Kami Merasakan Kekhawatiran Kendarai GrabWheels Pasca-Tragedi GBK
JAKARTA - Kecelakaan yang menewaskan dua pemuda 18 tahun, Ammar Nawar dan Wisnu Chandra Gunawan melahirkan dua pandangan soal penggunaan skuter listrik, khususnya GrabWheels di jalan-jalan Ibu Kota. Kekhawatiran jelas dirasakan sebagian orang. Sisanya, tetap gandrung.
Kami mencoba merasakan mengendarai GrabWheels di tengah kedua perasaan yang menyebar di tengah masyarakat hari ini. Sebelum bisa menyewa unit skuter listrik, kami mengunduh aplikasi Grab terlebih dulu untuk mengakses pengoperasian skuter listrik.
Kami berada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat ketika aplikasi mulai terpasang di ponsel pintar kami. Di dalam aplikasi, terdeteksi ada lebih dari sepuluh shelter terdekat. Rata-rata shelter didirikan menempel dengan kafe. Kami pun memilih shelter di depan kafe Tigalima, Jalan Wahid Hasyim, Gondangdia, Jakarta Pusat.
Di shelter itu tersedia lima unit skuter listrik. Tiga unit siap digunakan. Sisanya tengah dalam pengisian daya listrik. Sayang, kami tak menemukan satu pun petugas GrabWheels yang berjaga. Kami pun meminta bantuan kepada pegawai kafe. Irfan, namanya.
Kepada kami, Irfan menjelaskan, kafe Tigalima telah bekerja sama dengan Grab untuk menyediakan shelter GrabWheels. Menurut Irfan, kafenya juga lah yang bertanggung jawab memastikan ketersediaan daya listrik skuter.
"Di sini memang tidak ada petugas GrabWheels. Jadi, kalau ada pengguna skuter yang bingung cara pemakaiannya, kami bisa bantu menjelaskan. Kami juga yang rutin mengisi daya listrik skuter," kata Irfan, Selasa, 19 November.
Perjalanan dimulai
Sebelum memulai perjalanan, kami terlebih dahulu melunasi pembayaran. Dan tentu saja, segala pembayaran wajib dilakukan dengan saldo elektronik OVO. Grab menetapkan tarif Rp5 ribu per 30 menit masa sewa. Setiap 30 menit berikutnya diberlakukan kelipatan Rp5 ribu.
Usai melunasi pembayaran, kami memindai kode (barcode) yang tertera pada skuter untuk mengaktifkannya. Selanjutnya, kami membaca seksama petunjuk penggunaan. Di antara peraturan-peraturan tersebut, kami menyoroti beberapa petunjuk penting mengenai penggunaan rem, gas, dan lampu pada unit.
Grab juga memberi imbauan agar pengguna GrabWheels menempuh jalur kiri saat berkendara di jalan raya. Selain itu, Grab juga melarang skuter listrik ditumpangi oleh lebih dari satu orang. Petunjuk terakhir jadi ironi. Dalam imbauannya, Grab meminta penggunanya mengenakan helm selama berkendara.
Ironi, sebab pengelola shelter yang kami datangi tak menyediakan helm. Kami yang semula berada di tengah-tengah mulai merasakan kecenderungan tertentu terkait perasaan yang kami alami. Kami mulai khawatir, seperti segelintir orang yang terpengaruh peristiwa kecelakaan maut di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Namun, kami tetap maju. Untuk mulai jalan, kami harus mendorong sedikit laju skuter dengan kaki. Kemudian, kami menekan tombol hijau di kemudi bagian kanan untuk mengoperasikan gas. Catatan bagi kami, bahwa dibutuhkan sedikit tenaga untuk mendorong skuter agar gas terpancing saat tombol hijau ditekan.
