Perpanjangan Jabatan Ketua KPK Disoal, DPR Nilai Berkonsekuensi pada UU MK

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menilai bahwa dikabulkannya permohonan uji materi oleh Mahkamah Konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK mempunyai konsekuensi terhadap Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait masa jabatan hakim MK.

"Putusan MK ini membawa konsekuensi tidak saja terhadap UU KPK, tetapi juga terhadap UU MK yang mengatur tentang masa jabatan hakim MK," kata Arsul dikutip ANTARA, Kamis 25 Kamis.

Sebab dalam putusan tentang masa jabatan pimpinan KPK, Arsul menyebut MK menekankan prinsip-prinsip keadilan terkait dengan masa jabatan pada lembaga-lembaga negara independen yang dinilai constitutional importance (memiliki derajat yang sama pentingnya dengan lembaga-lembaga yang eksplisit disebutkan dalam UUD).

Atas prinsip keadilan itu, lanjut dia, MK mengubah masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun sebagaimana masa jabatan pimpinan atau komisioner pada lembaga-lembaga negara serupa lainnya.

"Selain itu, MK menganggap bahwa penetapan masa jabatan pimpinan KPK yang hanya empat tahun itu dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang pembuat UU, dalam hal ini DPR dan Pemerintah," ujarnya.

Sehingga, ujarnya lagi, DPR dan Pemerintah yang saat ini tengah membahas RUU Perubahan keempat UU MK harus menyesuaikan pula masa jabatan hakim MK dengan mengembalikan kepada UU awalnya, yakni lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk sekali lagi dengan masa jabatan yang sama.

"Saat ini kan hampir semua hakim MK sudah menjabat di atas lima tahun, bahkan sudah ada yang 10 tahunan," ucapnya.

Menurut dia, penyesuaian masa jabatan hakim MK diperlukan agar prinsip keadilan ditegakkan serta DPR dan Pemerintah tidak dinilai sebagai penyalahgunaan wewenang pembuat UU, sebagaimana yang menjadi pertimbangan MK dalam memutuskan masa jabatan pimpinan KPK.

"Ini memerlukan koreksi UU MK agar konsisten dengan pertimbangan hukum dan prinsip keadilan bagi pejabat pimpinan lembaga negara independen yang diseleksi secara terbuka, sebagaimana hakim MK dan komisioner lembaga-lembaga negara lainnya seperti KPK, Komnas HAM, dan sebagainya," tuturnya.

Arsul menambah bahwa Komisi III DPR juga memperoleh aspirasi dari kalangan masyarakat sipil yang menilai putusan MK itu seharusnya baru diberlakukan untuk komisioner KPK pada periode mendatang.

"Selanjutnya terkait dengan putusan MK itu sendiri saya melihat berarti perlu segera ada revisi UU KPK lagi. Selain tentunya kami harus mendiskusikan apakah putusan MK ini berlaku untuk KPK periode sekarang atau periode ke depan," ucap dia.

Sebelumnya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama empat tahun adalah tidak konstitusional dan mengubahnya menjadi lima tahun.

Putusan tersebut dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pengucapan ketetapan dan putusan yang disiarkan di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, dipantau di Jakarta, Kamis.

Anwar Usman menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semua berbunyi, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Memegang Jabatan Selama Empat Tahun" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam menyampaikan pertimbangan, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan bahwa ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun tidak saja bersifat diskriminatif, tetapi tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya.

Guntur Hamzah membandingkan masa jabatan KPK dengan Komnas HAM. Masa jabatan pimpinan Komnas HAM adalah lima tahun. Oleh karena itu, akan lebih adil apabila pimpinan KPK menjabat selama lima tahun.