Eksklusif, Soal Kecepatan Internet di Indonesia Masih Rendah, Ini Kata Ketum APJII Muhammad Arif Angga

Bicara soal kecepatan internet, ternyata Indonesia masih berada di level paling bawah di kawasan Asia Tenggara. Realitas ini memang tak ditampik oleh Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif Angga. Kondisi ini terjadi dipengaruhi banyak faktor, antara lain luas wilayah dan jumlah penduduk. Dua variabel ini membuat angka indeks kecepatan internet Indonesia menempati posisi rendah. Karena itu, membandingkan Indonesia dengan Singapura misalnya, menurut dia sejatinya tidak apple to apple.

***

Menurut data yang dipublikasikan oleh Ookla soal Speedtest Global Index (indeks tes kecepatan internet dunia) yang dilansir pada Februari 2023 lalu, ranking kecepatan internet Indonesia sedikit mengalami kenaikan, namun masih tetap tertinggal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara lainnya, baik untuk kategori mobile internet dan fixed broadband.

Kecepatan mobile internet di Indonesia di angka 20,17 Mbps ini berada di posisi 103 dari 137 negara di dunia. Untuk kategori mobile internet di Asia Tenggara, Indonesia berada di juru kunci dengan angka 20,17 Mbps. Di atas Indonesia ada Filipina 24,58 Mbps (peringkat 80 dunia) dan Kamboja 21,09 Mbps (peringkat 96 dunia). Sedangkan posisi puncak dipegang Brunei 85,15 Mbps (peringkat 16 dunia) dan Singapura 75,17 Mbps (peringkat 22 dunia).

Sedangkan untuk kecepatan internet fixed broadband, di Asia Tenggara, juaranya Singapura 237,15 Mbps (peringkat 1 dunia) dan Thailand 203,28 Mbps (peringkat 6 dunia). Indonesia untuk sektor ini tak berada di juru kunci yang dipegang Myanmar 19,68 Mbps (peringkat 133 dunia). Posisi Indonesia sedikit lebih baik, berada di urutan ke-8 dengan kecepatan 26,38 Mbps (peringkat 120 dunia).

Menurut Muhammad Arif Angga, faktor luas wilayah dan jumlah penduduk membuat angka Indonesia bisa rendah dalam kecepatan internet. "Indonesia ini luas sekali wilayahnya, negara lain di Asia Tenggara tak seluas Indonesia. Selain itu jumlah penduduk kita juga paling tinggi. Jadi pembaginya besar, karena itu angkanya akan kecil. Kalau datanya di daerah tertentu, misalnya Jabodetabek, saya yakin angkanya bagus," ujarnya.

"Secara umum, kecepatan internet kita paling buruk di angka 10 sampai 20 Mbps. Tapi ini sudah basic layanan broadband saat ini untuk di rumah. Kalau di kota besar seperti Jakarta, sudah lebih cepat, bisa mencapai 100 Mbps. Jadi sudah bisa berkompetisi dengan negara lain untuk wilayah tertentu," katanya kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos, dan Irfan Medianto saat bertandang ke kantor VOI Media, di bilangan Tanah Abang III Jakarta Pusat belum lama ini. Inilah petikannya.

Soal kebocoran data, menurut  Ketum APJII Muhammad Arif Angga adalah tanggung jawab semua, tak bisa hanya membebankan pada satu pihak.  (Foto: Savic Rabos, DI: Raga VOI)

Sebagai organisasi profesi, apa saja visi dan misi APJII?

Asosiasi kita ini sudah cukup lama berdiri, kita sudah 27 tahun. Jadi sudah ada sejak Kemenkominfo belum lahir. Saat itu masih di bawah naungan Menparpostel. Memang asosiasi kita ini spesifik sekali. Kita menaungi perusahaan yang memiliki izin penyelenggara internet service provider dari Kemenkominfo. Saat ini anggota kita ada 940 perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Semua itu memiliki izin ISP dari Kemenkominfo. Jumlah ini terbilang fantastis, di negara lain tak ada yang punya ISP ratusan. Biasanya cuma 3, 4, atau 5, rata-rata tak sampai 10 di setiap negara.

