Pengakuan Belanda Atas Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Akhirnya Terucap
JAKARTA – Secara de facto, Kemerdekaan Indonesia sudah terhitung sejak Soekarno membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No.56, Jakarta Timur. Soekarno dengan lantang mengumandangkan, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia…”
Sedangkan secara de jure, Kemerdekaan Indonesia jatuh pada 18 Agustus 1945 setelah lembaga legislatif terbentuk, presiden dan wakil presiden sudah dipilih, dan UUD 1945 disahkan.
Namun di mata internasional kedaulatan Indonesia belum diakui. Belanda saja sebagai negara yang menjajah Indonesia baru mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia secara de jure pada 27 Desember 1949. Sekiranya dua tahun setelah Mesir, Suriah, Lebanon, Vatikan, Arab Saudi, dan sejumlah negara lainnya.
Bahkan, Belanda bersikeras tak ingin mengubah pandangannya. Pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia tetap mengacu dari hasil Konferensi Meja Bundar pada 2 November 1949.
Kondisi kemudian melentur pada dekade 2000-an. Satu hari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot ketika bertandang ke Tanah Air mendobrak sejarah dengan menyatakan menerima fakta bahwa hari Kemerdekaan Indonesia jatuh pada 17 Agustus 1945.
Pernyataan itu kembali ditegaskan oleh Raja Belanda Willem-Alexander pada 2020 meski hanya bermakna politis dan moral.
Sementara, secara legalitas pengakuan baru muncul dalam diskusi di Parlemen Belanda tentang kajian dekolonialisasi 1945-1950 pada 14 Juni lalu. Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte secara resmi mengakui Kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.
"Kami sepenuhnya sudah mengakui 17 Agustus zonder voorbehaud (tanpa keraguan). Saya masih akan mencari jalan keluar bersama presiden (Indonesia, Joko Widodo) untuk mencari cara terbaik agar bisa diterima kedua pihak," ujar PM Rutte sebagaimana diberitakan Historia dalam artikel bertajuk ‘Akhirnya Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945’ pada 14 Juni 2023.
Kendati begitu, Rutte tak mau menyebut apa yang dilakukan Belanda setelahnya atau dalam sejarah Indonesia disebut perang kemerdekaan sebagai kejahatan perang. Meski hasil penelitian bertajuk ‘Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950’ menguatkan fakta tersebut.
Rutte menyebutnya sebagai kekerasan ekstrim yang secara moral harus diakui, tetapi tidak secara yuridis. Dia meminta maaf atas nama pemerintah Belanda kepada Indonesia dan semua pihak di Amsterdam yang dirugikan akibat perang tersebut.
Sejarawan Bonnie Triyana menilai, pernyataan Rutte yang seolah menghindari konsekuensi hukum dari tindakan Belanda semasa agresinya pada 1945-1949 tak berbeda secara esensial dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dari pejabat Belanda.
Padahal, dari adanya pengakuan tersebut, secara tak langsung semestinya Belanda juga mengakui apa yang dilakukannya setelah tahun 1945 merupakan invasi terhadap negara yang sudah jelas merdeka.
Bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Atlantik Charter 1941 yang memberikan keleluasaan kepada rakyat sebuah wilayah untuk menentukan nasibnya sendiri. Serta, melanggar Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan pada 10 Desember 1948 atau sembilan hari sebelum Belanda melancarkan agresinya yang kedua.
“Memang itu terjadi sebelum ada Konvensi Jenewa, tetapi kalau merujuk Atlantik Charter 1941 dan Piagam PBB tentang HAM, perluasan wilayah melalui agresi tidaklah dibenarkan,” kata Bonnie kepada VOI pada 16 Juni 2023.
Dipicu Hasil Disertasi
Disertasi Remy Limpach bertajuk ‘De brandende kampongs van Generaal Spoor’ pada 2016, menurut Direktur Institut Sejarah Militer Belanda Prof. Dr. Ben Schoenmaker, telah menimbulkan kegemparan di Belanda. Penelitiannya menghasilkan suatu simpulan yang jelas dan kontroversial bahwa tentara Belanda secara struktural bersalah atas berbagai bentuk kekerasan ekstrem selama perang Kemerdekaan Indonesia.
Meskipun Limpach juga menyatakan mayoritas tentara Belanda bertindak dengan ‘tangan bersih’ selama mereka tinggal di Indonesia, dia berpendapat tidak mungkin lagi untuk tetap mempertahankan anggapan bahwa pasukan Belanda dalam pertempuran mereka malawan Republik Indonesia hanya secara sporadis saja melakukan kesalahan itu.
Ben Schoenmaker menuliskan itu dalam sekapur sirih buku ‘Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949’
Para veteran ‘Perang Indies’ yang sangat dihormati selama ini di Belanda dan jumlahnya semakin sedikit merasa terpukul. Mereka, kata guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Bambang Purwanto masih dalam buku yang sama, tiba-tiba merasa benar-benar dituduh sebagai penjahat perang yang melakukan kekerasan dengan penuh kesadaran dan terencana.