Pukul 15.55 WIB, kami memulai perjalanan, memasuki jalan raya sekitar Wahid Hasyim. Di tengah lalu lintas yang tersumbat, kami merasa aman. Tak banyak lalu lalang kendaraan yang mengganggu laju skuter listrik kami. Lepas dari jalanan sekitar Wahid Hasyim, kami menyusuri Jalan Cemara, lalu menembus ke Jalan Cendana.
Di perjalanan itu, kami membetot habis gas dan mendapati angka 16 kilometer sebagai kecepatan tertinggi yang bisa didapat skuter listrik kami. Dengan kecepatan ini, kami semakin tahu bahwa GrabWheels sejatinya bukan kendaraan commuter yang cocok digunakan di tengah jalan raya.
Kecepatannya bahkan jauh di bawah kecepatan tertinggi yang bisa kami capai dengan sepeda gunung --yang biasa kami gunakan-- bertingkat kecepatan tujuh gigi. Dan tentu saja sepeda terasa lebih aman bagi kami. Di atas GrabWheels, kami merasakan getaran luar biasa seakan ban skuter kami kendur saat melaju. Kami juga harus menjaga kedua tangan tetap di kemudi.
Sebab, jika salah satu tangan dilepas dari kemudi, keseimbangan tiba-tiba langsung goyah. Dengan kondisi itu, kami terus melaju di jalur lambat. Menghabiskan Jalan Cendana dan melaju di Bundaran Teuku Umar hingga Taman Suropati.
Perjalanan kami lanjutkan ke Jalan Diponegoro. Jalan ini membuat kami sedikit tenang. Sebab, di sana kami dapat menemukan jalur sepeda. Ketenangan itu terjaga hingga kami menembus Jalan Imam Bonjol di sekitar Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan melaju ke Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Ketika sampai di Bundaran HI, kami menyeberang ke arah Sudirman dan melanjutkan perjalanan ke Jalan MH Thamrin. Polisi yang sedang bertugas mengarahkan kami agar menggunakan pelican crossing untuk menuju jalur seberang. "Jangan lewat Bundaran HI, bahaya. Cari lampu merah dan menyeberang bersama pejalan kaki saja," katanya.
Peringatan akan bahaya tak selesai di situ. Seratus meter dari Bundaran HI, kami menemukan pelican crossing dan menunggu hingga petugas Dinas Perhubungan (Dishub) mengizinkan untuk menyeberang. Selagi menunggu, ada seorang bapak berkemeja putih yang menepuk pundak kami.
"Hati-hati, lho. Bahaya itu (skuter) kalau dipakai di jalan raya," katanya. Kami membalas dengan senyuman. Senyuman yang sejatinya menyadarkan kami bahwa kekhawatiran penggunaan GrabWheels betul dirasakan banyak orang.
Sore hari di Jalan MH Thamrin yang tak memiliki jalur sepeda membuat kami kikuk. Arus kendaraan membuat kami terjebak di lajur kiri. Tidak adanya lampu sign dan spion membuat gerak kami terbatas. Di lampu lalu lintas depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), barulah kami bisa menyeberang ke arah Gedung Sarinah. Kami kembali ke Jalan Wahid Hasyim dan menembus Jalan Sabang, lanjut ke Jalan Jaksa dan kembali ke Jalan Wahid Hasyim, shelter Tigalima.
Rasanya, peristiwa kecelakaan beberapa waktu lalu amat berpengaruh pada perasaan mengendarai GrabWheels kali ini. Bukan cuma bagi kami, tapi juga bagi banyak orang yang kami temui di sepanjang perjalanan. Dan perjalanan pun selesai. Rasa was-was menyelimuti kami. Kami bahkan tak menghiraukan panas matahari sore di kemarau panjang. Tak sadar, kami berkeringat cukup banyak.
Dengan jeda istirahat setiap 15 menit, perjalanan sepanjang 8,5 kilometer itu kami tempuh selama satu jam 18 menit. Perjalanan pun berakhir. Kami membayar Rp15 ribu untuk perjalanan tersebut. Dan kami kembali dengan selamat ke shelter Tigalima.