Menelisik Pesan Presiden Jokowi di Peringatan Hari Lahir Pancasila

JAKARTA -  “Toleransi, persatuan, dan gotong royong adalah kunci membangun bangsa yang kokoh. Oleh sebab itu, saya mengajak kita semuanya untuk menolak ekstremisme, menolak politisasi identitas, menolak politisasi agama.

Mari kita menyambut pesta demokrasi Pemilu 2024 dengan kedewasaan, dengan sukacita, dengan memegang teguh nilai-nilai Pancasila, memperjuangkan Indonesia maju yang adil, yang sejahtera, serta berwibawa di mata dunia”.

Presiden Jokowi kembali menegaskan itu ketika berpidato dalam acara peringatan peringatan Hari Lahir Pancasila di lapangan selatan Monas, Jakarta Pusat pada 1 Juni 2023.

Pesan yang sangat jelas. Menegaskan semangat persatuan dan kesatuan. Politisasi identitas dan politisasi agama merupakan hal berbahaya yang bisa memecah belah bangsa. Tengok peristiwa yang terjadi pada Pilkada DKI 2017.

Sentimen identitas yang menghasilkan sebutan cebong-kampret tetap berlanjut hingga Pemilu 2019. Meski pun partai yang semula oposisi telah bergabung ke dalam pemerintahan, polarisasi tersebut tak juga menghilang, melainkan hanya bertransformasi menjadi cebong-kadrun.

Kondisinya saat ini bak rumput kering yang terkena matahari, bisa kapan saja terbakar. Sehingga, sudah menjadi keniscayaan Presiden selalu menekankan pesan tersebut kepada rakyatnya.

Dalam rapat koordinasi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Januari lalu, Jokowi juga sempat memberi petunjuk kepada para kepala daerah agar menjaga stabilitas politik dan keamanan menjelang Pemilu 2024. Jangan sampai masyarakat menjadi korban politik, terutama politik identitas.

BPIP dapat mengembalikan Pancasila kembali menjadi bahan ajar dari PAUD hingga perguruan tinggi, yang sempat hilang pasca 1998 (Antara/Lucky.R)

Sebab, dampaknya berbahaya. Politik identitas menurut Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Universitas Paramadina, Husni Mubarok, bisa berkembang menjadi ujaran kebencian hingga hasutan kebencian. Pada akhirnya berpotensi mengarah pada dehumanisasi, yang melegitimasi seseorang melakukan kekerasan.

”Kalau ada indikasi dehumanisasi atau kondisi tidak memanusiakan kelompok lain berdasarkan identitas, harusnya ditindak. Apalagi selama periode pemilu, identitas seperti rumput kering yang mudah terbakar. Artinya, mudah sekali dimanfaatkan untuk menyerang orang lain, salah satunya melalui ujaran kebencian,” kata Husni dalam acara diskusi yang digelar Universitas Paramadina Maret lalu seperti dilansir dari Harian Kompas.

Saat ini memang belum terlalu terlihat polarisasi. Entah Oktober-November nanti ketika KPU sudah membuka pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden.

“Kita harus tetap waspada,” tambah Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3S Wijayanto dalam acara yang sama.

Mengembalikan Nilai Toleransi

Bukan tanpa dasar, kekhawatiran tersebut terindikasi jelas dari hasil survei terbaru Setara Institute for Democracy and Peace yang dirilis pada 17 Mei lalu. Jumlah pelajar intoleran aktif di sekolah tingkat menengah atas dan sederajat di lima kota Indonesia meningkat.

Dalam survei tujuh tahun lalu, terdapat 2,4 persen pelajar yang intoleran aktif, sedangkan yang terpapar sebanyak 0,3 persen.  Sekarang menjadi 5,6 persen, sementara yang terpapar mencapai 0,6 persen.

Survei juga menunjukkan sebanyak 99,3 persen pelajar menerima perbedaan keyakinan, 99,6 persen menerima perbedaan ras dan etnis, 98,5 persen menerima perbedaan agama dan keyakinan, dan 93,8 persen menerima kesetaraan gender dalam pemilihan ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).

Namun ketika ditanya mengenai tanggapan terhadap penghinaan agama, sekitar 20,2 persen pelajar mengaku tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan.

Sekitar 33 persen pelajar setuju untuk membela agama, termasuk harus mati dalam membela agama.

Temuan mengejutkan lain adalah 83,3 persen menilai Pancasila bukan ideologi negara yang bersifat permanen, dan dapat diganti.

Pancasila adalah ideologi negara. (Antara)

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan menilai ada lima faktor yang secara akumulatif mempengaruhi tingkat toleransi pelajar di Indonesia, yakni pengaruh orangtua, guru agama, teman bergaul, organisasi ekstrakurikuler yang diikuti, dan literatur keagamaan.

“Sehingga, pencegahannya perlu perbaikan terhadap lima faktor tersebut. Alternatif lain dengan program-program meningkatkan toleransi di kalangan guru karena mereka akan sangat menentukan,” kata Halili.

Staf Khusus Ketua Dewan Pengaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo pun tak menampik Pancasila pascareformasi hanya dipandang sebagai teori dan retorika yang bersifat seremonial. Tidak dianggap lagi sebagai falsafah dan dasar berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Mirisnya lagi, Pancasila kerap dianggap hanya sebagai alat melanggengkan kekuasaan. Ini pada akhirnya membuat Pancasila terasing dari kehidupan masyarakat.

“BPIP dalam hal ini sudah dapat mengembalikan Pancasila kembali menjadi bahan ajar dari PAUD hingga perguruan tinggi, yang sempat hilang pasca 1998,” kata Benny kepada VOI pada 1 Juni 2023.

Namun itu tak cukup. Pancasila pada masa kini juga harus dikembalikan sebagai arus utama bukan dengan cara doktrinal tapi dengan contoh nyata yang terangkum dalam kehidupan masyarakat dan kebijakan publik.

Pancasila hendaknya tidak hanya sebatas teori, tapi juga menjadi ideologi yang hidup dan bergerak dalam masyarakat. Ideologi yang juga tercermin dalam kebijakan kebijakan yang dihasilkan pemerintah. 

“Pancasila harus dapat menjadi dasar pathos (empati dan rasa kebersamaan), ethos (bergerak dan bekerja), dan logos (logika dan pemikiran) bagi semua lapisan di Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” imbuh pria yang juga diketahui sebagai salah satu pendiri Setara Institute tersebut.