan dan berjanji untuk melanjutkan gerakannya menentang pemerintahan junta militer. Salah satu yang ia lakukan saat itu yakni menggalang dukungan sampai ke internasional.
Menggalang dukungan internasional
Pembatasan aktivitas Suu Kyi melonggar selama 2011. Dia diizinkan untuk bertemu secara bebas dengan rekan dan orang lain di Yangon dan pada pertengahan tahun dapat melakukan perjalanan ke luar kota.
Pada bulan Agustus Suu Kyi menemui Thein Sein yang telah menjadi presiden sipil Myanmar pada Maret di Ibu Kota Nay Pyi Taw. Dirinya juga mengunjungi tokoh penting di luar Myanmar, seperti Yingluck Shinawatra, perdana menteri baru Thailand saat itu, dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton pada Desember tahun tersebut.
Kemudian aturan tentang partisipasi politik di Myanmar pun dilonggarkan. Dan partai NLD secara resmi dipulihkan sebelum pemilihan sela parlemen pada April 2012.
Pada Januari 2012 Suu Kyi mengumumkan dirinya sedang mengumpulkan konstituen untuk mengikuti pemilihan daerah di Yangon. Pengajuannya untuk mencalonkan diri disetujui pemerintah pada Februari. Suu Kyi dengan mudah memeangkan kursinya pada pemilu 1 April dan dilantik pada 2 Mei.
Suu Kyi terus menggalang dukungan dari luar negeri. Pada Juni 2012, ia mengunjungi Thailand, perjalanan pertamanya ke luar Myanmar sejak 1988.
Ia melanjutkan kunjungan ke Eropa dan singgah ke beberapa negara. Salah satu kunjungannya yang paling disorot adalah ketika memberikan pidato soal penerimaan hadiah Novel di Oslo, Norwegia, dan berpidato di depan Parlemen Inggris di London, Inggris.
Meskipun beberapa kemajuan telah dicapai, tidak ada perubahan pada peraturan yang melarang seorang kandidat presiden yang punya pasangan atau anak warga negara asing untuk ikut pemilu. Sampai pada 2015 NLD berhasil menyabet mayoritas kursi di parlemen yang memungkinkan partai tersebut membentuk pemerintah nasional berikutnya.
Karena Suu Kyi tidak dapat mencalonkan diri sebagai presiden, NLD menyalonkan orang kepercayaannya, Htin Kyaw. Pada 15 Maret 2016, anggota legislatif memilih Kyaw sebagai presiden baru Myanmar.
Saat itulah kekuasaan Suu Kyi mulai tampak. Ia diangkat menjadi penasihat negara, posisi baru yang dibuat oleh dewan dan ditandatangani menjadi undang-undang oleh Htin Kyaw. Jabatan Suu Kyi mirip dengan perdana menteri dan berpotensi lebih kuat dari presiden.
Penciptaan jabatan yang diemban Suu Kyi sampai sekarang ini membuat junta militer meradang. Anggota legislatif dari pihak junta militer menganggap posisi baru itu inkonstitusional dan menolak untuk mengambil bagian dalam pemungutan suara pada RUU yang dibuat untuk mengukuhkan posisi tersebut.
Pemerintahan yang baru lahir dilanda sedikit pergolakan pada Maret 2018 ketika Htin Kyaw mengundurkan diri secara tak terduga. Penggantinya, pendukung NLD Win Myint, yang merupakan rekan lama Suu Kyi, diharapkan tak mengubah pembagian kekuasaan yang mapan antara kepresidenan dan posisi konselor negara Suu Kyi.
Sengketa pemilu
Partai NLD yang dipimpin Suu Kyi terus berjaya dan berhasil mengamankan suara pada Pemilu November 2020. Namun setelah itu, sengketa pemilu terjadi.
Seperti dikutip BBC, sebelumnya NLD mengklaim telah memenangkan suara setelah pemungutan suara digelar pada 8 November 2020, meski pejabat pemilu belum mengeluarkan hasil resmi karena suara masih dihitung. Tetapi oposisi yang didukung militer Myanmar, menuduh pemerintah melakukan penyimpangan, meski hanya memberikan sedikit bukti.
Baca juga:
Union Solidarity and Development Party mengatakan tidak mengakui hasil pemilu dan meminta pihak berwenang untuk mengadakan pemilihan yang bebas, adil, tidak memihak dan bebas dari kampanye yang tidak adil. Namun sejauh ini militer tidak memberikan bukti. Sementara komisi pemilihan umum Myanmar menegaskan bahwa pemilu telah berlaku adil dan bebas.
Namun ketegangan antara pemerintah sipil dan militer tak mereda. Sampai hari ini, terjadi peristiwa penangkapan Suu Kyi dan Presiden Myanmar Win Wyint oleh pihak militer karena dituduh melakukan kudeta.