Good Girl Syndrome, Tuntutan Jadi Orang Baik Tapi Tak Bahagia
JAKARTA - Menjadi hal yang wajar bila orangtua ingin anaknya menjadi sosok yang baik hati. Sejak kecil, anak telah dididik untuk selalu baik, patuh, sopan, ramah, peduli pada orang lain, dan tidak egois.
Namun, anak-anak yang dituntut untuk selalu bersikap baik ini juga bisa tertekan dan mengalami good girl syndrome.
Ciri khas dari good girl syndrome adalah takut mengecewakan orang lain, takut bicara karena khawatir menyakiti orang lain, harus selalu berprestasi, menghindari konflik, menaati aturan, juga sulit menolak.
Di satu sisi, semuanya tentu merupakan hal baik. Namun, di sisi lain mereka juga tertekan melakukannya.
Sebuah penelitian oleh Universitas Stanford melaporkan bahwa kata sifat yang paling diinginkan untuk mendeskripsikan wanita adalah penyayang, hangat, ceria, bersuara lembut, dan setia. Ini adalah semua kualitas wanita yang baik.
Di sisi lain, ketika peserta penelitian yang sama diminta untuk membuat daftar kata sifat yang diinginkan untuk pria, hasilnya adalah independen, tegas, dominan, dan tegas.
Para peneliti menyimpulkan bahwa wanita paling diinginkan saat mereka lembut, dan pria saat kuat.
Penelitian ini pun menunjukkan bias gender dimulai sejak masa kanak-kanak. Anak perempuan dibimbing untuk selalu bersikap baik sejak kecil, fokus dan berprestasi di sekolah, kemudian berlanjut menjadi orang yang selalu menyangkan di tempat kerja.
Sejak dini, wanita selalu dituntut untuk berusaha tampil sempurna dan menghindari menerima umpan balik negatif.
Banyak orangtua menginginkan anaknya menjadi orang baik agar diterima di masyarakat. Menurut para orangtua, ini adalah cara tepat meraih tujuan dengan membahagiakan orang lain. Namun, hal inilah yang mendasari good girl syndrome.
Baca juga:
Pada akhirnya, anak-anak ini akan mengalami kesulitan, ia selalu memendam emosi dan sulit menuruti keinginan diri sendiri karena dituntut untuk membuat orang lain bahagia.
Melakukan ini terus-menerus akan berdampak kurang baik pada diri sendiri. Sebab kebahagiaan diri sendiri yang jadi korban.
Anda akan terbiasa menuruti keinginan orang lain, tak ingin membuat orang kecewa, dan seolah-olah terlindungi dari konflik serta penolakan. Namun, ketika semuanya hanya sekadar tuntutan, Anda akan sulit berkembang dan mewujudkan keinginan diri sendiri. Anda terus mengorbankan diri sendiri demi orang lain.
Good girl syndrome adalah kondisi yang rumit, apalagi bila ini telah ditanamkan sejak kecil. Namun, selalu ada cara untuk keluar dari masalah.
Cara keluar dari good girl syndrome adalah mulai membiasakan diri pada perubahan dan berani. Anda perlu mengatakan dengan gamblang apa yang diinginkan, berani menolak ketika tidak bisa membantu orang lain, mempertahankan prinsip, serta memperlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan.
Anda pun boleh meminta apa yang diinginkan dan memang pantas didapatkan. Misalnya, dalam dunia bekerja tentang mengerjakan proyek baru atau kenaikan gaji.
Penelitian oleh Harvard Business Review menunjukkan bahwa hanya 7 persen perempuan lulusan MBA berusaha menegosiasikan gaji mereka dengan atasannya. Sedangkan 57 persen dari pria bernegosiasi.
Ini bisa jadi bukti bahwa Anda tak akan mendapatkan apa yang tak diinginkan bila tidak berani memintanya. Jika ingin mengerjakan proyek lain, promosi, atau naik gaji, mintalah dan bicarakan alasan yang mendukung.
Menjadi orang baik memang hal yang bagus, tetapi Anda tak bisa melakukannya dengan paksaan dan menyiksa diri sendiri. Maka dari itu, ini saatnya Anda berani memunculkan karakter diri sendiri, mengubah pola pikir, dan berani bersikap sesuai prinsip pribadi.