Misi kita memperjuangkan kepentingan anggota. Kita juga mengelola penomoran IP Address. Pendahulu kita sudah merintis penomoran IP Address ini sebagai amanat dari Kemenkominfo. APJII yang berwenang untuk mengeluarkan alamat itu. IP Address ini bisa di-apply oleh perusahaan, bukan perorangan. Selain 940 perusahaan ada juga 2.600-an perusahaan yang berlangganan IP Address untuk berbagai keperluan. APJII yang memiliki hak pengelolaan IP Address ini di Indonesia saat ini.

Mengapa bisa begitu banyak IP Address di Indonesia?

Ini karena izinnya memang dibuka dan kedua karena kondisi geografis Indonesia yang luas.

Apa lagi tugas dan kewenangan APJII?

Kami mengelola Indonesia Internet Exchange (IIE), ini adalah hub atau terminal untuk internet seluruh Indonesia. Lokasinya ada di Gedung Cyber di Jakarta. Tujuan hub ini meminimalisasi penggunaan traffic ke luar negeri. Semua ISP terhubung ke perangkat di IIE ini. Sehingga pertukaran datanya lebih banyak di dalam negeri. Kita sudah membentuk traffic ini lebih dari 22 tahun. Saat ini traffic-nya sudah 4,5 terabyte. Sudah sepuluh tahun belakangan ini setiap pertengahan tahun kami mengeluarkan survey tentang perilaku pengguna internet di Indonesia.

Dari survey yang terakhir, apa yang menarik diungkap?

Data survey yang kami lakukan bisa diunduh gratis. Sampai saat ini pengguna internet kita sudah sebanyak 215 juta jiwa atau sekitar 78 persen dari total penduduk Indonesia.

Soal cyber security kita sering kebobolan, bagaimana antisipasinya?

Kalau bicara antisipasi, kembali ke pihak pemegang data. Analoginya ketika kita menyimpan KTP, apa di rumah, dompet, brankas, atau apa pun itu, jenis keamanannya beda tempat beda kualitasnya. Kepada pemegang data; bisa masyarakat bisa perusahaan, menjaga datanya. Kami dari APJII hanya bisa memonitoring saja. Kalau teledor atau tak dijaga, akan mudah sekali data kita dibobol.

Hacker dianggap orang yang bisa membobol data sebuah institusi, apa yang dilakukan pemerintah untuk merangkul para hacker agar mereka bisa membantu negara?

Saya kenal ada beberapa hacker yang dibina dan akhirnya bisa membantu negara. Namanya hacker ini mati satu tumbuh seribu. Selalu ada acara baru untuk mencari cela. Pemilik data harus mengapdate cyber security-nya agar tak gampang dibobol.

Persoalan korupsi yang membelit pembangunan Tower BTS di Kemenkominfo menurut Ketum APJII Muhammad Arif Angga harus dituntaskan, pembangunannya bisa dilanjutkan sehingga bisa bermanfaat untuk pemerataan internet di pelosok negeri. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga VOI)

Untuk perangkat hukum, apakah sudah mendukung agar kebobolan data bisa diminimalisir?

Kita ada UU Perlindungan Data Pribadi. Ini harus kita apresiasi dan bisa menjadi rujukan kalau ada kasus kebobolan data. Dalam beberapa kasus di mancanegara, pemerintah akan mengancam pemegang data yang datanya bocor. Ada denda tertentu yang harus dibayar atas kelalaian itu. Ini cukup efektif sebagai efek jera untuk yang lain agar berhati-hati. Efek jera seperti ini menurut saya diperlukan juga, agar entitas atau lembaga yang memegang data pribadi masyarakat bisa lebih berhati-hati dan tidak abai yang bisa merugikan masyarakat. Kalau mereka tak bisa menjaga data, pemerintah bisa menuntut dengan nilai yang fantastis.