Terlebih, bila mengetahui bahwa Belanda adalah bangsa yang memiliki citra diri sebagai kampiun dalam penegakan hak-hak asasi manusia dan hukum.
Akibatnya, sanak keluarga veteran mulai khawatir hingga membuat mereka melakukan petualangan, baik sendiri-sendiri maupun berkelompok meneliti kejadian sebenarnya, baik melalui arsip-arsip pemerintah maupun sumber-sumber lain baik di Belanda maupun di Indonesia.
Para generasi muda yang tidak pernah diajarkan tentang kekerasan Belanda di Indonesia selama belajar sejarah di sekolah juga tidak mau ketinggalan. Mereka membentuk berbagai komunitas untuk mencari tahu kekerasan yang sebenarnya terjadi pada masa itu.
Kondisi itulah yang akhirnya mendorong Pemerintah Belanda rela membiayai penelitian bertajuk Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950’.
Menurut Bambang, setidaknya ada empat hal yang menjadi landasan. Pertama. Persoalan integritas dan harga diri sebagai bangsa. Kedua, untuk membuktikan bahwa kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk Belanda.
Ketiga, kontestasi politik dalam negeri Belanda. Keempat, keinginan Belanda untuk segera lepas dari beban sejarah dengan Indonesia yang telah lama membelenggunya.
Penelitian dilakukan oleh Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), dan Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD). Serta, bekerjasama dengan peneliti Indonesia dari Universitas Gadjah Mada. Dimulai pada Februari 2017 dan hasilnya dipublikasikan pada Februari 2022.
Hasilnya, seperti dilansir dari ind45-50.org, perang Kemerdekaan Indonesia tidak hanya menghasilkan korban luka dan kematian yang tak terhingga tetapi juga korban kekerasan fisik di luar perang dalam jumlah besar, seperti penyiksaan, pemerkosaan, penahanan yang tak manusiawi, hingga bentuk-bentuk intimidasi lain seperti pembakaran kampung dan penghancuran pasokan makanan.
Diperkirakan lebih dari 100 ribu orang tewas. Dalam Agresi Militer Belanda kedua pada 1948 saja tercatat 46 ribu pejuang Indonesia tewas. Sebaliknya, jumlah kematian pada sisi Belanda bisa dihitung secara adil dan akurat, mulai dari jumlah prajurit yang terbunuh: 5.300 tewas, termasuk sejumlah orang Indonesia yang berada di pihak Belanda. Kurang lebih setengah dari mereka tewas dalam perang, sedangkan lainnya meninggal karena penyakit dan kecelakaan.
Penelitian itu menyimpulkan kekejaman perang yang dilakukan Belanda merupakan hasil dukungan berbagai elemen negara. Mereka menyebut kekerasan ekstrem bukan hanya tanggung jawab militer, melainkan aktor-aktor pemerintahan.
"Program riset ini telah menunjukkan bahwa para aktor di pihak Belanda -politisi, tentara, pelayan publik, hakim, dan lainnya menunjukkan kerelaan kolektif yang secara sistematis membiarkan, membenarkan, dan membiarkan kekerasan ekstrem tak diadili demi memaksakan niat mereka kepada lawan dan memenangkan perang," dikutip dari penelitian.
Baca juga:
- Posisi Jusuf Hamka dan Utang Pemerintah ke CMNP yang Tak Kunjung Beres
- Menyoal Sengkarut Utang Pemerintah ke CMNP yang Diributkan Jusuf Hamka
- Uji Coba Timnas Indonesia Kontra Palestina dan Argentina Jangan Hanya Sekedar Jadi Pertunjukan
- Obesitas adalah Ancaman Serius Masa Depan, Masyarakat Harus Semakin Peduli
Hasil penelitian itulah yang akhirnya menjadi penegasan. Memunculkan diskusi dan perdebatan di ranah publik, termasuk di Parlemen Belanda pada 14 Juni lalu hingga ‘memaksa’ Rutte memberikan pengakuan resminya terhadap kedaulatan Indonesia.
Tentu, menurut Bonnie, pengakuan Belanda menjadi momentum penting untuk merajut kerjasama yang lebih intim dengan mengedepankan prinsip-prinsip kepercayaan dan kesetaraan.
“Setelah hampir 78 tahun berlalu, saya menyambut baik pengakuan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang disampaikan Mark Rutte,” imbuhnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menyambut baik pengakuan tersebut. Namun, dia belum mau menanggapi terlalu jauh. Sebab, menurutnya, pengakuan itu memiliki dampak lain.
“Nanti kita lihat, saya minta masukan dulu dari Menlu karena impact-nya kemana-mana," ujar Jokowi dalam keterangannya pada 15 Juni 2023.