Irian Barat yang Dicinta Bung Karno, Papua yang Dikurung Rasisme
JAKARTA - Bagi Soekarno, persoalan merebut Irian Barat (Papua) adalah urusan personal nan krusial. Tanpa Irian Barat, Nusantara tak akan sepenuhnya menjadi Indonesia. Sederet upaya dilakukan oleh presiden pertama Indonesia. Berbicara di mimbar nasional hingga internasional jadi opsi. Bung Karno tak menyerah. Lelah berdiplomasi, Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 1961 muncul sebagai upaya pamungkas Bung Karno. Irian Barat pun paripurna menjadi bagian dari Indonesia.
Kecintaan Bung Karno terhadap Irian Barat sama sekali tak sepele. Sekalipun Indonesia telah merdeka sejak 1945, kemerdekaan itu dianggap Bung Karno belum lengkap tanpa bersatunya Irian Barat. Dikutip Agus Dermawan T, dalam buku Dari Lorong-Lorong Istana Presiden (2019), hal itu berlanjut ketika Belanda baru benar-benar mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949. Akan tetapi, dalam pengakuan itu Belanda tak melepaskan Irian barat.
Untuk itu, Bung Karno menempuh jalur diplomasi selama sebelas tahun. Persoalan Irian Barat sampai ke forum PBB pada 1954, 1955, 1957, dan 1960. Hasilnya nihil. Bung Karno pun habis kesabaran. Imbasnya, Bung Karno mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Alun-alun Utara, Yogyakarta pada 19 Desember 1961.
Trikora digelorakan oleh Bung Karno untuk membakar semangat rakyat Indonesia merebut kembali Irian Barat. Orang nomor satu Indonesia itu mengamanatkan upaya menggagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, dan mempertahankan keutuhan Tanah Air.
“Sekarang saya tanya kepada saudara-saudara, kepada dunia internasional, mengapa pihak Belanda menjadikan Irian Barat sebagai boneka Papua. Belanda menghasut rakyat Irian barat menjalankan satu politik memecah belah kedaulatan RI dengan mendirikan Negara Papua, mengibarkan bendera Papua, menciptakan lagu kebangsaan zoogenamde,” penggalan isi pidato Trikora Soekarno kala itu.
Kecintaan terhadap Irian Barat
Tak sekali dua kali Bung Karno mengungkap kecintaan terhadap Irian Barat. Hampir dalam tiap momentum Bung Karno selalu menunjukkan kecintaan akan Irian Barat dalam pidatonya kepada rakyat Indonesia. Bahkan, Bung Karno sempat menganalogikan Irian Barat layaknya bagian dari tubuh. Yang mana, jika salah satu bagian telah hilang, maka keseimbangan takkan mungkin didapat.
“Dibandingkan dengan wilayah kepulauan kami, Irian Barat hanya selebar daun kelor, tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami. Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan?” ungkap Bung Karno, dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Masalah Irian Barat kemudian jadi personal. Bung Karno tetap siap sedia melakukan ragam perundingan untuk merebut Irian Barat. Tetapi, karena Indonesia terlalu menggantungkan diri lewat jalur diplomasi dan bersilat lidah, Belanda tampak bertindak curang. Buahnya, Indonesia sering kali dilecehkan di forum PBB. Usulan Irian Barat jadi bagian Indonesia ditolak.
Pada akhirnya, Bung Karno marah dan kehilangan kesabaran. Setahun setelah mengumandangkan Trikora, narasi merebut Irian Barat makin dikencangkan olehnya. Termasuk dalam kunjungan ke Sulawesi Selatan. Di depan rakyat Celebes pada tahun 1962, Bung Karno berjanji sebentar lagi akan mengibarkan Sang Merah Putih di tanah Irian Barat.
"Insyaallah tak lama lagi dan dalam tahun ini juga Sang Merah Putih akan berkibar di Irian Barat. Kita tidak akan peduli apakah dengan penyerbuan ke Irian Barat itu dunia digemparkan atau tidak. We don't care, we don't care, karena mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan RI merupakan tekad bangsa Indonesia yang tegas dan suatu pertumpahan darah tidak tergantung pada bangsa Indonesia,” ucap pidato Bung Karno dikutip Rosihan Anwar dalam buku Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965 (2006).