Apakah ada kerja sama dengan pemerintah dalam pengembangan jaringan internet di Indonesia?

Dalam hal jaringan internet, pemerintah hampir menyerahkan seluruh pengembangan kepada pihak swasta. Sejak lahirnya Indosat, pemerintah tahu benar bahwa mereka tak bisa sendirian lagi dalam pengembangan jaringan internet. Sebagian besar untuk sektor internet ini banyak dilakukan oleh swasta, dari 940 anggota APJII yang pelat merah tak sampai tiga. Soal kerja sama dengan pemerintah, mereka hanya memonitoring saja. Soal perkembangan, tinggal ada pasar atau tidak di sebuah daerah, saat ada pasar dengan sendirinya akan muncul atau hadir perusahaan yang melayani jasa internet.

Di masa pandemi lalu, seberapa besar peningkatannya?

Pandemi COVID-19 memang membuat kebutuhan akan internet meningkat drastis. Selama masa pandemi kemarin, lebih dari 200 perusahaan penyedia jasa internet muncul.

Apa saja problem yang dijumpai anggota APJII?

Ada problem yang muncul, namun masih bersifat lokal, skalanya belum nasional. Yang sering menjadi keluhan teman-teman di daerah dari oknum-oknum APH. Ada pemegang ISP yang berizin dan ada yang tidak, yang tidak bisa merugikan negara.

Apa lagi yang menjadi kendala anggota APJII?

Yang juga menjadi kendala adalah regulasi yang berbeda-beda di tiap daerah. Untuk menarik kabel internet antara daerah satu dengan daerah lain, regulasinya tak sama. Ini yang bikin bingung anggota kami saat ingin mengembangkan jaringan. Mestinya hal ini bisa diseragamkan agar tidak membuat bingung. Jadi kalau gelar kabel, syaratnya sudah pasti, mau di kabupaten ini dan kabupaten lain, syaratnya sama saja.

Karena perusahaan menyediakan jasa internet, banyak perang tarif tak bisa dihindarkan, bagaimana menghadapi hal ini?

Kalau ada perang tarif, yang diuntungkan adalah masyarakat. Siapa yang bisa memberikan layanan yang bagus dengan harga yang bersaing, itulah yang akan dipilih masyarakat.

Untuk kecepatan internet di Indonesia itu sedang, tinggi atau lambat jika dibandingkan dengan negara lain?

Saya sering dapat pertanyaan seperti ini saat media luar melansir data soal kecepatan internet dan Indonesia, angkanya tak pernah bagus. Menurut saya ini tak bisa jadi faktor, Indonesia ini luas sekali wilayahnya, negara lain di Asia Tenggara misalnya tak seluas Indonesia. Lalu jumlah penduduk kita juga paling tinggi. Jadi pembaginya besar, karena itu angkanya akan kecil. Kalau datanya di daerah tertentu, misalnya Jabodetabek, saya yakin angkanya bagus.

Secara umum, kecepatan internet kita paling buruk di angka 10 sampai 20 mega. Tapi ini sudah basic layanan broadband saat ini untuk di rumah. Kalau di kota besar seperti Jakarta, sudah lebih cepat, mencapai 100 mega. Jadi sudah bisa berkompetisi dengan negara lain.

Soal sebaran internet, di kota besar relatif aman, daerah mana yang masih butuh perhatian?

Secara umum, yang butuh perhatian lebih itu wilayah timur Indonesia, karena secara geografis daerahnya memang sulit. Untuk daerah Jawa, kalau di pesisir sebenarnya masih kurangnya, kalau di pantura mostly sudah lebih bagus. Soal penambahan jaringan, kembali ke pasar. Meski kebutuhan ada, kalau penggunanya tak ada, perusahaan akan berhitung. Mereka tak mungkin berinvestasi kalau tidak menguntungkan.

