Kualitas Udara Jakarta Terus Buruk, DPRD Pertanyakan Pengawasan Pemprov DKI
JAKARTA - Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Justin Adrian Untayana mempertanyakan pengawasan Pemprov DKI atas buruknya kualitas udara di Ibu Kota yang terjadi akhir-akhir ini.
Dilihat dalam laman lembaga pemantau kualitas udara IQ Air, Jakarta masuk dalam 5 besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Indeks kualitas udara Jakarta siang ini berada pada angka 148 yang artinya tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Adrian memandang, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta saat ini tampak tak tegas menindaklanjuti dampak atas tingginya tingkat polusi udara. Berkaca dari kasus debu batu bara di Marunda, sampai saat ini warga setempat masih merasakan pencemaran tersebut.
"Dinas Lingkungan Hidup saya sangat sangsikan. Ada kasus debu batu bara itu, setelah kejadian dulu, ramai dulu, baru ada penindakan. Padahal mereka juga punya anggaran untuk melakukan pengawasan yang saya kira sangsikan pelaksanaannya," kata Justin saat dihubungi, Selasa, 13 Juni.
Padahal, semestinya Dinas Lingkungan Hidup telah memiliki parameter penindakan terkait masalah limbah polutan, mulai dari pengukuran hingga penyelesaiannya.
Jika sebelumnya Dinas Lingkungan Hidup mencatat salab satu sumber polusi udara yang tinggi berasal dari kawasan industri, Justin mempertanyakan bagaimana penindakan Pemprov DKI terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.
"Penindakan berapa banyak? Apa penindakannya masih batas teguran atau bagaimana? Saya kira banyak itu pabrik-pabrik yang melewati ambang batas dan sejauh ini belum ada penindakan yang tegas," cecarnya.
Buruknya kualitas udara di Jakarta kembali jadi sorotan. Sejak 15 Mei 2023, indeks kualitas udara di Jakarta tidak pernah kurang dari 100. Artinya, kualitas udara di Jakarta tidak sehat. Angka 101-200 menandakan tingkat kualitas udara bisa mempengaruhi kesehatan manusia atau hewan dengan kondisi tubuh yang sensitif.
Baca juga:
Sementara, particulate matter (PM2.5) adalah polutan kualitas udara, partikel debu yang berukuran 2.5 mikron. Sumber PM2.5, menurut IQAir sangat beragam, lazimnya berasal dari asap bahan bakar kendaraan bermotor, asap pembangkit listrik, proses industri, dan rokok.
Sub Koordinator Kelompok Pemantauan Lingkungan Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Rahmawati mengungkap sejumlah faktor yang menyebabkan perburukan kualitas udara di Ibu Kota.
Menurut Rahmawati, kualitas udara bisa memburuk secara periodik. Biasanya, udara Jakarta akan mengalami peningkatan konsentrasi polutan udara ketika memasuki musim kemarau, yaitu bulan Mei hingga Agustus.
"Konsentrasi rata-rata bulanan PM2,5 bulan April 2023 sebesar 29,75 µg/m³ menjadi 50,21 µg/m³ di bulan Mei 2023, namun konsentrasi tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan Mei 2019 saat kondisi normal yaitu sebesar 54,38 µg/m³," kata Rahmawati dalam keterangannya, Kamis, 8 Juni.
Namun, peningkatan konsentrasi polutan bakal kembali menurun saat memasuki musim hujan bulan September hingga Desember. Hal tersebut terlihat dari tren konsentrasi PM2,5 tahun 2019 sampai 2023.
"Hujan akan membantu peluruhan polutan yang melayang di udara, sehingga ketika memasuki musim kemarau, hal tersebut (peluruhan polutan) tidak terjadi," tuturnya.
Kemudian, kecepatan angin yang rendah di Jakarta menyebabkan stagnasi pergerakan udara, sehingga polutan udara akan terakumulasi selain itu juga dapat memicu produksi polutan udara lain seperti ozon permukaan (O3), yang keberadaannya dapat diindikasikan dari penurunan jarak pandang.
Lalu, kelembapan udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inverse dekat permukaan. Dampak dari keberadaan lapisan inverse menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak kelapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring.
Tak hanya itu, Rahmawati juga tak menampik bahwa tingginya polusi udara di Ibu Kota dipengaruhi oleh emisi yang dihasilkan dari kawasan industri, termasuk dari daerah penyangga.
"Untuk polutan SO2, sumber terbesar berasal dari sector industri. Sumber emisi di suatu wilayah akan mempengaruhi wilayah lain karena adanya pergerakan polutan akibat pola angin yang membawa polutan bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi di lokasi tersebut," tandasnya.