Senapas dengan itu, segala sesuatu menjadi terpusatkan pada perjuangan Irian Barat. Saking pentingnya Irian Barat, Rosihan Anwar mengungkap Bung Karno sampai melupakan memecahkan masalah harga-harga barang yang meningkat. Satu sisi, Bung Karno melakukan hal itu untuk mewujudkan mimpi supaya Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Sisi lainnya, rakyat Indonesia lainnya dalam kondisi merana.
“Sejak beberapa hari ini istri saya pening mencari roti untuk dimakan anak-anak di sekolah. Karena tepung tidak ada, maka toko-toko pembuat roti kacau rencana kerja mereka. Khalayak merasakan akibatnya. Roti tawar sulit diperoleh dan kalau ada harganya sepotong Rp30 sampai Rp35 padahal beberapa bulan lalu harganya cuma Rp10 sepotong,” cerita Rosihan Anwar.
Langkah Bung karno ini juga digambarkan oleh Sukawarsini Djelantik dalam buku Asia-Pasifik: Konflik, Kerja Sama, dan Relasi dan Antarkawasan (2015), sebagai bentuk kepentingan politik dan ekonomi. Karena Irian Barat negara kaya sumber daya alam (SDA), Indonesia kemudian berkepentingan secara ekonomi. Sebagaimana diketahui, Bung karno tahu Irian Barat tak hanya menyimpan minyak bumi, tetapi juga uranium. Di zaman atom seperti saat kala itu, temuan tersebut begitu penting.
Dalam perjalanan panjang itu, Irian Barat pun berhasil bersatu dengan Indonesia pada Mei 1963. Dalam perundingan-perundingan antara Indonesia dan Belanda yang ditengahi Amerika Serikat, Belanda setuju menganggarkan 30 juta dolar pertahun untuk pembangunan Irian Barat melalui PBB. Sementara, Indonesia berkewajiban menyelenggarakan “penentuan nasib sendiri” bagi rakyat Irian Barat pada Desember 1969.
Rasisme di tanah Papua
Kendati demikian, kuasa Bung Karno atas Irian Barat cukup singkat karena diganti oleh pemerintahan Presiden Soeharto. Narasi menyejahterakan yang awalnya digelorakan Bung Karno tak dilanjutkan oleh pemimpin lainnya. Akibatnya, Irian Barat yang kemudian dikenal sebagai Papua jadi daerah termiskin dengan indeks sumber daya manusia terendah. Lebih lagi, dalam peta nasional, rakyat Papua sering bersentuhan rasisme struktural.
Melansir The Conversation, masalah rasisme struktural terhadap Orang Asli Papua (OAP) merupakan refleksi dari rasisme yang mengakar dalam sejarah. Rasisme, sudah sejak masa kolonial Hindia-Belanda tumbuh di Papua.
OAP tak memiliki posisi yang setara dengan orang Indonesia non-Papua. Langgengnya situasi ini diperkuat karena penjajah Belanda enggan menugaskan warga Belanda di tanah Papua. Sebagai gantinya, Kompeni mengutus orang Indonesia non-Papua yang disebut “amberi” sebagai pemangku kebijakan.
Baca juga:
Setelahnya, amberi dianggap sebagai kaki tangan pemerintah kolonial. Sementara, OAP yang memiliki kulit gelap ditempatkan sebagai masyarakat primitif dan tidak kompeten untuk mewakili kelompoknya sendiri.
Dari situlah secara institusional OAP mulai tersingkir dari pemerintahan di tanahnya sendiri. Posisi itu semakin memupuk rasa superioritas amberi atas OAP. Apalagi, hal itu termanifestasi melalui buruknya perlakukan amberi kepada OAP.
Lantas, akar rasisme itulah yang berkembang hingga hari ini. Identitas dan budaya Papua yang berbeda diasimilasi paksa untuk menjadi bagian bangsa. Kondisi ini semakin diperparah oleh pembangunan nasional yang cenderung bernafas Jawa-sentris.
Papua kemudian seperti yang sudah-sudah, tetap tertinggal serta dimiskinkan di tengah eksploitasi sumber daya alam besar-besaran. Rasisme pun langgeng, demikian pula dengan kemiskinan yang semakin merajalela.