Beberapa waktu lalu diluncurkan satelit Satria, apakah ini bisa mengatasi kekurangan sebaran internet di wilayah timur Indonesia?

Antara kabel dengan wireless (nirkabel) itu tak bisa dibandingkan karena beda sekali. Lewat kabel pasti lebih cepat dan stabil. Itu hukum alam. Tapi topografi kita memang berat, kalau semua mau dibuat kabel, biayanya tak akan cukup. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran Satria bisa jadi solusi. Kondisi Indonesia yang beribu pulau memang membutuhkan satelit untuk menghubungkannya karena dengan kabel terlalu mahal.

Pemasangan tower BTS menjadi heboh karena ada dugaan korupsi di sana, bagaimana Anda mengamati persoalan ini?

Sebenarnya tujuannya bagus, pemasangan BTS itu untuk pemerataan akses internet, cuma disalahgunakan. Dijadikan sarana untuk korupsi. Karena kasus ini masih bergulir, kita tunggu saja bagaimana penegak hukum memutuskan. Concern kami pada implementasi saja, agar tujuan pembangunan BTS itu bisa tercapai. Agar anggaran yang sudah dikeluarkan tak mubazir dan pengusaha yang dilibatkan bisa dibayar jasanya.

Apa pengaruhnya untuk anggota asosiasi?

Untuk program ini, yang pegang adalah BAKTI Kemenkominfo, kalau dari kami, berdasarkan bisnis, jadi business as usual saja. Jadi tidak ada pengaruhnya secara langsung untuk kami. Soalnya, dana untuk pengadaan program BTS untuk sebagian ada kontribusi dari teman-teman penyelenggara jasa internet. Itu yang kita sayangkan.

Muhammad Arif Angga, Antara Golf dan Marathon

Meski sibuk Ketum APJII Muhammad Arif Angga masih menyisihkan waktu untuk berolahraga, dulu golf sekarang marathon yang ia lakoni. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga VOI)

Sebelum menyukai olahraga lari, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif Angga lebih dulu tertarik di cabang olahraga golf. Belakangan, ia mencoba menekuni marathon yang waktunya relatif singkat. Targetnya ikut di even major marathon seperti di New York, Chicago, Tokyo, Berlin, London, dan Boston yang rutin dihelat setiap tahun.

“Dulu saya memang sering melakoni olahraga golf. Namun sekarang kesibukan saya amat tinggi. Untuk main golf itu perlu waktu minimal 6 sampai 8 jam, akhirnya saya memilih olahraga yang lebih sedikit memakan waktu yaitu lari atau marathon,” akunya.

Maunya Arif, tetap berolahraga dengan waktu yang relatif singkat. “Untuk berlari cukup waktu satu dari persiapan, pemanasan, berlari sampai pendinginan sudah cukup,” katanya.

Awalnya iseng dengan beralih ke olahraga lari, namun selanjutnya dia akan menseriusi. “Saat ini saya masih di posisi half marathon, belum berani full marathon. Pelan-pelan saja, nanti suatu saat saya juga akan menuju ke sana,” katanya.

Sebelum ke Six Major Marathon (New York, Chicago, Tokyo, Berlin, London, dan Boston), dia akan merambah ke even marathon yang dihelat di dalam negeri dan negeri tetangga dulu. “Akhir tahun nanti akan ada Singapore Marathon. Saya rencananya akan ikut. Tapi saya masih main di half marathon,” ungkapnya.

Kalau sudah lancar main di half marathon, tahun selanjutnya Arif mulai memberanikan diri untuk ikut di ajang full marathon. “Target selanjutnya saya akan membidik even major marathon,” katanya. Seperti diketahui ada 6 Major Marathon terkemuka yaitu New York, Chicago, Tokyo, Berlin, London, dan Boston. “Saya akan coba ikut full marathon,” tambahnya.

