Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terjebak di Angka 5 Persen, Bappenas Upayakan Hal Ini

JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi nasional dalam 20 tahun terakhir terjebak di kisaran 5 persen saja.

Hal tersebut diketahui menjadi salah satu faktor yang membuat Indonesia masih sulit menjadi negara dengan pendapatan tinggi atau high income country.

Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti menyebut, pemerintah sendiri tengah menargetkan Indonesia bisa keluar dari jebakan kelas menengah atau middle income trap dan akan bisa menjadi negara berpenghasilan tinggi atau high income country pada tahun 2045.

Target tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang sedang disusun Bappenas.

"Satu permasalahan kami adalah pertumbuhan ekonomi selama ini berkisar di angka 5 persen saja atau stuck di 5 persen," kata Amalia dalam acara Visi Indonesia 2045 dan Harapan Mewujudkan Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan, di Jakarta, Senin, 29 Mei.

Amalia menyebut, berdasarkan analisa Bappenas, apabila pertumbuhan ekonomi nasional hanya sebesar 5 persen saja, itu tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara dengan pendapatan tinggi atau high income country sebelum 2045 nanti.

Oleh karena itu, diperlukan akselerasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, ke depannya.

Amalia pun mengungkap beberapa permasalahan yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terjebak di angka lima persen.

Permasalahan tersebut di antaranya, tingkat produktivitas masyarakat Indonesia masih rendah dan relatif menurun jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti China, Malaysia, Vietnam, India, dan Thailand.

"Bahkan, jika dibandingkan dengan bagaimana produktivitas kerja kami, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju yang ada saat ini, kami juga di bawah China," ucap dia.

Permasalahan lain adalah kontribusi sektor manufaktur di Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang kian menurun.

Menurut Amalia, kontribusi sektor manufaktur Indonesia sempat mencapai 27,4 persen dari PDB pada 2005.

Akan tetapi, pada 2022, kontribusinya justru menurun dan berada di level 18,3 persen dari PDB.

"Ini adalah salah satu faktor mengapa kami tidak bisa menyediakan lapangan kerja yang pantas atau bisa menyediakan pendapatan yang layak dan baik untuk masyarakat. Padahal, salah satu syarat agar bisa menjadi negara berpendapatan tinggi adalah ukurannya income per kapita," tuturnya.

Selain itu, transformasi ekonomi juga akan membawa perekonomian di setiap provinsi untuk bisa keluar dari middle income trap.

Adapun upaya transformasi super prioritas yang akan dilakukan pemerintah, yaitu peningkatan anggaran ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (iptekin) menuju komersialisasi oleh industri.

Kedua, industrialisasi, hirilirasi komoditas unggulan hingga produk akhir dan industri padat karya terampil, padat teknologi dan inovasi, serta berorientasi ekspor. Ketiga, sumber pertumbuhan ekonomi baru, seperti ekonomi biru, bioekonomi, dan ekonomi kreatif berbasis kekayaan intelektual.

Keempat, percepatan transisi energi didukung jaringan listrik terintegrasi, serta transportasi hijau.

Kelima, superplatform untuk percepatan transformasi digital dan produksi talenta digital.

Keenam, integrasi konektivitas dengan kawasan pertumbuhan ekonomi, dan terakhir atau ketujuh, pengembangan Ibu Kota Nusantara (IKN).

"Dari transformasi ini, (diharapkan) rerata pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan harus di antara 6-7 persen. Diperkirakan, Indonesia bisa keluar dari middle income trap di 2041. Kalau kami bisa tumbuh rata-rata sebesar 7 persen dalam 20 tahun ke depan, akan keluar dari middle income trap lebih cepat lagi, yaitu di 2038," pungkasnya.