Pasal soal Sadisme di RUU Ketahanan Keluarga yang Dianggap Tak Perlu
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang diusulkan DPR dinilai mengekang perempuan. RUU ini rencananya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad menyayangkan kehadiran RUU ini. Baginya, untuk menjaga ketahanan keluarga tidak perlu menggunakan RUU ini. Sebab, sudah ada undang-undang (UU) yang bertujuan sama dengan RUU ini, di antaranya UU tentang Perkawinan, UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) Kompilasi Hukum Islam, bahkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Lebih jauh, Bahrul menilai, ketika RUU Ketahanan Keluarga ini disahkan, akan tumpang tindih dengan aturan yang lain.
"UU yang sudah ada itu spiritnya untuk ketahanan keluarga. Jadi kalau membahas soal RUU ini buang-buang waktu. Buang-buang energi. Secara subtansi RUU Ketahanan Keluarga sudah diatur di dalam UU sebelumnya," tuturnya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Kamis, 20 Februari.
Bahrul menyoroti sejumlah pasal yang dianggap tidak tepat dalam RUU Ketahanan Keluarga. Salah satunya adalah pasal tentang sadisme yang sudah diatur dalam UU yang lain.
Berikut Pasal yang dimaksud:
Pasal 85:
Badan yang menangani Ketahanan Keluarga wajib melaksanakan penanganan Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf f berupa:
a. rehabilitasi sosial;
b. rehabilitasi psikologis;
c. bimbingan rohani; dan/atau
d. rehabilitasi medis.
Penjelasan pasal Pasal 85
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyimpangan seksual” adalah dorongan dan kepuasan seksual yang ditunjukan tidak lazim atau dengan cara-cara tidak wajar, meliputi antara lain:
a. Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.
b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
c. Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial dimana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.
d. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.
Baca juga:
Menurut Bahrul, pasal ini tidak perlu. Sebab, hal ini sudah diatur dalam UU nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan KUHP.
Dia menambahkan, ketimbang mengesahkan RUU Ketahanan Keluarga jusru lebih baik DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
"Iya (enggak perlu RUU Ketahanan Keluarga). Lebih penting RUU PKS untuk disahkan. RUU PKS sebenarnya sudah mengatur bagaimana ketahanan keluarga ini dibangun. Nilai-nilai yang ada di dalam RUU PKS itu turut serta membangun manusia Indonesia yang berkualitas. Sehingga akan menghasilkan keturunan yang sukses untuk Indonesia," jelasnya.
Pengusul RUU Ketahanan Keluarga, Ali Taher menilai, pro kontra terhadap usulan RUU ini wajar. Namun, jika berkaca pada realitas sosial, faktanya, kondisi objektif sekarang ini adalah kerapuhan masyarakat dalam dunia perkawinan.
Politikus PAN ini mengatakan, RUU ini berangkat dari persoalan utama keluarga, serta bagaimana aturan itu memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum bagi suami istri jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Dia menambahkan, masuknya frasa 'sadime' dalam RUU Ketahanan Keluarga karena berkaca pada kasus yang dialami seorang istri di Bengkulu yang mendapatkan kekerasan dari suaminya dan berujung kematian karena tak memperlihatkan isi gawainya kepada sang suami.
"Substansi kan kita bahas terus menerus. Masukan, rekomendasi, saran dari masayarakat tetap terbuka untuk kita diskusikan. Nah kita selalu terbuka. Jadi belum usulan, masih dalam proses," ucapnya.
Ali mengaku tidak keberatan jika dalam proses perjalanan RUU ini ditolak oleh banyak pihak. Sebab, sejak awal niat diusulkannya RUU ini untuk kepedulian terhadap kondisi perempuan.
"Itu kan bagian personal dengan orang lain kan. Kan begitu, saya ketika rapat dengan Bu Yohana (Menteri PPA) pada waktu itu, itu kan persoalan komunikasi rumah tangga yang tidak berjalan baik. Jangan Anda melihat bahwa ini seolah-olah undang-undang ini adalah undang-undang hukum Islam atau undang-undang yang memiliki kepentingan tertentu. Tidak ada," katanya.
"Karena UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mampu untuk menjangkau itu," ucapnya.