Tantangan di Lapangan Golf

Ada keseruan tersendiri saat Ketum APJII Muhammad Arif Angga bermain golf di lapangan yang unik. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga VOI)

Soal suka main golf ternyata Muhammad Arif Angga merasa nyaman dan damai saat mengarungi lapangan golf. “Melihat lapangan hijau membentang dengan variasi tumbuhan dan panorama di sekitarnya bikin nyaman pandangan dan damai. Apalagi di lapangan golf biasanya hening,” katanya.

Selain itu yang membuat ia suka main golf adalah melatih fokus dan kesabaran. “Kalau tidak bisa fokus kita mainnya buyar. Dan itu butuh kesabaran dan konsentrasi. Itu yang bisa didapat saat main golf,” urai Arif.

Hal lain yang menantang adalah mencoba lapangan baru. “Setiap lapangan golf punya keunikan masing-masing. Menjelajahi keunikan itu adalah kesenangan sendiri. Seru aja kalau bertemu lapangan yang baru pertama kali dicoba,” katanya.

Arif pernah menjajal lapangan golf di berbagai daerah di seluruh Indonesia hingga ke mancanegara. “Yang paling jauh saya main golf di Mexico,” ungkapnya.

Apa kelebihan lapangan golf di sana sampai Anda tertarik bermain? “Terus terang saya penasaran karena di lapangan golf itu ada buayanya. Kan seru banget di tengah danau kecil yang ada di lapangan hidup buaya liar,” ungkapnya.

Saat bermain golf, si buaya kebetulan keluar dari danau dan berjemur. “Itu benar-benar pengalaman yang menakjubkan buat saya. Satu sisi kita harus fokus main golf, tapi di sisi lain ada buaya yang berserakan di sisi lapangan,” katanya mengingat momen bermain di Mexico.

Relativitas Mahal

Walau sibuk dengan aktivitas kantor dan organisasi,  Ketum APJII Muhammad Arif Angga tetap menyisihkan waktu untuk keluarga, terutama di akhir pekan. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga VOI)

Image yang mengemuka soal permainan golf itu adalah mahal. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini? “Soal mahal dan tidak mahal itu relatif. Kalau kita ekstrem bisa jadi mahal, kalau kita biasa-biasa saja enggak mahal juga,” katanya.

Yang dimaksud Arif kalau main golf masih dalam intensitas yang wajar seperti seminggu sekali, itu masih dalam jangkauan. “Tapi kalau mainnya sudah ekstrem seminggu main tujuh kali ya mahal juga, lanjutnya.

Diakui Arif saat berada di lapangan golf selama enam hingga delapan jam memang menambah relationship dengan partner bermain. “Engga mungkin bersama berjam-jam tidak ngobrol. Itu bisa membuat kedekatan dengan relasi atau rekan bisnis yang menjadi partner bermain,” kata Arif yang main golf tak mau terlalu jago. Soalnya kalau terlalu jago tak ada partner yang mau join.

>

Filosofi golf yang bisa diterapkan Arif di kantor dan juga organisasi adalah soal kesabaran dan fokus. “Kalau tidak fokus dan sabar dengan permainan, bisa rusak mainnya hari itu. Itu yang bisa dipetik dari permainan ini. Kita melawan diri kita sendiri, skor yang muncul karena permainan yang kita lakukan,” kata Muhammad Arif Angga yang berusaha menyisihkan waktu untuk keluarga di akhir pekan.

"Indonesia ini luas sekali wilayahnya, negara lain di Asia Tenggara tak seluas Indonesia. Selain itu jumlah penduduk kita juga paling tinggi. Jadi pembaginya besar, karena itu angkanya akan kecil. Kalau datanya di daerah tertentu, misalnya Jabodetabek, saya yakin angkanya bagus,"

Muhammad Arif Angga